Prognosis Gagal Jantung
Pada era modern ini, berbagai perkembangan teknologi kesehatan telah memungkinkan prediksi prognosis pada pasien gagal jantung. Beberapa variabel prognostik terkait peran renin-angiotensin-aldosteron, sistem saraf simpatik, serta penanda inflamasi telah dikenal dan diketahui berkaitan dengan luaran buruk pada pasien gagal jantung.
Komplikasi
Gagal jantung dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti aritmia, kejadian tromboemboli (KTE), komplikasi saluran cerna, dan pernapasan.
Jenis aritmia yang berbahaya dan sering dialami pasien dengan gagal jantung antara lain fibrilasi atrium (atrial fibrillation/AF) dan aritmia ventrikuler. AF dapat terjadi pada 10%-50% pasien dengan gagal jantung kronik dan manifestasi AF dengan respons ventrikel cepat dapat memicu perburukan gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung yang disertai AF memiliki risiko lebih tinggi terhadap stroke dan kejadian tromboemboli lainnya. Sementara itu, aritmia ventrikuler maligna seperti ventricular tachycardia lebih sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap akhir. Episode takikardia ventrikuler yang menetap biasanya menjadi indikator aritmia ventrikuler berulang dan kematian jantung mendadak di masa akan datang [46].
Gagal jantung juga meningkatkan risiko stroke dan kejadian tromboemboli dengan estimasi insidensi yang mencapai 2% setiap tahun. Faktor yang meningkatkan risiko tromboemboli pada pasien dengan gagal jantung antara lain curah jantung rendah disertai stasis darah di ruang jantung, kelainan gerak dinding jantung regional, dan fibrilasi atrium. Selain itu, pada gagal jantung tahap lanjut, pasien dapat mengalami imobilisasi akibat gejala sesak yang berat dan hal tersebut turut meningkatkan risiko trombosis vena dalam dan emboli paru [46].
Komplikasi saluran cerna yang mungkin terjadi pada pasien dengan gagal jantung dapat disebabkan oleh perubahan struktural dan fungsional pada lambung, ileum, kolon, dan sigmoid. Hal ini berdampak pada terjadinya sejumlah komplikasi gastrointestinal seperti malabsorpsi lemak, anemia, dan kakheksia [74].
Apabila pasien dengan gagal jantung mengalami suatu pemicu (misalnya infark miokard, aritmia, disfungsi ginjal) yang kemudian diperkuat dengan berbagai mekanisme miokard, renal, vaskuler, dan neurohormonal gagal jantung, maka dekompensasi akut gagal jantung dapat bermanifestasi. Komplikasi dari dekompensasi akut gagal jantung antara lain kongesti paru, gagal napas, kongesti hati, dan syok kardiogenik [1,46].
Prognosis
Prognosis gagal jantung masih tergolong buruk dan sangat terkait dengan laju kematian yang lebih tinggi dibandingkan laju kematian sebagian kanker yang umum ditemukan (misalnya kanker payudara, kanker rahim, kanker kandung kemih, dan kanker prostat). Data studi klasik Framingham menunjukkan bahwa median kesintasan pada pria dan wanita dengan gagal jantung masing-masing adalah 1,7 tahun dan 3,2 tahun. Sementara itu, tak lebih dari 25% pria dan 38% wanita yang mampu bertahan hidup dalam kurun 5 waktu pasca diagnosis gagal jantung [75].
Di sisi lain, analisis terhadap data dari 1075 individu dalam kurun waktu 50 tahun pada studi Framingham menemukan bahwa terdapat penurunan laju kematian sebesar 10-11% per dekade yang mengisyaratkan perbaikan dalam tata laksana gagal jantung. Namun, data semacam ini diambil dari studi ketat yang mungkin tidak representatif terhadap prognosis gagal jantung di populasi yang lebih besar. Gagal jantung di komunitas masih menunjukkan prognosis yang sangat buruk dan menyebabkan kematian pada 60% pria dan 40% wanita dalam kurun waktu 5 tahun sejak diagnosis [76].
Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Gagal Jantung
Beragam faktor telah diketahui dapat meningkatkan mortalitas dan berkaitan dengan prognosis buruk pada pasien dengan gagal jantung. Ini mencakup variabel demografik (usia, etnis, jenis kelamin), etiologi gagal jantung (penyakit jantung koroner, kardiomiopati dilatasi, penyakit jantung katup, alkohol), komorbiditas (diabetes melitus, hipertensi sistemik,, insufisiensi renal), kadar biomarker gagal jantung (ANP, BNP, NTproBNP, troponin, hematokrit), serta parameter hemodinamik (fraksi ejeksi ventrikel, tekanan baji kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonal) [1,2]. Namun, belum ada satu variabel prognostik yang paling menentukan luaran buruk pada pasien dengan gagal jantung.
Model Prognosis
Untuk mengatasi kesulitan ini, sejumlah model prognosis menggunakan skor yang dikembangkan dari data populasi gagal jantung telah mulai dipelajari. Salah satu model prognosis semacam ini adalah The Seattle Heart Failure Model (SHFM) yang didapat dari analisis retrospektif prediktor kesintasan pada pasien gagal jantung dari uji klinis. Model ini memberikan estimasi kesintasan pada tahun pertama, kedua, dan ketiga pasca diagnosis dengan menggunakan data klinis, farmakologis, alat, dan laboratorium. Namun, model prognosis ini tak luput dari kritik yang banyak menitikberatkan pada estimasi kesintasan yang melenceng jauh ketika model prognosis diterapkan pada subpopulasi spesifik pasien gagal jantung [77,78].