Patofisiologi Rubella
Secara patofisiologi, infeksi rubella postnatal dan kongenital memiliki persamaan dalam hal mekanisme penularan virus melalui kontak langsung atau aerosol dari sekresi saluran napas atas dari individu yang infeksius terhadap individu yang rentan. Namun, infeksi rubella postnatal dan kongenital berbeda dalam hal tingkat kerusakan organ dan komplikasi jangka panjang yang mungkin terjadi[6–9].
Infeksi Rubella Postnatal
Patogenesis infeksi rubella berawal ketika virus ditularkan secara kontak langsung atau aerosol dari sekresi saluran napas atas individu yang infeksius. Tingkat infeksi ditentukan oleh jumlah virus yang terkandung dalam sekresi yang berasal dari nasofaring dan dapat berlangsung sejak 1 minggu sebelum hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Masa paling menular adalah antara 5 hari sebelum hingga 6 hari setelah awitan ruam[6].
Setelah paparan virus terjadi, virus melekat pada sel epitel saluran napas dan menginvasi sel serta menyebar secara hematogen. Manifestasi klinis viremia dapat terjadi selama 5-7 hari setelah infeksi. Kemudian, virus mengalami replikasi di sistem retikuloendotelial yang diikuti oleh viremia sekunder hingga akhir minggu kedua pasca infeksi. Bukti infeksi virus dalam sel dapat dilihat hingga 4 minggu sejak infeksi bermula pada limfosit dan monosit dari sampel darah perifer.
Dalam kurun waktu 8-14 hari sejak paparan, replikasi virus secara aktif terjadi di dalam tubuh dan virus dapat ditemukan pada berbagai lokasi anatomi seperti saluran napas, kulit, nodus limfa, urin, cairan serebrospinal, dan air susu[10,11]. Pada periode inilah gejala klinis, pembentukan imunitas humoral, dan keluaran virus yang berasal dari nasofaring secara maksimal terjadi[7].
Respons imunitas humoral yang mengikuti infeksi alamiah dan vaksinasi rubella ditandai oleh pembentukan berbagai golongan antibodi reaktif terhadap antigen virus yang berbeda, termasuk hemaglutinin, antibodi pengikat komplemen, dan antigen presipitin. Jumlah antibodi penghambat hemaglutinin mulai meningkat sejak awitan ruam sedangkan antibodi pengikat komplemen baru muncul satu minggu setelah timbulnya ruam. Di sisi lain, titer puncak inhibisi hemaglutinin dan antibodi penetral virus terjadi 2 minggu setelah awitan ruam. Antibodi inhibitor hemaglutinin dan antibodi penetral virus tersebut masih dapat terdeteksi hingga jangka waktu yang lama [12].
Sementara itu, peran imunitas seluler dalam respons terhadap infeksi rubella masih belum dipelajari secara mendalam. Terdapat bukti bahwa kekebalan seluler terhadap virus rubella mulai terjadi sejak 1 minggu sebelum pembentukan imunitas humoral dan diduga bertahan seumur hidup. Di sisi lain, supresi temporer terhadap imunitas seluler dan penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pasca infeksi alamiah dan vaksinasi. Namun, supresi imunitas seluler tersebut belum pernah dilaporkan hingga menyebabkan imunosupresi yang bermakna secara klinis pada individu imunokompeten yang mengalami infeksi rubella[13,14].
Infeksi Rubella Kongenital
Berbeda dengan infeksi rubella postnatal, patogenesis infeksi rubella kongenital dapat bersifat persisten dan berlangsung secara progresif. Janin yang mengalami sindrom rubella kongenital (SRK) dapat mengeluarkan virus melalui sekresi nasofaring dan urin hingga usia 1 tahun dan dapat menularkan virus tersebut pada individu yang rentan terhadap infeksi[9].
Infeksi janin dan plasenta oleh virus rubella terjadi setelah adanya infeksi rubella maternal pada trimester pertama kehamilan. Masuknya virus rubella ke tubuh janin pada tahap organogenesis tersebut berkaitan erat dengan peningkatan risiko kematian janin dan teratogenisitas[8]. Proporsi kelainan janin pada trimester pertama kehamilan yang mengikuti infeksi rubella maternal mencapai 85%-90% kasus dan berkurang hingga 50% apabila infeksi terjadi saat usia kehamilan 13-16 minggu dan 25% saat infeksi terjadi pada usia kehamilan 15-16 minggu. Sementara itu, kelainan janin sangat langka terjadi ketika usia kehamilan di atas 16 minggu walaupun tuli sensorineural pada bayi masih dapat terjadi pada infeksi maternal usia kehamilan 20 minggu[15].
Hingga kini masih belum diketahui faktor yang berkaitan dengan kerentanan plasenta dan janin terhadap infeksi virus rubella pada trimester pertama. Efek patologi dari infeksi rubella kongenital terjadi akibat vaskulitis nekrotikans progresif imbas virus. Pemeriksaan histopatologi janin pasca infeksi rubella kongenital menunjukkan kerusakan endotel non inflamatorik pada pembuluh darah kecil yang menyebabkan trombosis dan nekrosis jaringan di sekelilingnya[16].
Kelainan patologi lainnya mencakup peradangan fokal, edema, dan perubahan granulomatosa. Terdapat bukti adanya gangguan mitosis akibat kerusakan sitoskeleton, apoptosis, dan defek kromosom pada janin yang terinfeksi kongenital dan sel embrional yang terinfeksi secara kronik[17]. Spektrum infeksi virus rubella pada janin dapat bervariasi mulai dari kelainan ekstensif multiorgan apabila infeksi terjadi sejak awal trimester pertama hingga keterlibatan fokal pada beberapa organ, khususnya mata dan telinga, jika infeksi terjadi setelah usia kehamilan 11-12 minggu[15].