Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
Tujuan penatalaksanaan pada sindroma koroner akut adalah mencegah nekrosis sel-sel miokardium dan mengupayakan terjadinya reperfusi ke jaringan miokardium. Perbedaan ST elevation myocardial infarction (STEMI) dengan sindroma koroner lainnya adalah STEMI memerlukan penanganan segera berupa reperfusi baik dengan fibrinolisis maupun intervensi dengan PCI (percutaneus coronary intervention) primer.
Tata Laksana Awal
Tata laksana awal adalah dengan pemberian oksigen dan mengamankan jalan napas. Akses intravena dan pemeriksaan darah juga harus dilakukan secepatnya. Semua pasien dengan gejala sindroma koroner akut harus dipantau dengan pemasangan monitor tanda vital dan jantung. Bila terjadi henti jantung maka lakukan resusitasi dan defibrilasi.
Oksigen
Oksigen bersifat vasoaktif sehingga hanya diberikan apabila ada indikasi. Pemberian oksigen bila terjadi penurunan saturasi oksigen arteri dan dipertahankan pada kadar saturasi 93-96%. Pemberikan oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan hiperoksemia sehingga dapat terjadi vasokonstriksi.[18] Hasil penelitian menunjukkan pemberian oksigen pada pasien STEMI tanpa hipoksia dapat meningkatkan kerusakan pada miokardium.[19]
Analgesik
Nyeri pada sindroma koroner akut harus ditangani agar nyeri tidak menginduksi pelepasan katekolamin yang memperberat beban jantung. Analgesik yang dapat diberikan adalah:
Nitrat atau Nitrogliserin
Nitrat, misalnya isosorbide dinitrate, dapat diberikan secara sublingual apabila tidak ada hipotensi. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,4 mg, sebanyak 3 kali dengan interval 3-5 menit. Pemberian nitrat secara intravena diberikan bolus inisial 12,5-25 mikrogram dan rumatan 5-10 mikrogram per menit. Dosis rumatan dapat dinaikkan 10 mikrogram per menit sesuai kondisi pasien dan tekanan darah. Kontraindikasi pemberian nitrat pada pasien yang menggunakan sildenafil dalam 24 jam sebelumnya.
Morfin
Morfin pada non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) diberikan 1-5 mg melalui intravena. Pemberian dapat diulang 5-30 menit sesuai dengan kondisi nyeri pasien, namun hati-hati terhapat overdosis yang dapat menyebabkan depresi pernapasan dan hipotensi. Naloxon 0,4-2,0 mg intravena diberikan apabila terjadi overdosis morfin. Pemberian morfin pada STEMI diberikan 2-4 mg secara intravena.[11]
Antiplatelet
Antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel dapat digunakan sebagai tata laksana sindrom koroner akut.
Aspirin
Aspirin diberikan 160-320 mg, dikunyah untuk dosis awal. Selanjutnya diberikan dosis rumatan sebesar 80 mg tiap per hari.
Clopidogrel
Pemberian clopidogrel sebagai penatalaksanaan sindrom koroner akut dimulai dengan dosis awal 300-600 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis rumatan 75 mg per hari.[1,2]
Penurun Kolesterol
Pasien dengan sindroma koroner akut juga dapat memiliki kelainan metabolisme seperti diabetes maupun dislipidemia. Dislipidemia ditatalaksana dengan pemberian obat penurun kolesterol yang pilihan utamanya golongan HMG co-A reductase inhibitor.[2] Sediaan yang banyak tersedia adalah simvastatin 40 mg per hari atau atorvastatin 10-20 mg per hari.
Stratifikasi Risiko
Sebelum terapi reperfusi pasien dengan NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko. Hal ini agar mencegah dilakukannya prosedur yang tidak perlu dalam pemilihan strategi invasif. Stratifikasi risiko dilakukan dengan sistem skoring menggunakan salah satu dari 2 sistem skoring di bawah ini.
TIMI (Trombolysis in Myocardial Infarction)
Skoring menggunakan sistem skoring TIMI adalah sebagai berikut:
- Risiko rendah (0-2 poin)
- Risiko sedang (3-5 poin)
- Risiko tinggi (5-7 poin)
Penilaian skor TIMI adalah sebagai berikut:
- Usia 65 tahun atau lebih (1 poin)
- 3 atau lebih faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (1 poin)\
- Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir (1 poin)
- Riwayat stenosis koroner lebih dari 50% (1 poin)
- Lebih dari 1 kali episode angina pada saat istirahat dalam waktu kurang dari 24 jam (1 poin)
- Deviasi segmen ST (1 poin)
- Peningkatan enzim jantung (1 poin)
GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)
Sistem skoring GRACE juga dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko sindrom koroner akut:
- Risiko rendah (0-133 poin)
- Risiko sedang (134-200 poin)
- Risiko tinggi (lebih dari 200 poin)
Penilaian skor GRACE, meliputi umur, laju denyut jantung, tekanan darah sistolik, kadar kreatinin, Kelas Killip, riwayat henti jantung, peningkatan enzim jantung, dan deviasi segmen ST. [16,17]
Pasien dengan stratifikasi risiko tinggi sebaiknya segera dilakukan terapi intervensi segera yakni dalam kurang dari 2 jam. Sedangkan pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang dan rendah dapat dipertimbangkan untuk terapi intervensi dini kurang dari 24 jam dan tertunda 25-72 jam.[1]
Terapi Reperfusi
Sebelum dilakukan reperfusi, pasien NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko.
Tata laksana berikutnya adalah tindakan reperfusi. Tindakan reperfusi dapat dilakukan dengan:
- Fibrinolisis
- Intervensi (primary PCI)
- Operasi coronary artery bypass graft (CABG)
Fibrinolisis
Terapi reperfusi dengan fibrinolisis adalah dengan memberikan agen farmakologis yang bertujuan melisiskan trombus. Fibrinolisis sangat penting terutama bila tidak terdapat fasilitas untuk PCI. Dalam beberapa panduan disebutkan untuk pemberian terapi fibrinolisis pra rumah sakit namun hal ini tidak umum dilakukan.
Fibrinolisis dianjurkan dilakukan dalam kurang dari 12 jam setelah onset, jika primary PCI tidak dapat dilakukan dalam 90 menit di awal sejak onset gejala. Selain itu fibrinolisis hanya dapat dilakukan bila tidak ada kontraindikasi absolut. Fibrinolisis dikontraindikasikan secara absolut pada kondisi berikut:
- Riwayat perdarahan intrakranial
- Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir
- Aneurisma serebrovaskular
- Tumor intrakranial
- Trauma kepala dalam 3 bulan terakhir
- Diseksi aorta
- Perdarahan gastrointestinal dalam sebulan terakhir
- Riwayat pungsi lumbal dalam 24 jam sebelumnya[20]
Sedangkan kontraindikasi yang bersifat relatif adalah:
- Serangan iskemik transien dalam 6 bulan terakhir
- Mendapat terapi antikoagulan
- Hamil atau postpartum 1 minggu
- Hipertensi yang refrakter
- Penyakit liver tahap lanjut
- Endokarditis infektif
- Ulkus peptikum aktif
- Trauma akibat resusitasi
Fibrinolisis dapat dilakukan dengan pemberian:
Streptokinase 1,5 juta unit yang dilarutkan dengan 100 ml Dekstrosa 5% atau normal salin, diberikan selama 30-60 menit.
- Alteplase 15 mg melalui intravena dan dilanjutkan 0,75 mg/kgBB untuk 30 menit berikutnya dan 0,6 mg/kgBB untuk 60 menit berikutnya.
- Pemberian Streptokinase atau alteplase diberikan diikuti pemberian heparin
Unfractionated Heparin diberikan sebanyak 60 unit/kgBB dan dilanjutkan 12 unit/kgBB/jam
Low Molecular Weight Heparin, diberikan dengan dosis inisial 30 mg secara intravena dan rumatan 1 mg/kgBB secara subkutan. [1]
Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI)
Primary Percutaneous Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan utama dalam terapi reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan pPCI maka risiko perdarahan akibat fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko perdarahan intrakranial dapat meningkat pada pemberian fibrinolisis.[21
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
- Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak dengan petugas medis
- Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali pada kondisi yang diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI[20]
Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:
- Diutamakan pemasangan stentpada semua kasus dibandingkan hanya dengan angioplasti dengan balon
- Tindakan primary PCIhanya terbatas pada pembuluh darah yang memiliki lesi, kecuali bila dibarengi syok kardiogenik atau iskemik yang menetap setelah PCI
- Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan dilakukan oleh dokter yang berpengalaman
- Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan
- Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan
- Penggunaan rutin intraaortic baloon pump(IABP) selain pada syok kardiogenik tidak direkomendasikan[20]
Studi terbaru juga telah mempelajari efektivitas monoterapi ticagrelor dibandingkan terapi dual ticagrelor dan aspirin untuk pasien berisiko tinggi perdarahan yang menjalani PCI.
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Tidak banyak pasien sindrom koroner akut yang membutuhkan tindakan coronary artery bypass grafting (CABG). CABG diindikasikan pada pasien dengan kelainan anatomis dan tidak dapat dilakukan PCI serta pasien dengan komplikasi gangguan mekanik pada jantung.
Pasien yang tidak dimungkinkan dengan intervensi PCI dapat dipertimbangkan untuk dilakukan CABG. Pasien dengan gangguan di tiga pembuluh darah (3VD/ 3 vessel disease) sebaiknya dilakukan graft agar revaskularisasi ke seluruh miokardium dapat dicapai dengan baik.[1,22] Hasil studi prospektif dan terrandomisasi oleh NOBLE, didapati bahwa pada penyakit pada arteri koroner kiri utama (left main coronary artery diseases), hasil CABG lebih baik dibandingan dengan PCI.[23] Walau tingkat mortalitas dalam 5 tahun tidak beda jauh, namun CABG didapati lebih baik daripada PCI pada kasus left main coronary artery diseases.
Rujukan
Bila pada fasilitas kesehatan tidak mampu untuk melakukan terapi reperfusi, maka pasien harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. Hitungan onset serangan hingga terapi reperfusi dapat berpengaruh terhadap strategi reperfusi.[1]
Bila waktu kurang dari 3 jam sejak onset hingga dapat fasilitas dengan terapi fibrinolisis, maka terapi fibrinolisis dapat dilakukan. Bila waktu kurang dari 12 jam sejak onset, maka pertimbangkan langsung dirujuk ke fasilitas yang mampu melaksanakan primary PCI. Pasien dengan stratifikasi risiko tinggi segera dilakukan revaskularisasi dengan intervensi, dan dalam kondisi tertentu atau left main artery coronary disease perlu dilakukan CABG.