Diagnosis Rubella
Diagnosis rubella secara klinis sulit dilakukan karena gejala penyakit ini biasanya tidak spesifik dan ringan saja. Penyakit rubella sering memiliki tampilan klinis yang mirip dengan demam akibat campak, mononukleosis infeksiosa, dan infeksi enterovirus. Selain itu, pemeriksaan laboratorium darah rutin tidak banyak membantu diagnosis sebab biasanya hanya menunjukkan leukopenia dan limfosit atipikal saja.
Metode diagnosis yang lebih bermanfaat adalah isolasi virus dari spesimen usap tenggorok, urin, cairan sendi, dan sekresi tubuh lainnya terutama pada hari-hari pertama timbulnya ruam. Sementara itu, isolasi virus untuk sindrom rubella kongenital lebih sering menggunakan metode molekuler tertentu seperti reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) ditambah pemeriksaan serologi untuk imunoglobulin M dan G (IgM dan IgG) spesifik rubella. [4]
Anamnesis
Manifestasi yang digali dalam anamnesis berbeda antara infeksi rubella postnatal dengan sindrom rubella kongenital.
Infeksi Rubella Postnatal
Temuan anamnesis yang mendukung diagnosis rubella postnatal biasanya berupa episode gejala prodromal seperti mudah lelah, lemas, demam, dan penurunan nafsu makan yang berlangsung selama beberapa hari. Mengingat gejala ini biasanya ringan dan perlahan menghilang, pasien biasanya belum memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter hingga muncul pembesaran kelenjar getah bening (KGB) dan ruam.
Ruam akibat rubella bermula di wajah dan menyebar ke badan. Ruam biasanya berukuran makulopapular, tidak berkonfluens, dan bisa mengalami deskuamasi saat fase konvalesens. Ruam rubella dapat pula disertai coryza ringan dan konjungtivitis. Biasanya, ruam hanya berlangsung selama 3-5 hari dan demam hanya berlangsung hingga hari pertama munculnya ruam[6].
Sindroma Rubella Kongenital
Infeksi rubella berpotensi fatal pada trimester pertama kehamilan dan berujung pada kematian janin, kelahiran prematur, serta beragam kelainan kongenital. Hasil anamnesis spesifik yang mengarah pada diagnosis sindrom rubella kongenital (SRK) umumnya diawali dengan gejala dan tanda pada janin yang sesuai dengan SRK yang dapat bersifat temporer, permanen, atau berkembang.
- Gejala temporer termasuk berat lahir rendah, purpura trombositopenia, hepatosplenomegali, fontanel anterior membesar, meningoensefalitis, anemia hemolitik, dan limfadenopati.
- Gejala permanen termasuk katarak, mikroftalmia, retinopati, duktus arteriosus paten, kriptorkismus, mikrosefali, glaukoma, dan gangguan pendengaran.
- Gejala yang berkembang seiring dengan pertambahan usia anak dan mungkin belum dapat bermanifestasi secara jelas pada usia dini antara lain gangguan bahasa sentral, pubertas prekoks, penyakit kejang, diabetes melitus, dan penyakit otak degeneratif [6,27].
Pemeriksaan Fisik
Selain demam, hasil pemeriksaan fisik pada infeksi rubella didapat umumnya berupa limfadenopati yang dapat berlangsung selama beberapa minggu dan ruam. Kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat antara lain pada regio aurikular posterior, servikal posterior, dan suboksipital. Kadangkala, splenomegali juga dapat ditemukan. Perlu diketahui bahwa temuan fisik tersebut tidak spesifik untuk rubella namun juga dapat dijumpai pada penyakit campak, toksoplasmosis, roseola, infeksi parvovirus B19, dan enterovirus.
Pada wanita, biasanya dapat terjadi komplikasi berupa arthritis atau arthralgia yang melibatkan sendi jari, pergelangan tangan, dan lutut yang menyertai timbulnya ruam. Kondisi ini dapat berlangsung hingga 1 bulan.
Sementara itu, pada kasus sindrom rubella kongenital (SRK), gejala fisik yang pertama kali dilaporkan umumnya adalah katarak dan ruam purpura. [6]
Diagnosis Banding
Sebagai penyakit infeksi yang disertai timbulnya ruam, diagnosis banding penyakit rubella postnatal mencakup campak, demam dengue, eritema infeksiosum, dan roseola infantum.
Setiap wanita hamil yang terpapar atau mengalami ruam nonvesikuler idealnya diperiksa lebih lanjut terhadap kedua penyakit ini.
Sementara itu, pada negara tropis seperti Indonesia, infeksi dengue dapat menyebabkan gejala mirip rubella. Namun, penyakit dengue tidak menyebabkan limfadenopati aurikuler.
Perbedaan antara campak dan rubella secara klinis terletak pada jarangnya gejala nyeri sendi dan tidak adanya adenopati aurikuler pada campak.
Di sisi lain, roseola infantum tidak ditemukan menyebabkan coryza, konjungtivitis, dan gejala sendi untuk membedakannya dari rubella.
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan setelah membandingkan tampilan klinis berbagai penyakit tersebut adalah menggunakan pemeriksaan serologi imunoglobulin M untuk mendeteksi adanya infeksi virus rubella. [6,27]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah menggunakan pemeriksaan serologi.
Infeksi Rubella Postnatal
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis rubella postnatal adalah pemeriksaan serologi dan virologi. Pemeriksaan kadar immunoglobulin M (IgM) spesifik rubella tunggal atau peningkatan titer antibodi sebanyak empat kali atau lebih antara serum berpasangan yang diambil pada interval 2 minggu atau serokonversi immunoglobulin G (IgG) menandakan adanya infeksi rubella baru. Namun, interpretasi hasil pemeriksaan serologi perlu dilakukan hati-hati dengan mempertimbangkan waktu pengumpulan sampel relatif terhadap timbulnya ruam sebab IgM anti-rubella hanya terdeteksi hingga 3 minggu sejak onset ruam. Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi IgM dan IgG spesifik rubella antara lain enzyme immunoassay (EIA), aglutinasi lateks, dan inhibisi hemaglutinin[28].
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan virologi menggunakan sampel yang diisolasi dari sekresi nasofaring dan urin. Walaupun deteksi genom virus rubella menggunakan reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dari sampel urin dan usap tenggorok dapat dilakukan, pemeriksaan ini masih mahal dan jarang tersedia sehingga pemeriksaan serologi masih merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk kasus infeksi rubella postnatal.
Sindrom Rubella Kongenital
Pemeriksaan serologi untuk sindrom rubella kongenital (SRK) agak sulit untuk dilakukan sebab pemeriksaan IgM spesifik rubella dari serum bayi sering berkaitan dengan hasil positif palsu berkat adanya IgG dan faktor reumatoid maternal. Oleh sebab itu, pemeriksaan IgG berkala perlu dilakukan saat bayi berusia 3 dan 6 bulan. Apabila konsentrasi IgG spesifik rubella pada bayi menetap atau meningkat pada durasi pemantauan selama beberapa bulan, maka menandakan adanya infeksi rubella kongenital[4,28].
Pada kasus SRK diagnosis virologi menggunakan virus rubella yang diisolasi dari usap nasofaring, darah, cairan otak, dan urin bayi dengan kecurigaan SRK dapat dilakukan hingga usia bayi mencapai 1 tahun .[29]