Diagnosis Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung tidak mudah dilakukan baik pada skenario gagal jantung akut maupun kronik. Pada kasus akut, gagal jantung dapat memiliki gejala yang mirip dengan iskemia miokard, eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), emboli, dan infeksi paru. Sementara itu, pada situasi kronik, gagal jantung kadang sulit dibedakan dari depresi, asthma, sirosis hati, dan hipotiroidisme. Oleh sebab itu, prinsip kehati-hatian perlu diterapkan dalam menangani pasien yang dicurigai dengan gagal jantung agar pemeriksaan diagnostik dan intervensi yang tepat dapat segera dilakukan.
Anamnesis
Anamnesis yang terarah pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat mengungkap adanya beragam gejala, faktor risiko, faktor pencetus gejala akut, yang dapat membantu dalam menentukan tata laksana yang tepat. Gejala gagal jantung sangat beragam dan tidak sepenuhnya sensitif serta spesifik dalam membantu mengidentifikasi ada atau tidaknya kongesti. Selain itu, tidak ada kelompok gejala yang dapat dikenali sebagai gejala spesifik untuk membedakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun maupun normal.
Anamnesis Sesak
Sesak yang bertambah berat merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien dengan gagal jantung. Gejala ini disebabkan oleh peningkatan tekanan pengisian ventrikel maupun penurunan curah jantung [43]. Namun, gejala ini dapat disamarkan akibat perubahan gaya hidup pasien, misalnya dengan membatasi aktivitas yang memerlukan kebutuhan energi lebih tinggi. Untuk mengungkap hal ini, anamnesis perlu diarahkan agar pasien menceritakan kapasitas latihan fisik pasien dari waktu ke waktu agar dokter mendapat gambaran penurunan kapasitas fisik yang tersamarkan tersebut.
Sesak saat istirahat atau berbaring lebih sering dikeluhkan oleh kelompok pasien gagal jantung yang sedang dalam perawatan di RS dan memiliki sensitivitas diagnostik yang cukup tinggi pada populasi tersebut. Pasien biasanya menggambarkan perlunya berbaring dengan kepala sedikit lebih tinggi dari badan guna mengurangi sesak (ortopnea) maupun adanya sesak yang muncul ketika berbaring ke sisi kiri (trepopnea) [44]. Sesak saat berbaring yang kemudian membuat pasien terbangun dan terjadi 1-2 jam setelah pasien tidur (paroxysmal nocturnal dyspnea/PND) juga merupakan indikator penting gagal jantung [45]. Seluruh varian gejala sesak tersebut adalah manifestasi kongesti paru akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang berlanjut sebagai hipertensi vena pulmonalis [46].
Anamnesis Lainnya
Sementara itu, riwayat penambahan berat badan, lingkar perut, cepat kenyang, dan pembengkakan ekstremitas dan skrotum menggambarkan adanya kongesti jantung kanan. Kongesti jantung kanan juga dapat menimbulkan gejala berupa nyeri perut kanan atas yang tidak spesifik akibat kongesti hati [47]. Gejala penting lainnya yang perlu digali dalam anamnesis pasien gagal jantung mencakup riwayat mudah lelah yang merefleksikan adanya penurunan curah jantung serta perubahan respons metabolik otot rangka terhadap peningkatan aktivitas. Namun, kelelahan pada pasien gagal jantung juga perlu diinterpretasi secara hati-hati sebab hal tersebut juga dapat muncul akibat depresi, anemia, disfungsi ginjal, perubahan endokrin, dan efek samping obat yang terjadi pada pasien [2,15].
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan mengonfirmasi data yang didapatkan dari anamnesis pasien sekaligus membantu dalam menentukan derajat keparahan gagal jantung. Seperti halnya data anamnesis, temuan pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang beragam untuk mendiagnosis gagal jantung serta tidak khas dalam membedakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun atau normal. Evaluasi tanda fisik yang penting dalam mengungkap keparahan gagal jantung mencakup keadaan umum, pemeriksaan tanda vital pada posisi duduk dan berdiri, pemeriksaan fisis jantung dan pembuluh darah, pemeriksaan organ lain yang terkait dengan kongesti dan hipoperfusi serta komorbiditas lainnya.
Keadaan Umum
Keadaan umum pasien yang perlu dinilai antara lain tingkat kesadaran, perawakan tubuh, serta ekspresi pasien yang mungkin menunjukkan kesulitan saat bernapas, menahan nyeri, dan batuk.
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dapat mengungkap adanya pucat atau sianosis akibat hipoperfusi, riwayat penyalahgunaan alkohol kronik (misalnya eritema palmar atau spider angiomata), eritema nodosum akibat sarkoidosis, dan kulit yang menjadi gelap seperti perunggu pada hemokromatosis yang dapat mengarahkan pada kemungkinan etiologi [48-50].
Tekanan Darah
Pasien dengan perfusi sistemik yang buruk biasanya memiliki tekanan darah sistolik yang rendah, tekanan nadi yang menyempit, dan pulsasi yang lemah. Namun, banyak pula ditemukan pasien gagal jantung dengan tekanan sistolik di bawah 90 mmHg dan perfusi adekuat. Sementara itu, sebagian pasien lainnya memiliki curah jantung rendah tapi dapat menunjukkan tekanan darah dalam rentang normal dengan mengorbankan perfusi perifer [51].
Pola Pernapasan
Pada gagal jantung tahap lanjut, pola pernapasan Cheyne-Stokes dapat diamati pada pasien dan sangat berkaitan dengan curah jantung yang rendah serta gangguan bernapas saat tidur. Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan salah satu prediktor prognosis yang buruk pada pasien dengan gagal jantung [52]. Selain itu, pemeriksaan fisis paru juga dapat menunjukkan adanya pekak saat perkusi paru serta penurunan bunyi napas pada salah satu atau kedua bagian basal paru yang mengindikasikan suatu efusi pleura. Kebocoran cairan dari kapiler pulmoner ke dalam alveoli dapat menimbulkan ronki basah halus sedangkan bronkokonstriksi reaktif bermanifestasi sebagai mengi. Namun, ronki basah halus mungkin tidak ditemukan pada gagal jantung berat akibat adanya peningkatan drainase limfatik lokal [51].
Bunyi Jantung
Adanya bunyi jantung ketiga (S3 gallop) merupakan temuan yang penting sebab hal tersebut berkaitan dengan peningkatan volume pengisian ventrikel. Selain itu, bunyi jantung ketiga sangat spesifik dalam memprediksi diagnosis gagal jantung dan mempunyai nilai prognostik khusus. Pasien gagal jantung dengan distensi vena jugularis dan S3 gallop berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan di RS serta kematian akibat gagal jantung [51].
Status Volume Cairan dan Perfusi
Aspek pemeriksaan fisik lainnya yang juga penting dilakukan setiap melakukan evaluasi pasien dengan gagal jantung adalah pemeriksaan status volume cairan dan perfusi. Metode yang tepat untuk menilai status volume adalah dengan melakukan pemeriksaan tekanan vena jugularis (jugular venous pressure/JVP). Peningkatan JVP memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 79% dalam mendeteksi peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri. Perubahan JVP pada pasien yang mendapat terapi gagal jantung biasanya juga berkaitan dengan perubahan pada tekanan pengisian ventrikel kiri. Oleh sebab itu, JVP tak hanya baik untuk mendeteksi status volume tapi juga untuk memantau respons pengobatan [51].
Edema
Edema dapat ditemukan pada pemeriksaan ekstremitas bawah pasien dengan gagal jantung yang disertai kelebihan volume cairan tubuh. Namun, edema ekstremitas bawah lebih menggambarkan volume ekstravaskuler dibandingkan intravaskuler serta dapat ditemukan pada kondisi lain seperti insufisiensi vena, obesitas, limfedema, sindrom nefrotik, dan sirosis. Adanya kombinasi distensi vena jugularis dan edema pedis meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung dibandingkan diagnosis banding lainnya [51].
Diagnosis Banding
Diagnosis banding gagal jantung mencakup berbagai kondisi yang melibatkan retensi cairan dan garam dengan manifestasi kongesti (misalnya, gagal ginjal) serta segala penyebab edema paru ekstrakardiak (misalnya, sindrom distres pernapasan akut).
Edema paru nonkardiogenik dapat disebabkan oleh jejas langsung, jejas hematogen pada paru, dan jejas paru dengan peningkatan tekanan hidrostatik. Jejas langsung paru dapat terjadi seperti pada trauma dinding dada, aspirasi, pneumonia, dan emboli paru [53]. Sementara itu, berbagai mediator inflamasi dan infeksi yang menyebar secara hematogen dapat pula menimbulkan kerusakan parenkim dan edema paru seperti yang mungkin ditemukan pada sepsis, pankreatitis, transfusi darah, dan kelebihan dosis obat tertentu (misalnya heroin) [54,55]. Kemudian, gagal jantung juga perlu dibedakan dari jejas paru akibat peningkatan tekanan hidrostatik seperti yang terjadi pada edema paru imbas ketinggian dan ekspansi pleura yang cepat [56,57].
Anamnesis dapat mengarahkan pada informasi awal yang berkaitan dengan penyebab paling mungkin gagal jantung sekaligus menyingkirkan penyebab kongesti paru nonkardiogenik lainnya. Pemeriksaan fisik yang mengarah pada kongesti paru akibat gagal jantung biasanya ditandai dengan adanya bunyi jantung ketiga, peningkatan JVP, ronki basah halus, dan edema perifer. Sementara itu, hasil pemeriksaan fisik pada diagnosis banding gagal jantung akan mendukung temuan anamnesis dan mengarahkan pada diagnosis banding yang sesuai. Adanya memar pada dada biasanya sesuai dengan trauma dada, sedangkan peningkatan suhu tubuh disertai batuk produktif biasanya mengarahkan pada suatu diagnosis pneumonia.
Pemeriksaan penunjang seperti rontgen dada yang mendukung diagnosis gagal jantung antara lain pembesaran siluet jantung pada foto toraks posteroanterior, penebalan interstisial, infiltrat perihiler, dan efusi pleura. Sementara itu, pada edema paru nonkardiogenik, rasio jantung-toraks masih dalam batas normal dan infiltrat alveolar biasanya terdistribusi merata di seluruh lapang paru [58]. Selain itu, manifestasi hipoksemia pada edema paru kardiogenik biasanya berespons baik dengan pemberian oksigen sedangkan edema paru nonkardiogenik hanya berespons parsial atau bahkan refrakter terhadap pemberian oksigen [59].
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gagal jantung adalah sebagai berikut:
Rontgen Dada
Rontgen dada masih menjadi pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Temuan klasik pada rontgen dada yang mengarahkan pada diagnosis edema paru akibat gagal jantung adalah pola menyerupai kupu-kupu pada interstisial paru dan opasitas alveolar bilateral yang menyebar dari perifer paru. Selain itu, garis Kerley B (garis lurus horizontal halus yang memanjang dari permukaan pleura akibat penumpukan cairan di ruang interstisial), peribronchial cuffing, serta peningkatan corakan vaskuler pada lobus atas paru juga dapat ditemukan. Namun, pada kasus gagal jantung berat, hasil pemeriksaan rontgen dada sangat mungkin terlihat normal walaupun pasien sangat sesak yang mengisyaratkan bahwa nilai prediktif negatif pemeriksaan ini sangat rendah untuk dengan mudah menyingkirkan diagnosis gagal jantung [60].

Gambar 2. Rontgen dada depan pada pasien dengan gambaran edema paru interstisial akibat gagal jantung yang mencakup hilangnya batas pembuluh darah pulmoner besar, munculnya garis septa lobus paru, penebalan septa interlobaris, dan kardiomegali (kanan).[60]
Elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) dapat memberikan petunjuk penting tentang etiologi gagal jantung sekaligus evaluasi penyebab dekompensasi gagal jantung pada pasien yang pernah terdiagnosis. Pada kasus gagal jantung akut yang dicetuskan oleh sindrom koroner akut, EKG dapat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST. Sementara itu, EKG juga dapat menunjukkan perubahan irama jantung (misalnya fibrilasi atrium), gambaran infark miokard lama, memprediksi hipertrofi ventrikel kiri, serta memantau perubahan interval QT, R-R, dan kompleks QRS selama pemberian terapi [2].
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung mencakup pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin serum, uji fungsi hati, profil lipid, thyroid-stimulating hormone (TSH), asam urat, dan urinalisis. Apabila pasien tertentu memiliki faktor risiko terhadap infeksi human immunodeficiency virus (HIV), skrining infeksi HIV dapat dipertimbangkan [2].
Pemeriksaan darah perifer lengkap dapat mengungkap adanya anemia yang bukan hanya merupakan komorbiditas utama gagal jantung [2], tapi juga mungkin disebabkan oleh kondisi lain seperti hemodilusi, penggunaan zat besi dalam tubuh yang buruk, anemia akibat penyakit kronik, dan keganasan. Kadar elektrolit serum dapat membantu mengidentifikasi hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat meningkatkan risiko aritmia ventrikuler pada pasien gagal jantung [1]. Hiperkalemia biasanya mengisyaratkan adanya gagal ginjal sebagai komplikasi gagal jantung kronik dan dapat pula disebabkan oleh suplementasi kalium maupun efek samping obat penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) [61]. Selain itu, elektrolit serum juga dapat menguatkan bukti adanya hiponatremia yang lazim terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronik serta akibat penggunaan diuretik dan pengaruh obat lain.
Peningkatan kadar kreatinin serum atau penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2) dapat ditemukan pada pasien gagal jantung yang telah mengalami komplikasi penyakit ginjal kronik, pasien dengan kongesti ginjal, dehidrasi, penggunaan ACE-I, ARB, serta obat-obatan nefrotoksik lainnya[62]. Namun, interpretasi eGFR juga perlu dilakukan dengan saksama, khususnya pada pasien dengan penyakit hati kronik yang dapat mengalami pelepasan kreatinin yang rendah (sehingga kreatinin tampak normal) dan nilai murni eGFR tersamarkan oleh peningkatan bilirubin serum serta penurunan albumin [63].
Hasil pemeriksaan fungsi hati yang abnormal pada pasien dengan gagal jantung akut dapat berkaitan peningkatan risiko kematian total. Secara spesifik, peningkatan kadar transaminase serta penurunan albumin pada hari ketiga sejak perawatan merupakan prediktor independen luaran mortalitas buruk 6 bulan pada pasien gagal jantung akut. Parameter enzim kolestatik alih-alih kadar transaminase lebih berkaitan dengan keparahan gagal jantung kronik. Sementara itu, peningkatan transaminase lebih jelas terlihat pada pasien gagal jantung akut dan syok kardiogenik meskipun enzim kolestatik juga dapat sedikit meningkat [64].
Pemeriksaan profil lipid puasa amat penting pada pasien gagal jantung dengan berbagai stadium keparahan. Pada pasien gagal jantung stadium A, terapi hiperlipidemia pada pasien yang berisiko tinggi dapat membantu menekan risiko gagal jantung di masa yang akan datang [2]. Pemeriksaan fungsi tiroid terutama penting pada pasien yang memiliki riwayat penyakit tiroid atau pernah mengalami aritmia ventrikuler akibat tirotoksikosis [65]. Di sisi lain, peningkatan TSH disertai kadar hormon tiroid yang rendah dapat mengindikasikan suatu hipotiroidisme. Hipotiroidisme dapat berpengaruh terhadap luaran pada pasien gagal jantung yang mendapat terapi resinkronisasi jantung maupun pasien gagal jantung secara umum [66,67].
Asam urat dapat meningkatkan stres oksidatif, vasokonstriksi, dan disfungsi endotel serta peningkatan risiko gagal jantung. Pemeriksaan asam urat pada gagal jantung perlu dilakukan sebagai prediktor risiko kejadian kardiovaskuler pada gagal jantung seperti fibrilasi atrium, perawatan berulang di RS, dan mortalitas jangka panjang. Sementara itu, urinalisis akan sangat membantu dalam mengidentifikasi sedimen urin abnormal pada kasus gagal jantung imbas penyakit glomerulus maupun sebagai prediktor adanya kerusakan organ seperti albuminuria [65].
Pemeriksaan Biomarker
Pasien dengan gagal jantung awitan baru atau mengalami dekompensasi akut perlu menjalani pemeriksaan biomarker untuk mendukung temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
BNP (brain natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro-B-type natriuretic peptide) merupakan biomarker gagal jantung yang muncul sebagai akibat dari peregangan ventrikel dan stres pada dinding ventrikel. Pasien dengan gagal jantung akut umumnya memiliki nilai BNP dan NT-proBNP yang jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gagal jantung kronik yang stabil. Namun, berbagai kondisi lain juga dapat menimbulkan peningkatan NT-proBNP seperti penyakit jantung katup, hipertensi pulmonal, penyakit jantung iskemik, aritmia atrium. Oleh sebab itu, interpretasi kadar BNP dan NT-proBNP perlu hati-hati dengan mempertimbangkan data anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya secara akurat [68].
Pemeriksaan Noninvasif
Ekokardiografi, pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging/MRI), computed tomography (CT) jantung, dan pencitraan nuklir merupakan metode pemeriksaan noninvasif yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis gagal jantung.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan noninvasif awal yang disarankan bagi seluruh pasien yang datang dengan manifestasi gagal jantung [2]. Ekokardiografi 2 dimensi dengan Doppler bermanfaat dalam menilai fungsi, ukuran, ketebalan dinding, gerakan dinding ventrikel, serta fungsi katup jantung. Apabila terdapat temuan klinis yang mengarah pada diagnosis penyakit jantung katup, diseksi aorta, endokarditis, penyakit jantung kongenital, dan trombus intrakaviti pada kasus fibrilasi atrium yang memerlukan kardioversi, teknik ekokardiografi transesofageal dapat dipertimbangkan [1].
MRI jantung memiliki kelebihan dibandingkan ekokardiografi dalam hal penyangatan resolusi, kemampuan dalam evaluasi ukuran dan fungsi ventrikel, serta penilaian adanya pirau dan katup. Meskipun bukan pemeriksaan noninvasif yang rutin dilakukan pada gagal jantung, MRI dapat dipertimbangkan apabila perlu dilakukan identifikasi penyakit infiltratif pada jantung (misalnya amiloidosis, hemokromatosis), membedakan kardiomiopati iskemik dari non iskemik, dan miokarditis [1,65].
CT jantung terutama baik dilakukan untuk memvisualisasi anatomi arteri koroner pada pasien gagal jantung yang memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang rendah atau hasil uji stres non invasif yang meragukan. Seperti halnya CT jantung, pencitraan nuklir juga dapat membantu penilaian iskemia dan viabilitas jaringan. Selain itu, pencitraan nuklir juga dapat membantu menilai prognosis pasien gagal jantung dengan kardiomiopati iskemik yang memerlukan penilaian perfusi miokard dibandingkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dalam penentuan prognosis [1,65].
Pemeriksaan Invasif
Angiografi koroner, kateterisasi ventrikel kiri, evaluasi kateter arteri pulmonal dan biopsi endomiokard adalah beberapa pemeriksaan invasif yang mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan gagal jantung.
Angiografi koroner dan kateterisasi ventrikel kiri disarankan bagi pasien gagal jantung dengan nyeri dada yang membandel terhadap terapi farmakologi apabila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap revaskularisasi koroner. Angiografi koroner juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat aritmia ventrikuler simptomatik atau pernah mengalami henti jantung. Jika pasien memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang tinggi dan terdapat bukti iskemia pada pemeriksaan non invasif, angiografi koroner dapat membantu menegakkan etiologi iskemia dan derajat keparahan penyakit jantung koroner [1,2].
Terapi yang dipandu evaluasi kateter arteri pulmonal (pulmonary artery catheter/PAC) mungkin diperlukan pada pasien tertentu meskipun belum ada bukti peran evaluasi kateter arteri pulmonal dalam memperbaiki luaran pasien dengan gagal jantung akut. Pemberian terapi gagal jantung yang dipandu evaluasi PAC dapat dipertimbangkan pada pasien gagal jantung stadium akhir yang refrakter. Selain itu, penggunaan PAC berguna pada pasien gagal jantung akut yang gagal terapi disertai kesulitan pemantauan status volum berdasarkan parameter klinis semata, mengalami gagal ginjal, instabilitas hemodinamik, dan mendapat obat vasopresor [1,65].
Biopsi endomiokard dapat bermanfaat apabila suatu diagnosis spesifik perlu ditegakkan segera guna memulai terapi atau pasien mengalami perburukan klinis secara cepat walau telah mendapat terapi farmakologi optimal. Amiloidosis jantung primer merupakan salah satu kondisi yang memerlukan peran biopsi endomiokard sebelum kemoterapi dapat dimulai. Selain itu, pada pasien dengan kardiomiopati idiopatik dan miokarditis akut tanpa penyebab yang jelas, biopsi endomiokard dapat membantu mengarahkan diagnosis. Mengingat peran dan hasil diagnostik dari biopsi endomiokard sangat terbatas, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan pada pasien dengan gagal jantung [2].