Epidemiologi Gagal Jantung
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dan insidens gagal jantung global mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini didukung tak hanya oleh peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, tapi juga pertambahan kematian akibat gagal jantung serta beban biaya kesehatan yang terkait gagal jantung.
Global
Data global mengungkap bahwa prevalensi gagal jantung telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut diduga berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan angka diagnosis gagal jantung, pertambahan jumlah populasi lansia, peningkatan insidens gagal jantung, serta perbaikan tata laksana penyakit kardiovaskuler dan layanan kesehatan secara umum [1]. Insidens gagal jantung bervariasi antara 1-32 kasus per 1000 orang-tahun. Rentang estimasi insidens yang lebar tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang diteliti dan kriteria diagnosis yang dipakai. Sebagai contoh, Bahrami et al memperkirakan bahwa insidens gagal jantung antara tahun 2000-2002 pada populasi kulit hitam, Hispanik, Kaukasian, dan Tiongkok-Amerika berdasarkan kriteria MESA (Multi Ethnic Study of Atherosclerosis) masing-masing sebesar 4,6; 3,5; 2,4; dan 1,0 per 1000 orang-tahun [38].
Namun, data epidemiologi global gagal jantung sebagian besar berasal dari penelitian di Amerika Utara dan Eropa sedangkan data dari belahan bumi lainnya masih sangat minimal. Secara khusus, data terbatas menunjukkan bahwa 1,2%-6,7% populasi di Asia terdiagnosis dengan gagal jantung. Di Tiongkok, hampir 4,2 juta penduduk mengalami gagal jantung dan 500.000 individu baru terdiagnosis dengan gagal jantung setiap tahun [39]. Angka tersebut hampir sebanding dengan data terbaru tahun 2016 di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa 5,7 juta penduduk AS menderita gagal jantung dengan perkiraan peningkatan prevalensi hingga 8 juta kasus pada tahun 2030 [40].
Indonesia
Prevalensi gagal jantung di Indonesia mencapai 5% dari total populasi. Angka prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan data prevalensi gagal jantung di populasi Eropa dan Amerika yang berkisar antara 1-2%. Karakteristik lain yang menonjol dari data epidemiologi gagal jantung di Indonesia adalah rerata usia saat pertama perawatan di RS akibat gagal jantung, perbedaan proporsi pria dan wanita yang menderita gagal jantung, serta proporsi faktor risiko gagal jantung yang teridentifikasi [41].
Rerata usia saat perawatan akibat gagal jantung di Indonesia cenderung lebih muda (58 tahun) dibandingkan data yang sama di beberapa negara Asia Tengara seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand (masing-masing 62, 60, 67, dan 67 tahun). Selain itu, jumlah pria penderita gagal jantung 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan wanita yang mengalami gagal jantung. Proporsi sejumlah faktor risiko utama gagal jantung yang teridentifikasi seperti penyakit jantung iskemik dan hipertensi tidak sebanyak proporsi faktor risiko tersebut pada penderita gagal jantung di negara Asia Tenggara lainnya. Namun, kegemukan dikenali sebagai salah satu faktor risiko gagal jantung yang teridentifikasi pada hampir separuh penderita [41]. Hal ini mengisyaratkan bahwa terdapat kemungkinan deteksi penyakit jantung iskemik dan hipertensi yang masih rendah pada populasi yang berisiko gagal jantung di Indonesia.
Mortalitas
Tingkat mortalitas pada pasien dengan gagal jantung yang bergejala (stadium AHA/ACC C dan D) masih cukup tinggi, yakni mencapai 25% pada 1 tahun dan 50% pada 5 tahun pertama pasca diagnosis [2]. Sementara itu, data dari Eropa menunjukkan bahwa laju mortalitas dalam kurun 12 bulan sejak terdiagnosis lebih tinggi pada pasien yang dirawat di RS dibandingkan pasien gagal jantung dengan kondisi klinis yang stabil (17% vs 7%) [1]. Data dari pengalaman klinis di Pusat Jantung Nasional dan beberapa pusat layanan jantung regional di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat gagal jantung pada pasien yang dirawat di RS mencapai 6,7% dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan estimasi tingkat kematian akibat gagal jantung di rumah sakit di kawasan Asia Pasifik dan Amerika Serikat (secara berturut-turut 4,8% dan 3,0%). Hal tersebut mungkin berkaitan dengan proporsi pasien dengan presentasi klinis buruk (diwakili oleh ejeksi fraksi <40%) yang lebih tinggi di Indonesia dibandingkan Amerika Serikat (62% vs 54%)[42].