Pilihan Terapi COVID-19 Berdasarkan WHO Living Guideline

Oleh :
dr. Jocelyn Prima Utami

Pilihan terapi COVID-19 berdasarkan WHO living guideline ditentukan berdasarkan tingkat keparahan gejala. Guideline ini dibuat berdasarkan bukti klinis dan penelitian-penelitian terkini dan akan terus diperbarui mengikuti hasil penelitian terbaru. Pasien yang terkonfirmasi COVID-19 diklasifikasikan menjadi gejala tidak berat (non-severe), berat (severe), dan kritis (critical).[1-3]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Living WHO guideline on drugs for COVID-19 disajikan dalam bentuk tabel, di mana intervensi pasien COVID-19 dibagi menjadi:

  • Rekomendasi kuat untuk diberikan (strong recommendations in favour)

  • Dapat diberikan tetapi dengan rekomendasi lemah atau bersyarat (weak or conditional recommendations in favour)

  • Dianjurkan untuk tidak diberikan karena bukti yang lemah atau bersyarat (weak or conditional recommendations against)

  • Rekomendasi kuat untuk tidak diberikan (strong recommendations against)[2]

Tingkat Keparahan COVID-19 Menurut WHO

Gejala pasien COVID-19 cukup bervariasi, yang umumnya berupa demam, batuk, lemas, anoreksia, sesak napas, dan mialgia. Sedangkan gejala nonspesifik lainnya meliputi sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri tenggorokan. Menurut WHO, terdapat tingkat keparahan COVID-19 kritis, berat, dan tidak berat.[1-3]

COVID-19 kritis didefinisikan dengan adanya sindrom distress pernapasan akut, sepsis, syok sepsis, atau kondisi lainnya yang memerlukan penopang hidup (ventilasi mekanik, terapi vasopressor). Gejala berat ditandai dengan saturasi oksigen pasien <90% pada udara ruangan, yang disertai distress pernapasan berat (laju napas cepat, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan), dan pneumonia. Sedangkan gejala tidak berat adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria COVID-19 kritis maupun berat.[3,4]

Pilihan Terapi COVID-19 Berdasarkan WHO Living Guideline-min

Rekomendasi Terapi COVID-19 Tidak Berat

Petunjuk pemberian terapi pasien dengan gejala tidak berat adalah:

  • Direkomendasikan obat sotrovimab, casirivimab, dan imdevimab, hanya untuk pasien-pasien yang berisiko tinggi untuk dirawat inap di rumah sakit
  • Tidak direkomendasikan pemberian kortikosteroid, remdesivir, dan ivermectin, karena bukti klinis masih lemah
  • Sangat tidak direkomendasikan pemberian plasma konvalesen, hidroksiklorokuin, dan lopinavir-ritonavir[3]

Rekomendasi Terapi COVID-19 Berat

Pemberian kortikosteroid dan IL-6 receptor blockers (tocilizumab dan sarilumab) sangat direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan infeksi COVID-19 berat. Sedangkan pemberian casirivimab dan imdevimab dapat diberikan terutama untuk pasien dengan status antibodi SARS-CoV-2 seronegatif.[3]

Pemberian ruxolitinib, tofacitinib, remdesivir, ivermectin, dan plasma konvalesen tidak begitu direkomendasikan. Pemberian ivermectin dan plasma konvalesen hanya pada uji klinis. Sedangkan pemberian hidroklorokuin dan lopinavir - ritonavir pada COVID-19 berat sangat tidak direkomendasikan.[3]

Rekomendasi Terapi COVID-19 Kritis

Seperti pada infeksi COVID-19 berat, pemberian kortikosteroid dan IL-6 receptor blockers (tocilizumab dan sarilumab) sangat direkomendasikan untuk infeksi kritis. Casirivimab dan imdevimab dapat diberikan pada infeksi kritis dengan status antibodi SARS-CoV-2 seronegatif.[3]

Pemberian ruxolitinib, tofacitinib, remdesivir, ivermectin, dan plasma konvalesen pada infeksi kritis COVID-19 tidak direkomendasikan, kecuali untuk tujuan uji klinis. Pemberian hidroklorokuin dan lopinavir-ritonavir sangat tidak direkomendasikan untuk infeksi COVID-19 kritis.[3]

Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid Sistemik

Terapi kortikosteroid sistemik dianjurkan sebagai terapi COVID-19 berat dan kritis, karena berkaitan dengan kerusakan jaringan paru akibat inflamasi yang dicetuskan oleh pelepasan sitokin. Studi menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat menurunkan risiko 28 hari mortalitas pada pasien COVID-19 berat dan kritis (RR 0,79; 95% CI 0,70−0,90). Selain itu, kortikosteroid menurunkan kebutuhan ventilasi mekanik dan kematian.[2,4]

Namun, anjuran ini belum jelas untuk diaplikasikan pada kelompok anak-anak, pasien dengan tuberkulosis, dan pasien imunokompromais. Kortikosteroid sistemik merupakan obat yang cukup banyak tersedia di berbagai daerah di Indonesia, dengan cara pemberian yang mudah dan biaya yang relatif murah.[2,4]

Dosis Kortikosteroid Sistemik

Regimen kortikosteroid yang dianjurkan adalah dexamethasone 6 mg, yang dapat diberikan setiap hari selama 7‒10 hari, secara intravena maupun oral. Regimen kortikosteroid alternatif lainnya adalah hidrokortison 50 mg secara intravena, dengan pemberian setiap 8 jam untuk 7‒10 hari. Metilprednisolon 10 mg juga dapat diberikan setiap 6 jam secara intravena untuk 7‒10 hari, serta prednison 40 mg secara oral setiap hari selama 7‒10 hari.[3]

Kortikosteroid Sistemik Tidak Direkomendasikan untuk Gejala Tidak Berat

Berbeda dengan COVID-19 berat dan kritis, pasien dengan gejala tidak berat tidak dianjurkan untuk mendapatkan kortikosteroid sistemik. Hal ini karena pada pasien gejala tidak berat tidak memerlukan perawatan akut atau pun terapi oksigen di rumah sakit.

Kortikosteroid Sistemik pada Ibu Hamil

Pada ibu hamil, WHO merekomendasikan pemberian terapi kortikosteroid antenatal untuk pasien dengan risiko kelahiran prematur 24‒34 minggu tanpa adanya infeksi maternal,  serta tersedia proses kelahiran dan perawatan bayi yang adekuat. Untuk ibu hamil dengan COVID-19 tidak berat, pemberian kortikosteroid dikatakan memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan risiko bahaya untuk ibunya.

Terapi kortikosteroid sebaiknya diberikan setelah pasien diberikan edukasi dan penjelasan mengenai keuntungan dan bahaya untuk ibu hamil dan bayinya, serta disesuaikan dengan kondisi klinis, fasilitas kesehatan, dan keputusan pasien.[2,4]

Rekomendasi Penggunaan IL-6 Receptor Blockers

Sarilumab dan tocilizumab dianggap sebagai regimen tata laksana COVID-19 yang menjanjikan karena memiliki kemampuan untuk menarget reseptor interleukin-6 (IL-6). Obat ini merupakan yaitu antibodi monoklonal yang telah digunakan untuk rheumatoid arthritis.[2,4,7]

Pada COVID-19, peningkatan level IL-6 dikaitkan dengan prognosis yang buruk, termasuk gagal napas dan kematian. Sehingga mekanisme obat golongan ini adalah mengikat reseptor IL-6, menghambat aktivasi sitokin, dan meregulasi respons imun terhadap infeksi.[2,4,7]

Pemberian reseptor bloker IL-6 perlu diinisiasi bersamaan dengan kortikosteroid sistemik. Studi randomized, embedded, multifactorial adaptive platform trial for community acquired pneumonia (REMAP-CAP) menunjukkan bahwa tocilizumab dan sarilumab efektif diberikan untuk COVID-19 gejala kritis daripada tata laksana standard seperti glukokortikoid. Namun, terdapat kendala obat yang tinggi dan risiko efek samping berat yang belum diketahui secara pasti.[2,4,7]

Dosis Tocilizumab dan Sarilumab

Dosis tocilizumab adalah 8 mg/kgBB secara intravena, dengan dosis maksimal 800 mg. Dosisi pertama diberikan dalam 1 jam, dan dosis kedua diberikan dalam rentang waktu 12‒48 jam setelah yang pertama.  Dosis sarilumab pertama sebesar 400 mg secara intravena dalam waktu 1 jam, dan dosis kedua diberikan dalam rentang waktu 12‒48 jam dari dosis pertama.[3]

IL-6 Receptor Blockers Tidak Direkomendasikan untuk Gejala Tidak Berat

Hingga saat ini, uji klinis penggunaan IL-6 receptor blockers banyak dilakukan pada populasi pasien dengan infeksi COVID-19 berat dan kritis. Efektifitas penggunaan terapi obat ini pada pasien dengan gejala tidak berat belum memiliki data yang adekuat, sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat kekhawatiran risiko efek samping, seperti infeksi bakterial atau fungal, serta biaya pengobatan yang cukup mahal.[2,3]

Rekomendasi Penggunaan Janus Kinase (JAK) Inhibitors

Mekanisme kerja JAK inhibitors (baricitinib, ruxolitinib, tofacitinib) adalah menghambat fosforilasi protein yang berperan dalam proses aktifasi sistem imun dan inflamasi. JAK inhibitors memiliki sifat imunosupresi sehingga berpotensi menekan proses inflamasi yang dapat terjadi pada pasien dengan COVID-19.[3,8]

Dosis Baricitinib, Ruxolitinib, dan Tofacitinib

Dosis baricitinib adalah 4 mg per oral setiap hari. Dosis ruxolitinib sebanyak 5 mg, diberikan 2 kali sehari peroral. Sedangkan dosis tofacitinib adalah 10 mg, diberikan 2 kali sehari peroral. Regimen ini diberikan selama 14 hari, atau hingga pasien sudah bisa rawat jalan.[3,8]

JAK Inhibitors Tidak Direkomendasikan untuk Gejala Tidak Berat

Belum terdapat data klinis yang cukup mengenai efektifitas JAK inhibitors untuk gejala tidak berat. Baricitinib sendiri disetujui penggunaan daruratnya pada tahun 2020 sebagai kombinasi terapi dengan remdesivir untuk pasien COVID-19 yang memerlukan terapi oksigen, ventilasi mekanik, atau ECMO (extracorporeal membrane oxygenation). Penggunaan JAK inhibitors perlu diwaspadai efek samping, seperti infeksi baru.[3,8]

Rekomendasi Penggunaan Antibodi Monoklonal

Casirivimab dan imdevimab merupakan antibodi monoklonal yang bekerja dengan mengikat tonjolan protein virus SARS-CoV-2. Terapi antibodi monoklonal pada COVID-19 tidak berat dipercaya dapat menurunkan risiko rawat inap dan durasi gejala. Namun, bukti saat ini tidak mendukung penggunaannya.

Rekomendasi untuk Gejala Tidak Berat

Pada pasien COVID-19 dengan gejala tidak berat, pemberian terapi antibodi monoklonal dianjurkan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi rawat inap, seperti riwayat vaksinasi yang belum lengkap, usia tua, pasien dengan penyakit kronis dan/atau imunodefisiensi. Casrivimab dan imdevimab umumnya tidak menyebabkan efek samping yang serius, termasuk reaksi alergi.[2-4]

Rekomendasi untuk Gejala Berat dan Kritis

Pada kasus pasien COVID-19 yang berat atau kritis, terapi antibodi monoklonal dianjurkan untuk pasien dengan status seronegatif. Studi menunjukkan bahwa casirivimab dan imdevimab kemungkinan tidak memberikan manfaat yang signifikan pada mortalitas, kebutuhan ventilasi mekanik, dan durasi rawat inap pada pasien COVID-19 berat dan kritis secara keseluruhan.[2,4,6]

Namun, pada kelompok pasien seronegatif, casirivimab dan imdevimab dapat menurunkan mortalitas dengan efek absolut sebesar 39 fewer per 1.000 (95% CI 62 fewer to 13 fewer) pada pasien sakit berat, dan 69 fewer (110 fewer to 23 fewer) pada pasien kritis. The Food and Drug Administration (FDA) tidak menganjurkan pemberian antibodi monoklonal pada semua pasien COVID-19 yang dirawat inap,  pasien COVID-19 yang memerlukan terapi oksigen, dan pasien dengan penggunaan terapi oksigen kronik karena penyebab non COVID-19.[2,4,6]

Dosis Casirivimab dan Imdevimab

Dosis casirivimab dan imdevimab terbagi menjadi kelompok gejala tidak berat dan gejala berat/ kritis. Pada gejala tidak berat, total dosis casirivimab dan imdevimab yang dianjurkan adalah 1.200‒2.400 mg yang diberikan secara intravena atau subkutan. Sedangkan pada kelompok pasien bergejala berat/kritis, total dosis yang diberikan adalah 2.400‒8.000 mg intravena.[3]

Rekomendasi Terapi Sotrovimab

Sotrovimab adalah alternatif terapi antibodi monoklonal casirivimab-imdevimab. WHO merekomendasikan penggunaan sotrovimab untuk pasien-pasien COVID-19 dengan gejala tidak berat dan memiliki risiko tinggi rawat inap, seperti usia tua, imunokompromais, riwayat vaksin yang belum lengkap, riwayat penyakit komorbid, dan obesitas.[9]

Dosis Sotrovimab

Dosis sotrovimab yang disarankan adalah 500 mg, intravena yang diberikan dalam waktu 30 menit. Pemberian sotrovimab dianjurkan secepatnya, yaitu sebelum 10 hari setelah onset gejala.[3,10]

Dianjurkan untuk Tidak Menggunakan Remdesivir

Belum terdapat bukti klinis adekuat yang menunjukkan bahwa remdesivir dapat menurunkan mortalitas, risiko kebutuhan ventilasi mekanik, maupun waktu perbaikan gejala pasien COVID-19. Demikian pula dengan risiko efek samping serius akibat penggunaan remdesivir.[2,4]

Oleh karena itu, remdesivir tidak dianjurkan untuk terapi infeksi COVID-19, baik untuk gejala tidak berat, berat, maupun kritis. Selain itu, kontraindikasi remdesivir adalah pasien dengan gangguan fungsi liver dan ginjal.[2,4]

Dianjurkan untuk Tidak Menggunakan Ivermectin

Ivermectin merupakan obat antiparasit yang bekerja dengan mengikat channel glutamate-chlorida, dan menyebabkan gangguan pada fungsi otot dan saraf dari parasit.  Suatu studi in vitro menunjukkan ivermectin dapat menginhibisi replikasi virus SARS-CoV-2. Namun, hingga saat ini ivermectin tidak dianjurkan untuk pasien COVID-19 semua gejala, melainkan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.[2,4,11]

Efek ivermectin pada perbaikan gejala klinis, mortalitas, dan durasi rawat inap pasien COVID-19 belum pasti, karena belum banyak bukti klinis yang adekuat mengenai hal ini. Bahkan efek samping ivermectin dikatakan lebih tinggi daripada manfaatnya jika digunakan sebagai terapi COVID-19.[2,4,11]

Dianjurkan untuk Tidak Menggunakan Plasma Konvalesen

Plasma konvalesen umumnya digunakan untuk terapi COVID-19 gejala berat dan kritis. Terapi ini memberikan plasma yang mengandung antibodi dari pasien yang telah sembuh dari COVID-19  kepada pasien yang sedang mengalami infeksi akut. Namun, studi menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen mungkin tidak memberikan dampak yang signifikan pada mortalitas, kebutuhan ventilasi mekanik, perbaikan gejala, dan durasi rawat inap pada pasien COVID-19 berat dan kritis.[4,5]

Plasma Konvalesen Tidak untuk Gejala Tidak Berat

Menurut pedoman WHO, pemberian plasma konvalesen pada pasien COVID-19 yang tidak berat tidak memiliki manfaat penting pada risiko mortalitas. Selain itu, belum terdapat data yang adekuat yang mempelajari tentang risiko rawat inap dalam penggunaan plasma konvalesen.[4,5]

Keamanan dan efikasi terapi plasma konvalesen belum dapat dibuktikan pada ibu hamil dan anak-anak. Walaupun efek samping dari terapi plasma konvalesen jarang, tetapi berisiko penyebaran infeksi karena transfusi (HIV, hepatitis B, hepatitis C), reaksi alergi, dan reaksi anafilaksis.[4,5]

Hidroksiklorokuin dan Klorokuin Tidak untuk Terapi COVID-19

Hidroksiklorokuin dan klorokuin tidak boleh diberikan sebagai terapi tambahan COVID-19, baik pada pasien dengan gejala tidak berat, berat, maupun kritis. Hidroksiklorokuin dan klorokuin tidak menurunkan mortalitas, kebutuhan ventilasi mekanik, dan durasi rawat inap. Sebaliknya, obat ini berisiko menyebabkan diare, mual, muntah, hipotensi, hipovolemia, dan gagal ginjal akut.[4,8]

Lopinavir-Ritonavir Tidak untuk Terapi COVID-19

Kombinasi lopinavir-ritonavir disetujui oleh FDA untuk terapi HIV/AIDS. Belum ada bukti klinis yang cukup mengenai manfaat lopinavir-ritonavir dalam penurunan mortalitas, kebutuhan ventilasi mekanik, dan waktu perbaikan gejala pasien COVID-19. WHO tidak merekomendasikan penggunaan lopinavir-ritonavir untuk pasien COVID-19 dengan berbagai derajat keparahan.[4,11]

Lopinavir dan ritonavir dikatakan dapat meningkatkan risiko diare, mual, dan muntah yang dapat menyebabkan hipovolemia, hipotensi, maupun gagal ginjal akut. Penggunaannya perlu diperhatikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati, dan dikontraindikasikan pada ibu yang menyusui.[2,3]

Kesimpulan

Insiden COVID-19 di seluruh dunia masih terus bertambah hingga saat ini. Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mempelajari terapi yang efektif dalam menangani COVID-19 dengan berbagai tingkat keparahan. WHO memiliki living guideline untuk terapi COVID-19 yang diperbarui secara berkala.

Pada pasien dengan infeksi COVID-19 tidak berat, terdapat beberapa obat-obatan yang direkomendasikan sebagai terapi, seperti casirivimab, imdevimab, dan sotrovimab yang dapat diberikan pada pasien gejala tidak berat dengan risiko rawat inap yang tinggi. Hingga saat ini, pedoman WHO ini belum mengulas penggunaan antivirus oral baik favipiravir, molnupiravir, maupun paxlovid.

Sedangkan pada infeksi COVID-19 gejala berat dan kritis, pemberian kortikosteroid, IL-6 receptor blockers, casirivimab, dan imdevimab dapat diberikan. Hidroksiklorokuin, lopinavir-ritonavir, remdesivir, serta ivermectin tidak dianjurkan penggunaannya sebagai terapi COVID-19 kecuali pada konteks uji klinis.

Panduan ini disusun berdasarkan hasil uji coba terbaru yang dilakukan di seluruh dunia. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mempelajari dosis dan cara pemberian, efikasi, efek samping, luaran jangka panjang, serta keamanan obat terutama pada populasi anak, ibu hamil dan ibu menyusui.

Referensi