Diagnosis Benzodiazepine Use Disorder
Penegakan diagnosis benzodiazepine use disorder didasarkan pada kriteria diagnosis yang dibuat oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5) atau International Classification of Disease X (ICD-X). Dokter juga harus menilai ada tidaknya gejala withdrawal atau intoksikasi pada pasien.
Anamnesis
Pasien-pasien yang mengalami adiksi benzodiazepine umumnya mengeluhkan gejala-gejala kecemasan yang mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari. Sering kali pasien langsung menyebutkan nama obat yang digunakan untuk meredakan gejalanya dan meminta dokter meresepkan yang sama. Perilaku yang sering ditemukan mencakup doctor shopping (mencari resep dari beberapa dokter) dan berpindah-pindah apotik [9]. Yang perlu diwaspadai adalah pasien sering kali berbohong mengenai penyakitnya agar mendapatkan resep benzodiazepine yang diinginkan dan untuk mendeteksi hal ini dibutuhkan kewaspadaan dokter.
Pertanyaan dalam anamnesis pada tahap awal adalah
- Usia ketika pertama kali menggunakan obat
- Lama penggunaan obat secara reguler
- Frekuensi penggunaan dan dosisnya dalam 3 bulan terakhir
- Terakhir kali menggunakan obat
- Jalur penggunaan obat
- Riwayat mengalami overdosis/intoksikasi
- Riwayat mengalami gejala putus zat (apa gejalanya, apa yang digunakan untuk meredakan gejala, apakah ada komplikasi serius seperti kejang/halusinasi).[10]
Anamnesis Gejala Withdrawal
Gejala-gejala putus zat (withdrawal) yang perlu ditanyakan adalah:
- Kecemasan, iritabilitas, gelisah, agitasi
- Insomnia
- Hiperaktivitas otonomik
- Banyak berkeringat
- Kejang
- Serangan panik
-
Depresi dan mood swing
- Gejala psikoagitatif seperti tremor
- Gangguan konsentrasi
- Gangguan tidur dan mimpi buruk pada saat penggunaan benzodiazepine dihentikan[1,9]
Anamnesis Gejala Intoksikasi
Gejala-gejala intoksikasi biasanya ditunjukkan oleh adanya perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang signifikan secara klinis. Gejala fisik yang ditunjukkan di antaranya:
Slurred speech (berbicara dengan kata-kata seperti diseret)
- Inkoordinasi
- Gait yang tidak stabil
- Nistagmus
- Gangguan kognisi misalnya gangguan atensi atau memori
- Stupor atau koma [1]
Anamnesis Lain-lain
Pertanyaan berikutnya adalah mengenai situasi psikososial pasien, yang mencakup:
- Situasi keluarga (apakah keluarga mengetahui pasien menggunakan obat, apakah keluarga bisa memberikan dukungan)
- Hubungan sosial lain yang dimiliki (status pernikahan, adanya pacar/pasangan, adanya anak, jumlah teman, jumlah teman yang menggunakan obat)
- Situasi pekerjaan (jenis pekerjaan, tempat kerja, riwayat pekerjaan sebelumnya)
Perlu ditanyakan pula pertanyaan-pertanyaan klinis yang mencakup
- Riwayat kejang/epilepsi
- Riwayat penyakit fisik seperti diabetes, penyakit jantung, gangguan hepar, tuberkulosis, trauma kepala, disabilitas fisik atau intelektual, dan riwayat alergi
- Riwayat obat-obatan yang saat ini dikonsumsi
- Riwayat gangguan psikiatri, misalnya schizophrenia, depresi, bipolar, post-traumatic stress disorder (PTSD)
- Riwayat mendapatkan obat-obatan untuk gangguan jiwa
- Riwayat self harm atau bunuh diri[10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding benzodiazepine use disorder yang harus dipikirkan adalah substance use disorder lainnya, gangguan psikiatri, serta gangguan fisik yang menyebabkan peningkatan tonus simpatik.
Substance Use Disorder
Sebagian orang dengan benzodiazepine use disorder menggunakan benzodiazepine untuk meredakan gejala withdrawal zat lainnya. Untuk itu, dokter harus menentukan adanya substance use disorder lainnya sebagai salah satu diagnosis banding benzodiazepine use disorder, misalnya alcohol use disorder, opioid use disorder, atau cocaine and amphetamine use disorder.
Gangguan Psikiatri
Diagnosis banding lainnya adalah diagnosis psikiatri sebagai gangguan primer yang menyebabkan pasien menggunakan benzodiazepine secara kronik, misalnya gangguan cemas, gangguan mood, atau schizophrenia.
Gangguan Fisik yang Menyebabkan Peningkatan Tonus Simpatik
Gangguan lain yang bisa dijadikan diagnosis banding adalah gangguan fisik yang menyebabkan peningkatan tonus simpatik, misalnya hipertiroidisme, tirotoksikosis, atau pheochromocytoma.
Diagnosis Banding untuk Gejala Withdrawal
Diagnosis banding untuk gejala-gejala putus zat (withdrawal) akibat benzodiazepine adalah:
- Hipoglikemia akut
- Hipo/hipernatremia
- Intoksikasi alkohol
- intoksikasi antidepresan
- Intoksikasi neuroleptik
- Intoksikasi sedatif hipnotik lainnya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan untuk mendeteksi zat dalam darah atau urine pasien untuk menegakkan diagnosis, mencakup opioid, amphetamine, cocaine, ganja, dan benzodiazepine. Hal ini karena sering kali pasien menyalahgunakan lebih dari satu macam zat.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fungsi hepar, fungsi ginjal, rapid test untuk HIV, pemeriksaan untuk hepatitis B dan hepatitis C, serta pemeriksaan untuk tuberkulosis. Pemeriksaan ini dilakukan sekali di awal pada benzodiazepine use disorder yang dicurigai juga menyalahgunakan zat lain, khususnya yang melalui jalur injeksi. Tujuannya adalah penegakan komorbiditas gangguan fisik dan infeksi yang sering ditemukan bersama dengan penyalahgunaan zat.
Kriteria Diagnostik PPDGJ-III
Sindrom ketergantungan berdasarkan Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa 3 (PPDGJ-III) adalah sekelompok fenomena fisiologis, perilaku, dan kognitif di mana penggunaan zat mempunyai prioritas lebih tinggi dibandingkan aktivitas lain yang sebelumnya mempunyai prioritas lebih tinggi. Karakteristik yang menggambarkan adanya sindrom ketergantungan adalah keinginan yang sangat kuat untuk terus menggunakan zat.
Kriteria berdasarkan PPDGJ-III untuk sindrom ketergantungan ditegakkan jika ditemukan 3 atau lebih gejala di bawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya:
- Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan zat psikoaktif.
- Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, baik dalam onset, usaha penghentian, atau tingkat penggunaannya.
- Kondisi putus zat fisiologis ketika penggunaan zat dihentikan atau dikurangi, yang dibuktikan dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
- Bukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan ketergantungan alkohol dan opiat yang dosis hariannya dapat mencapai taraf yang akan mematikan bagi pengguna nontoleransi).
- Secara progresif mengabaikan kesenangan atau kenikmatan lain (selain akibat penggunaan zat), peningkatan jumlah waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari akibatnya.
- Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan bagi kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol yang berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat. Untuk menegakkan hal ini, perlu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau setidaknya menyadari akan hakekat dan besarnya bahaya akibat penggunaan zat.[11]
Kriteria diagnosis untuk ketergantungan zat dalam PPDGJ-III adalah sama untuk semua zat, termasuk untuk golongan sedatif hipnotik seperti benzodiazepine.
Kriteria Diagnosis DSM-5
Berdasarkan kriteria dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), adiksi benzodiazepine termasuk dalam klasifikasi gangguan penggunaan sedatif, hipnotik, dan ansiolitik. Gangguan ini didefinisikan sebagai pola penggunaan problematik dari obat-obatan sedatif, hipnotik, atau ansiolitik yang menyebabkan gangguan klinis atau distress yang signifikan, yang ditunjukkan oleh setidaknya dua dari gejala-gejala berikut dalam periode 12 bulan terakhir:
- Menggunakan zat dalam jumlah yang makin lama makin banyak atau waktu penggunaannya lebih panjang daripada yang dimaksudkan sebelumnya,
- Ada keinginan yang persisten atau upaya yang gagal untuk menurunkan atau menghentikan penggunaan,
- Menghabiskan banyak waktu dalam aktivitas untuk mendapatkan, menggunakan, atau untuk pulih dari penggunaan zat,
Craving atau keinginan yang kuat atau dorongan untuk menggunakan zat,
- Penggunaan zat yang berulang menyebabkan kegagalan dalam melakukan kewajiban di tempat kerja, sekolah, atau rumah (misalnya absen dari tempat kerja atau penurunan kinerja akibat penggunaan zat; absen, skorsing, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah; menelantarkan anak atau rumah tangganya),
- Tetap meneruskan penggunaan zat, meskipun mengalami masalah yang persisten atau berulang dalam hubungan sosial atau interpersonal, yang disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat
- Tidak mau atau mengurangi berbagai aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting akibat penggunaan zat
- Terus menggunakan zat, bahkan dalam situasi yang membahayakan secara fisik (misalnya ketika sedang mengendarai mobil, mengoperasikan alat berat)
- Terus menggunakan zat, meskipun mengalami masalah fisik dan psikologik persisten atau berulang, yang disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat
- Timbulnya toleransi, yang bermanifestasi sebagai
- Meningkatkan jumlah pemakaian untuk mendapatkan efek yang sama dengan sebelumnya,
- Efek pemakaian yang semakin menurun dengan penggunaan zat pada dosis yang sama,
- Kriteria ini tidak bisa dipergunakan bila penggunaan sedatif, hipnotik, atau ansiolitik dilakukan dibawah pengawasan dokter,
- Didapatkan gejala-gejala putus zat[12]