Pendahuluan Tuli
Gangguan pendengaran, atau umum disebut sebagai tuli, merupakan penyakit telinga berupa penurunan kemampuan untuk mendengar kata-kata. Walau demikian, sebenarnya gangguan pendengaran dan tuli berbeda. Tuli merupakan gangguan pendengaran yang sangat berat berupa ketidakmampuan untuk mendengar suara teriakan, dan tidak bisa diatasi dengan alat bantu dengar. Tingkat keparahan gangguan pendengaran ditentukan berdasarkan kemampuan seseorang untuk mendengar suara dan secara spesifik berdasarkan hasil audiometri. Walau demikian, terdapat definisi yang berbeda-beda dari tingkat keparahan gangguan pendengaran ini, contohnya definisi dari WHO (World Health Organization) dan American National Standards Institute. [1-2]
Menurut WHO (World Health Organization) gangguan pendengaran apabila terjadi pada orang dewasa, sifatnya permanen, tanpa bantuan alat dengar, dengan level ambang pendengaran di atas atau sama dengan 41 desibel (dB). Sedangkan pada anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun adalah gangguan pendengaran yang sifatnya permanen, tanpa bantuan alat dengar, dengan level ambang pendengaran diatas sama dengan 31 dB. Selanjutnya, menurut American National Standards Institute terdapat 5 derajat ketulian berdasarkan ambang pendengaran dalam desibel yakni derajat ringan (26–40 dB), sedang (41- 55 dB), sedang-berat (56-70 dB), berat (71–90 dB) dan sangat berat (lebih dari 90 dB). [1,4]
Tuli terbagi menjadi tiga tipe:
- Tuli konduktif: gangguan pada telinga luar dan tengah
- Tuli sensorineural: gangguan pada telinga dalam
- Tuli campuran: kombinasi tuli konduktif dan sensorineural
Diagnosis pada tuli dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi:
-
Onset terjadinya gangguan pendengaran, progresivitas, melibatkan satu telinga atau keduanya
- Keluhan tambahan lainnya seperti pusing berputar, nyeri telinga, keluar cairan dari telinga, telinga berdengung
- Riwayat pekerjaan
-
Riwayat infeksi telinga berulang, riwayat trauma, riwayat penyakit lainnya seperti stroke, diabetes, gangguan jantung, dan riwayat penggunaan obat yang bersifat ototoksik
Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspeksi pada telinga luar hingga telinga tengah dengan menggunakan bantuan alat otoskop, diikuti dengan pemeriksaan garpu tala yaitu tes Rinne dan Weber. Hasil tes garpu tala sebaiknya dikonfirmasi lagi dengan menggunakan audiometri.[1-3]
Tata laksana pada penderita tuli disesuaikan dengan penyebab serta tingkat keparahan tuli, berupa terapi farmakologis, nonfarmakologis, hingga pembedahan. Terapi farmakologis yang dapat diberikan misalnya karbogliserin untuk mengatasi gangguan pendengaran akibat serumen prop. Terapi nonfarmakologis misalnya penggunaan alat bantu dengar. Pembedahan dilakukan pada tuli yang tidak dapat dibantu dengan alat bantu dengar untuk memasang implan koklear. Pembedahan juga dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit penyebab tuli, misalnya pada otitis media berulang dapat dilakukan miringotomi. [4]