Penatalaksanaan Gagal Jantung
Penatalaksanaan gagal jantung meliputi manajemen kasus gagal jantung kronik dengan fraksi ejeksi menurun atau normal.
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun
Penanganan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun (heart failure with reduced ejection fraction/HFrEF) didasarkan pada pemahaman tentang kontinum gagal jantung menurut ACC/AHA. Stadium gagal jantung menurut ACC/AHA terbagi atas 4 stadium.
- Stadium A: Pasien risiko tinggi mengalami gagal jantung tanpa perubahan struktur jantung dan gejala, misalnya pasien dengan diabetes atau hipertensi
- Stadium B: Perubahan struktural pada jantung namun belum bergejala, misalnya pasien dengan riwayat infark miokard atau disfungsi ventrikel kiri asimtomatik
- Stadium C: Perubahan struktural jantung dan memiliki gejala gagal jantung, misalnya pasien infark miokard yang mengalami sesak dan mudah lelah
- Stadium D: pasien refrakter terhadap terapi gagal jantung dan memerlukan intervensi khusus, misalnya pasien gagal jantung dalam rencana transplantasi jantung[2]
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun Stadium A
Pasien dengan gagal jantung stadium A memerlukan evaluasi dan tata laksana terhadap segala faktor risiko gagal jantung sesuai pedoman yang berlaku. Kebiasaan merokok berkaitan erat dengan peningkatan kejadian gagal jantung. Pasien yang memiliki kebiasaan merokok perlu disarankan untuk segera berhenti merokok. Hipertensi, diabetes melitus, gangguan metabolisme lipid, obesitas perlu diidentifikasi dan ditangani segera. Pilihan antihipertensif yang baik pada pasien yang berisiko gagal jantung semacam ini adalah diuretik. Walaupun demikian, penghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting enzyme inhibitor/ACE-I) seperti captopril dan penghambat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker/ARB) seperti candesartan dapat menjadi pilihan [2].
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun Stadium B
Apabila pasien masuk kriteria gagal jantung stadium B; strategi pengobatan mencakup seluruh strategi pengobatan pada pasien dengan gagal jantung stadium A disertai beberapa strategi tambahan lainnya. Terdapat bukti bahwa penggunaan ACE-I dan penghambat reseptor beta dapat memperlambat remodelisasi ventrikel kiri pada pasien dengan gagal jantung stadium B serta fraksi ejeksi yang rendah [69]. Apabila terdapat kontraindikasi atau efek samping ACE-I yang dialami pasien, penggunaan ARB dapat dijadikan sebagai alternatif.
Selain itu, tata laksana hipertensi sistolik dan diastolik harus dilakukan secara optimal pada pasien dengan gagal jantung stadium B. Hal tersebut bermanfaat dalam menurunkan risiko penambahan keparahan stadium gagal jantung [70]. Pilihan terapi antihipertensif bergantung pada profil epidemiologi pasien serta ada atau tidaknya risiko kardiovaskuler pada diri pasien (misalnya penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau penyakit ginjal). Terapi antihipertensif menggunakan diuretik dapat bermanfaat dalam mencegah perburukan gagal jantung [71]. Sementara itu, ACE-I dan penghambat beta juga cukup efektif dalam mencegah kejadian gagal jantung. Meskipun demikian, terapi tunggal ACE-I maupun penghambat beta sebagai obat antihipertensi tidak lebih baik dibandingkan kelompok antihipertensif lainnya dalam mencegah luaran buruk kardiovaskuler. Pengecualian untuk hal ini adalah penggunaan ACE-I dan ARB yang dapat mengurangi insidensi gagal jantung pada populasi pasien dengan diabetes melitus tipe 2 [70,72].
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun Stadium C
Pada pasien dengan gagal jantung stadium C, komponen terapi menjadi semakin kompleks dan melibatkan intervensi nonfarmakologi, farmakologi, dan terapi menggunakan alat khusus. Komponen nonfarmakalogi pada tata laksana gagal jantung stadium C mencakup edukasi pasien secara memadai untuk mencapai kemandirian selama pengobatan, restriksi garam, manajemen gangguan bernapas saat tidur, serta program rehabilitasi jantung dan latihan fisik [2].
Intervensi Nonfarmakologi | Tingkat Bukti Ilmiah |
1. Setiap pasien dengan gagal jantung stadium C perlu mengikuti program edukasi spesifik untuk mencapai kemandirian pengobatan | Rekomendasi kelas I, LOE B |
2. Pembatasan asupan garam dapat dipertimbangkan pada pasien gagal jantung simptomatik untuk mengurangi gejala kongesti | Rekomendasi kelas IIa, LOE C |
3. Pada pasien dengan gagal jantung simtomatik disertai apnea tidur, penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure) dapat bermanfaat untuk meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memperbaiki status fungsional pasien | Rekomendasi kelas IIa, LOE B |
4. Latihan fisik teratur disarankan bagi pasien dengan gagal jantung dan dianggap aman serta efektif bagi pasien yang mampu berpartisipasi guna meningkatkan status fungsional | Rekomendasi kelas I, LOE A |
5. Program rehabilitasi jantung dapat bermanfaat bagi pasien dengan gagal jantung stabil untuk meningkatkan kapasitas fungsional, durasi latihan fisik, kualitas hidup, dan menurunkan mortalitas | Rekomendasi kelas IIa, LOE B |
Tabel 2. Rangkuman rekomendasi terapi nonfarmakologi bagi pasien dengan gagal jantung stadium C menurut klasifikasi ACC/AHA 2013[2]. Sumber: karya pribadi penulis, 2018
Terapi farmakologi pasien dengan gagal jantung stadium C sebaiknya didasarkan pada pedoman yang berlaku di tiap negara. Terapi farmakologi berbasis pedoman (guideline-directed medical therapy/GDMT) bermanfaat dalam menurunkan risiko relatif akibat kematian pada gagal jantung serta risiko rawat inap atas indikasi gagal jantung [2]. Diuretik perlu diberikan apabila pasien menunjukkan gejala yang diakibatkan oleh retensi cairan. Umumnya, diuretik diberikan bersama dengan ACE-I, penghambat beta, dan antagonis aldosteron. Supresi pada sistem renin-angiotensin dengan pemberian ACE-I atau ARB yang dikombinasikan bersama penghambat reseptor beta dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai penurunan ejeksi fraksi guna menekan morbiditas dan mortalitas [3]. Apabila pasien masuk dalam kategori NYHA kelas II-III dan telah terbukti mampu mengonsumsi ACE-I atau ARB tanpa menunjukkan gejala efek samping, penggunaan obat golongan ARNI (angiotensin receptor-neprilysin inhibitor) untuk mengganti keduanya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas lebih jauh lagi [73].
Rekomendasi terapi farmakologi gagal jantung stadium C dari ACCF/AHA tahun 2017 mengungkap bahwa Ivabradine dapat bermanfaat dalam menurunkan angka rawat inap pada pasien gagal jantung kronik simptomatik [3]. Ivabradine merupakan obat baru yang bekerja dengan menghambat kanal If di nodus sinoatrial sehingga menurunkan irama jantung. Namun, pemberian obat ini hanya dipertimbangkan apabila pasien telah mendapat GDMT, memiliki kelas fungsional NYHA II-III, dengan fraksi ejeksi ≤ 35% yang menunjukkan irama sinus dengan denyut jantung ≥ 70x/menit [1,3].
Terapi dengan Alat Khusus
Selain itu, penggunaan terapi dengan alat khusus dapat pula dipertimbangkan pada pasien gagal jantung simtomatik yang memenuhi syarat tertentu untuk pencegahan kematian jantung mendadak. Terapi defibrilator kardioversi tanam (implantable cardioverter defibrillator/ICD) dapat disarankan bagi pasien gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi iskemik maupun penyakit jantung iskemik, dengan syarat telah menunjukkan fraksi ejeksi ≤ 35%, melewati durasi 40 hari sejak kejadian infark miokard, serta kelas fungsional NYHA II atau III dalam terapi GDMT kronik, dan diprediksi memiliki kesintasan lebih dari 1 tahun. Terapi ICD juga dapat dipertimbangkan untuk pencegahan primer kematian jantung mendadak apabila pasien telah mendapat GDMT optimal dengan kelas fungsional NYHA I dan ejeksi fraksi ≤ 30% serta telah melewati 40 hari sejak kejadian infark miokard [2].
Terapi Resinkronisasi Jantung pada Pasien dengan Fraksi Ejeksi <35%
Sementara itu, apabila pasien memiliki fraksi ejeksi di bawah 35%, penggunaan terapi resinkronisasi jantung (cardiac resynchronization therapy/CRT) dapat dipertimbangkan. Kondisi lain yang dimaksud adalah irama sinus dengan gambaran LBBB serta durasi kompleks QRS lebih dari 150 ms pada EKG, kelas fungsional II-III dalam terapi GDMT optimal. Penggunaan CRT pada populasi pasien gagal jantung semacam itu dapat menurunkan angka perawatan berulang sampai 30% serta mortalitas total hingga 36% [2].
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal
Penanganan gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (heart failure with preserved ejection fraction/HFpEF) masih menjadi bidang yang terus berkembang dan menarik untuk dipelajari. Bukti yang ada menunjukkan bahwa hanya sedikit proporsi pasien dengan HFpEF, dibandingkan pasien dengan HFrEF (heart failure with reduced ejection fraction) yang mendapat terapi diuretik, penghambat beta, ARB, atau ACE-I [1]. Fenomena ini sebagian mungkin dipengaruhi oleh penurunan insidens gagal jantung sebagai imbas dari kesuksesan penanganan berbagai komorbiditas kardiovaskuler (hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner). Di sisi lain, terdapat bukti bahwa sejumlah terapi farmakologi yang terbukti bermanfaat pada skenario HFrEF tidak menunjukkan manfaat sebanding bila digunakan pada pasien HFpEF. Oleh sebab itu, rekomendasi tata laksana HFpEF lebih terarah pada penanganan gejala, komorbiditas, dan faktor risiko yang berperan dalam perburukan penyakit kardiovaskuler secara umum[2].
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal dengan Komorbiditas Hipertensi
Pada pasien dengan HFpEF dengan komorbiditas hipertensi, terapi farmakologi agresif amat disarankan. ACE-I atau ARB maupun kombinasi keduanya sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Hingga kini belum ada rekomendasi target tekanan darah ideal yang berhubungan dengan penurunan risiko kardiovaskuler pada pasien dengan HFpEF. Oleh sebab itu, rekomendasi target pada populasi ini masih sama dengan target yang disarankan pada populasi umum [2].
Revaskularisasi Koroner
Mengingat penyakit jantung koroner cukup sering terjadi pada pasien dengan HFpEF, revaskularisasi koroner diduga bermanfaat dalam memperbaiki gejala dan luaran buruk pada pasien. Namun, sejauh ini belum ada bukti penelitian yang menemukan dampak revaskularisasi terhadap gejala dan luaran buruk pasien HFpEF. Strategi revaskularisasi pada pasien dengan HFpEF tetap menyesuaikan dengan panduan revaskularisasi yang berlaku secara umum [2].
Penanganan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal dengan Atrial Fibrilasi
Salah satu mekanisme yang diduga memperparah gejala HFpEF adalah kejadian fibrilasi atrium (atrial fibrillation/AF) yang dapat memperpendek durasi pengisian ventrikel diastolik akibat takikardi. Upaya penurunan irama jantung dapat bermanfaat pada pasien HFpEF dengan AF namun hal tersebut mungkin berbahaya apabila denyut jantung basal pasien normal. Ini disebabkan oleh pemanjangan fase diastasis dan perburukan inkompetensi kronotropik yang terjadi pada pasien dengan HFpEF dan denyut nadi rendah [2].