Efektivitas antibodi monoklonal pada penyakit akibat coronavirus terdahulu membuat terapi ini dipertimbangkan kembali pada coronavirus disease 2019 atau COVID-19. Dengan adanya kemiripan antara reseptor virus severe acute respiratory syndrome (SARS) dan SARS-CoV-2, penggunaan antibodi monoklonal diharapkan dapat memberikan hasil yang serupa pada pasien COVID-19.
Terapi dengan antibodi monoklonal dianggap lebih spesifik, murni, dan memiliki risiko kontaminasi patogen lewat darah yang lebih rendah daripada terapi imunoglobulin intravena dan terapi serum.
Artikel ini akan menguraikan tentang potensi antibodi monoklonal pada COVID-19, perkembangan uji klinis terbaru yang mempelajari keamanan dan efikasinya pada COVID-19, serta peninjauan kriteria pasien COVID-19 yang mungkin menjadi kandidat ideal untuk terapi antibodi monoklonal.[1,2]
Potensi Antibodi Monoklonal sebagai Terapi COVID-19
Potensi antibodi monoklonal sebagai pilihan terapi COVID-19 sangat berkaitan dengan berbagai perkembangan teknologi isolasi antibodi monoklonal SARS-CoV-2. Sejak penemuan SARS-CoV-2, berbagai pusat penelitian imunologi di seluruh dunia mulai mengisolasi antibodi monoklonal yang berasal dari sel B dari pasien yang telah dinyatakan sembuh dari infeksi SARS-CoV-2.
Antibodi monoklonal juga dapat dikembangkan dari antibodi dari tikus transgenik yang telah diimunisasi SARS-CoV-2. Beragam teknik modern telah memungkinkan proses identifikasi sel B yang mampu menghasilkan antibodi spesifik terhadap patogen tertentu seperti SARS-CoV-2, serta pengumpulan data gen yang menghasilkan rantai berat dan ringan imunoglobulin spesifik yang dapat mengekspresikan antibodi monoklonal (biasanya jenis IgG).[3]
Patogenesis Infeksi Coronavirus
Infeksi coronavirus berawal ketika reseptor target pada permukaan sel pejamu berinteraksi dengan domain pengikat reseptor yang terletak pada glikoprotein spike. Interaksi ini akan memicu fusi antara membran virus dan membran plasma.
Kemudian, pembelahan protein spike melalui mekanisme proteolitik akan menyebabkan fusi membran virus dan sel pejamu, lalu proses infeksi virus terjadi. Selanjutnya, virus akan memasuki sel pejamu dan bereplikasi, sehingga membentuk lebih banyak genom virus, glikoprotein amplop, dan nukleokapsid baru. Partikel virus yang lengkap kemudian masuk ke dalam kompartemen retikulum endoplasma Golgi, lalu terselubung dalam vesikel dan akhirnya dilepaskan ke dalam tubuh pejamu.[4,5]
Berdasarkan patogenesis tersebut, pilihan terapi molekuler spesifik terhadap SARS-CoV-2 perlu diarahkan untuk menghambat setiap siklus hidup virus. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan antibodi monoklonal penetral anti-SARS-CoV-2 atau antibodi monoklonal anti-ACE-2.
Di sisi lain, struktur protein spike yang terlibat dalam proses masuknya virus dan komponen antigen yang dapat memicu respons imun turut menjadikan protein spike sebagai target terapi antibodi monoklonal terhadap SARS-CoV-2. Secara spesifik, domain pengikat reseptor (receptor-binding domain/RBD) pada subunit S1 dalam glikoprotein spike SARS-CoV-2 yang berinteraksi dengan reseptor sel pejamu dapat menjadi target terapi antibodi monoklonal untuk menghambat proses masuknya virus ke dalam sel.[7]
Kemiripan struktur dan fungsi protein spike dari SARS-CoV-2 dan SARS-CoV yang cukup tinggi (77%) menjadi salah satu alasan pemilihan molekul tersebut sebagai target antibodi monoklonal.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa RBD pada SARS-CoV-2 memiliki afinitas yang lebih tinggi daripada RBD pada SARS-CoV terhadap reseptor ACE-2.
Walaupun kemiripan struktur cukup besar, RBD pada SARS-CoV-2 sangat berbeda dari SARS-CoV dalam hal residu pada ujung rantai C. Perbedaan ini cukup berdampak pada pengaruh antibodi monoklonal terhadap SARS-CoV yang ternyata memiliki luaran berbeda terhadap SARS-CoV-2.
Tian et al meneliti tentang antibodi penetral spesifik yang poten terhadap SARS-CoV seperti m396 dan CR3014 yang menargetkan RBD pada SARS-CoV. Hasil studi menunjukkan bahwa antibodi penetral spesifik SARS-CoV tersebut terbukti tidak efektif dalam mencegah ikatan antara protein spike SARS-CoV-2 dan reseptor sel pejamu.
Di sisi lain, antibodi monoklonal spesifik SARS-CoV yaitu CR3022 dapat berikatan kuat dengan RBD terhadap SARS-CoV-2. Perbedaan respons pemberian antibodi monoklonal terhadap ikatan antara SARS-CoV-2 dan reseptor sel pejamu diduga berkaitan dengan epitop CR3022 yang tidak tumpang tindih dengan situs ikatan ACE-2 pada RBD SARS-CoV-2.
Atas dasar hal tersebut, Tian et al berkesimpulan bahwa CR3022 memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kandidat terapi tunggal atau kombinasi dengan antibodi penetral lainnya untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19.[8,9]
![Gambar 1. Mekanisme kerja tocilizumab sebagai antibodi monoklonal yang menghambat ikatan antara IL-6 terhadap IL-6R terlarut dan terikat membran.[10]](https://res.cloudinary.com/dk0z4ums3/image/upload/v1631673861/attached_image/cme/efektivitas-antibodi-monoklonal-pada-covid19-2-alomedika.jpg)
Obat ini memiliki profil keamanan yang cukup baik pada populasi dewasa dan anak-anak. Mekanisme kerja tocilizumab adalah menghambat interleukin 6 (IL-6) terlarut plasma dan situs ikatan pada reseptor IL-6, sehingga pembentukan kompleks aktivasi dengan protein transmembran (GP130-IL-6-sILr) dapat dicegah (gambar 1)
Interleukin 6 turut terlibat dalam patofisiologi COVID-19, khususnya pada pasien dengan manifestasi klinis yang berat. Peningkatan IL-6 berkaitan dengan status hiperkoagulabel dan komplikasi koagulopati yang turut meningkatkan risiko kematian. Atas dasar inilah, tocilizumab diduga dapat memperbaiki luaran klinis pada pasien dengan COVID-19 derajat berat atau kritis.[11,12]
Perkembangan Teknologi Antibodi Monoklonal COVID-19
Sejumlah teknologi pengembangan antibodi monoklonal terhadap SARS-CoV-2 telah dilakukan dan membuat terapi ini semakin dipertimbangkan untuk penanganan COVID-19.
Wang et al mengemukakan kandidat antibodi monoklonal yang berasal dari manusia dengan kemampuan menetralisir SARS-CoV-2. Secara in vitro, antibodi monoklonal berkode 47D11 ini mengikat seluruh komponen protein spike pada SARS-CoV dan SARS-CoV-2.
Namun, ketika antibodi monoklonal 47D11 berikatan jauh dari segmen S1B pada protein spike, 47D11 gagal menghalangi interaksi antara reseptor ACE-2 dan protein spike. Dengan kata lain, antibodi monoklonal 47D11 ini berpeluang untuk dikombinasikan dengan antibodi penetral lain yang lebih poten dan non kompetitif terhadap 47D11 yang menargetkan subdomain protein spike yang mengikat reseptor ACE-2.
Kombinasi antibodi monoklonal yang menargetkan epitop secara tumpang tindih semacam ini berpotensi menghasilkan efek sinergistik dengan kebutuhan dosis yang mungkin lebih rendah sehingga mengurangi risiko virus lolos dari sistem imun (immune escape).[13]
Sementara itu, Mansourabadi et al melakukan telaah sistematik yang meninjau peran imunoterapi, seperti plasma konvalesen, terapi sitokin, antibodi monoklonal, imunoglobulin intravena, dan sel punca mesenkimal dalam memberikan luaran baik terhadap pasien COVID-19. Pada sebuah laporan kasus berangkai, 21 pasien COVID-19 derajat berat mendapatkan terapi antibodi monoklonal tocilizumab. Pada penelitian tersebut, perbaikan klinis cukup terlihat dalam beberapa hari sejak pemberian tocilizumab, yang dibuktikan dengan penurunan kebutuhan oksigen pada 75% pasien.
Selain itu, 80% pasien menunjukkan penurunan kadar C-reactive protein (CRP) hingga batas normal setelah pemberian tocilizumab. Walaupun hasil penelitian ini terlihat menjanjikan, bukti nonequivokal dari penelitian lanjutan dengan desain uji klinis acak, dengan penyamaran, dan disertai kelompok pembanding yang relevan perlu dilakukan untuk menegaskan manfaat dan keamanan tocilizumab pada pasien COVID-19.[14,15]
Pada awal Agustus 2020, uji klinis fase 3 (BLAZE-2 trial) dilakukan untuk meneliti potensi antibodi monoklonal yang dikembangkan Eli Lilly (LY-CoV555) sebagai pencegahan dan perkembangan COVID-19 pada individu yang tinggal dan bekerja di fasilitas perawatan jangka panjang di Amerika Serikat (AS), seperti rumah perawatan dan fasilitas tempat tinggal khusus difabel.
Uji klinis acak terkontrol dengan penyamaran ganda tersebut ditargetkan akan merekrut hingga 2.400 partisipan yang tersebar di 9 negara bagian di Amerika Serikat.
Untuk melihat efektivitas LY-CoV555 dalam mencegah COVID-19, peneliti menilai persentase partisipan yang mengalami infeksi SARS-CoV-2 dalam kurun 4 minggu sebagai luaran utama. Selain itu, luaran sekunder terkait COVID-19 seperti proporsi pasien COVID-19 dengan derajat ringan hingga berat, proporsi perawatan akibat COVID-19, dan kematian akibat COVID-19 akan turut dipantau hingga 8 minggu sejak perekrutan.
Dengan desain tersebut, penelitian BLAZE-2 diharapkan mampu menjawab efektivitas dan keamanan antibodi monoklonal LY-CoV555 dalam mencegah infeksi, morbiditas, dan mortalitas akibat COVID-19.[16]
Selain diteliti dalam uji klinis BLAZE-2, LY-CoV555 juga sedang direncanakan untuk diteliti dalam dua uji klinis fase 3 dengan desain acak, terkontrol plasebo, dan penyamaran ganda. Pada studi pertama (ACTIV-2), LY-CoV555 akan diuji efektivitas dan keamanannya dalam modifikasi respons imun pejamu terhadap infeksi SARS-CoV-2 pada situasi rawat jalan.
ACTIV-2 menggunakan metode transisi langsung dari desain uji klinis fase 2 ke fase 3, yang dikendalikan oleh kecepatan perekrutan dan hasil penelitian sementara. Jika data sementara menunjukkan tingkat efektivitas dan profil keamanan LY-CoV55 yang baik, maka uji klinis fase 3 akan segera dilakukan.[17]
Sementara itu, pada studi kedua (ACTIV-3), efektivitas dan keamanan LY-CoV555 akan dibandingkan terhadap plasebo dan remdesivir yang diberikan kepada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit melalui alokasi acak dan tersamar. Bila remdesivir atau LY-CoV555 terbukti tidak aman atau tidak efektif pada tahap pertama, maka salah satu dari kedua obat tersebut tidak akan dilanjutkan ke tahap kedua.
Pada tahap kedua, obat yang memiliki profil keamanan dan efektivitas yang baik akan dipantau pengaruhnya terhadap luaran pascaperawatan seperti kesinambungan status sembuh pasien (sustained recovery), komplikasi tromboemboli dan kardiovaskular, efek samping obat serius, dan kematian dengan masa pemantauan hingga 90 hari.
Pada studi ACTIV-3, antibodi monoklonal LY-CoV555 berpotensi menunjukkan efektivitas yang lebih baik terhadap morbiditas dan mortalitas jangka pendek dan menengah daripada terapi standar (remdesivir).[18]
Pertimbangan Penggunaan Antibodi Monoklonal
Walaupun perkembangan teknologi yang ada telah memungkinkan produksi antibodi monoklonal secara cepat, aman, dan masif, beberapa ahli memberikan sejumlah catatan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan terapi bagi pasien COVID-19 ini.
Pertama, penggunaan antibodi monoklonal tidak selalu memberikan efek yang signifikan terhadap luaran klinis pada COVID-19 derajat berat seperti yang ditunjukkan pada penggunaan antibodi monoklonal terhadap infeksi influenza dan respiratory syncytial virus (RSV).
Kedua, desain antibodi monoklonal harus cukup spesifik untuk menghentikan masuknya virus dan replikasi virus, guna mencegah efek yang tidak diharapkan pada jaringan nontarget yang berpotensi menimbulkan gangguan fungsi organ.
Ketiga, pengawasan ketat selama penggunaan antibodi monoklonal yang diterapkan dalam protokol penelitian harus dapat pula dilaksanakan dalam situasi klinis nyata guna memantau risiko efek simpang, seperti peningkatan kekebalan imbas antibodi (antibody-mediated enhancement).[3,11,19]
Kriteria Kandidat Ideal Terapi Antibodi Monoklonal COVID-19
Berdasarkan perkembangan ilmiah yang ada, terdapat sejumlah kriteria kandidat pasien COVID-19 yang ideal untuk mendapatkan manfaat optimal dari antibodi monoklonal. Bila antibodi monoklonal terbukti cukup efektif dan aman untuk digunakan pada pasien COVID-19, setidaknya ada tiga kriteria populasi ideal yang akan merasakan manfaat dari terapi ini.[16–18]
Pertama, sesuai protokol penelitian BLAZE-2, kandidat ideal mencakup pria dan wanita berusia di atas 18 tahun yang tinggal atau bekerja di fasilitas perawatan jangka panjang dan baru didiagnosis COVID-19 dalam 7 hari. Kandidat tidak mempunyai riwayat COVID-19 serta tidak pernah mendapatkan vaksin COVID-19 dan antibodi monoklonal khusus COVID-19 sebelumnya.
Selain itu, BLAZE-2 juga menerapkan kriteria eksklusi, yaitu penyakit sistemik lain, riwayat pemeriksaan serologi SARS-CoV-2 positif, dan riwayat penggunaan terapi plasma konvalesen dari pasien COVID-19.
Dengan kata lain, dengan perkembangan ilmu yang ada, terapi antibodi mungkin belum dapat diterapkan pada individu yang diduga COVID-19 tanpa hasil RT-PCR positif atau individu sehat dengan hasil rapid test antibody SARS-CoV-2 positif tanpa disertai gejala klinis infeksi saluran napas atas atau pneumonia.[16]
Kedua, terapi antibodi monoklonal juga berpeluang digunakan pada individu >18 tahun yang didiagnosis COVID-19 dalam 7 hari dengan saturasi oksigen ≥92% pada posisi istirahat. Kriteria ini sesuai dengan ACTIV-2 dengan tujuan meneliti pasien COVID-19 yang dirawat jalan.[17]
Ketiga, terapi antibodi monoklonal juga berpeluang untuk digunakan pada individu >18 tahun yang baru didiagnosis COVID-19 dengan gejala progresif dalam waktu 12 hari terakhir dan memenuhi kriteria hospitalisasi untuk pemantauan lebih lanjut secara medis.
Kriteria tersebut sesuai dengan kriteria inklusi studi ACTIV-3. Wanita hamil diperbolehkan untuk turut serta dalam penelitian tersebut, tetapi belum diketahui apakah antibodi monoklonal mempunyai efek terhadap kehamilan dan janin. Efek buruk tersebut merupakan luaran yang turut dipantau selama penelitian berjalan.[18]
Kesimpulan
Bukti ilmiah tentang potensi antibodi monoklonal sebagai terapi COVID-19 sedang berkembang cukup pesat. Potensi manfaat antibodi monoklonal dalam tata laksana COVID-19 sangat berkaitan erat dengan bukti terdahulu yang menunjukkan adanya reaksi silang antibodi monoklonal terhadap protein spike pada SARS-CoV dan SARS-CoV-2.
Berdasarkan bukti terdahulu dan teori patogenesis coronavirus, beragam penelitian semakin banyak dilakukan untuk menemukan kandidat antibodi monoklonal yang paling poten dalam mencegah SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel dan menimbulkan manifestasi klinis COVID-19.
Sejumlah laporan kasus telah menunjukkan manfaat antibodi monoklonal terhadap luaran klinis COVID-19. Laporan turut mendukung perlunya uji klinis dengan sampel besar serta desain penelitian yang baik guna menentukan kriteria kandidat pasien yang ideal untuk memperoleh manfaat terbaik antibodi monoklonal.
Uji klinis BLAZE-2, ACTIV-2, dan ACTIV-3 merupakan perwujudan komitmen cendekiawan medis dalam mengidentifikasi efektivitas dan profil keamanan antibodi monoklonal bagi pasien COVID-19.
Bila hasil ketiga penelitian ini berjalan seperti yang diharapkan, antibodi monoklonal sangat berpotensi untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2 pada populasi dewasa yang rentan, yaitu pekerja di fasilitas perawatan jangka panjang; pasien COVID-19 yang menjalani rawat jalan; dan pasien COVID-19 yang memerlukan hospitalisasi.