Diagnosis Influenza
Diagnosis influenza sering bergantung pada gambaran klinis saja, namun tes laboratorium seperti uji diagnostik cepat influenza dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis influenza dan untuk memantau pengembangan epidemi.
Anamnesis
Gejala sistemik yang muncul mendadak setelah 1-2 hari periode inkubasi, yang ditandai oleh demam, menggigil, nyeri otot, sakit kepala, lemas, dan penurunan nafsu makan. Keluhan pernapasan seperti batuk kering, nyeri tenggorok, dan pilek dapat terjadi bersamaan dengan gejala sistemik, namun yang lebih menjadi keluhan utama biasanya adalah gejala sistemik dibandingkan gejala pernapasan.
Nyeri otot terutama dikeluhkan pada tungkai dan lengan atau otot punggung. Nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda radang sendi. Nyeri pada mata khususnya saat melihat ke samping dan disertai rasa terbakar atau peningkatan produksi air mata.
Gejala yang sugestif untuk influenza antara lain:
-
Demam antara 37,8-40oC, kontinyu maupun intermiten, dengan durasi 3 hari (dapat pula hingga 4-8 hari)
- Batuk, biasanya tanpa disertai dahak, kecuali apabila terdapat komplikasi pneumonia
- Nyeri tenggorokan
- Pilek atau hidung tersumbat
- Nyeri otot
- Nyeri kepala
- Nyeri mata, dapat disertai mata berair
- Muntah
- Pada anak-anak dapat disertai dengan diare
Pemeriksaan Fisik
Status generalis umumnya menunjukkan pasien tampak lemah, flushing, kulit teraba hangat dan lembab. Konjungtiva hiperemis dan berair, membran mukosa hidung hiperemis, tanpa adanya eksudasi.
Pada auskultasi paru dapat ditemukan ronki kering yang transien atau ronki basah yang terlokalisir. Pada anak-anak dapat terjadi limfadenopati servikal dan gejala croup. [2,12,13]
Diagnosis Banding
Pada situasi dimana terjadi wabah influenza, diagnosis klinis cukup akurat khususnya pada kelompok pasien dewasa dengan akurasi hingga 90%[13,14]. Namun, pada kondisi tertentu (misalnya pada pasien yang dirawat di rumah rawat atau pada anak-anak), diagnosis banding berikut ini perlu dipertimbangkan:
-
Infeksi respiratory syncytial virus (RSV)
-
Pneumonia bakterial
- Faringitis streptokokal
- Infeksi virus parainfluenza
- Infeksi adenovirus
- Infeksi virus dengue
-
Infeksi HIV/AIDS
- Pertusis
- Meningitis
-
Malaria. [2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan pada kasus influenza yang ringan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan cukup jelas dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mengidentifikasi tipe strain virus influenza biasanya hanya diperlukan pada kasus epidemik ataupun pandemik.
Uji Diagnostik Cepat Influenza
Pemeriksaan immunoassay untuk mengenali antigen nukleoprotein virus tipe A dan B dari spesimen sekret jalan napas.
Sensitivitas uji diagnostik cepat influenza:
- Sensitivitas bervariasi antara 40-80% dibandingkan kultur virus
- Sensitivitas pada anak-anak lebih tinggi sehubungan dengan jumlah virus yang dikandung dalam sekret hidung anak-anak dibanding dewasa
- Sensitivitas lebih tinggi pada hari-hari pertama sejak mulai muncul gejala
Sampel terbaik adalah usapan atau aspirasi nasofaringeal dibandingkan usap tenggorok atau sekret kumur. [15]
Uji Diagnostik Molekuler
Pemeriksaan bertujuan untuk mendeteksi asam nukleat virus dari spesimen dengan tekniik hibridisasi asam nukleat dan polymerase chain reaction (PCR). PCR berpotensi lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan dapat mendeteksi subtipe virus secara cepat.
Sensitivitas PCR lebih baik menggunakan usapan nasofaringeal maupun aspirat trakeal dan sputum (pada pasien dengan gejala infeksi saluran napas bawah). [7]
Pemeriksaan Serologi
Berguna dalam diagnosis retrospektif infeksi influenza menggunakan teknik fiksasi komplemen dan inhibisi hemaglutinasi. Pemeriksaan ini memerlukan perbandingan serum spesimen akut (dalam 7 hari sejak awitan gejala) dan konvalesen dengan jarak pengumpulan spesimen 10-20 hari.
Sangat terbatas manfaatnya untuk diagnosis influenza akut namun sangat penting dalam penelitian virus influenza dan investigasi epidemiologi serta evaluasi respon antibodi terhadap vaksinasi. [16]
Isolasi Virus
Virus dapat diisolasi dari spesimen usap rongga hidung, tenggorok, bilasan rongga hidung, maupun sputum. Sampel ditempatkan pada wadah tertutup dengan medium transpor virus dan segera dikirim ke laboratorium rujukan. Spesimen kemudian diinokulasi pada biakan sel ginjal hewan tertentu untuk melihat efek sitopatik/hemadsorpsi. 90% kultur menunjukkan hasil positif setelah 3 hari sejak inokulasi, atau maksimal 7 hari. [17]