Penatalaksanaan Benzodiazepine Use Disorder
Penatalaksanaan adiksi benzodiazepine mencakup tiga aspek, yaitu manajemen intoksikasi, penghentian obat dan manajemen akut gejala putus zat, serta penanganan kondisi yang mendasari [1].
Penatalaksanaan dimulai dari penentuan pola penggunaan benzodiazepine dan kondisi yang dialami pasien saat ini. Pertimbangan yang digunakan adalah usia pertama kali menggunakan obat, lama penggunaan secara reguler, frekuensi penggunaan, terakhir kali menggunakan obat, jalur penggunaan, dan riwayat intoksikasi atau putus zat sebelumnya [10]. Tanda dan gejala juga dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien dalam kondisi putus zat atau intoksikasi.
Manajemen Intoksikasi Benzodiazepine
Gejala intoksikasi benzodiazepine bisa berupa depresi sistem saraf pusat sampai pada timbulnya koma dan depresi pernapasan. Langkah pertama untuk manajemen intoksikasi benzodiazepine adalah identifikasi kegawatdaruratan yang terjadi dan pemberian tata laksana yang sesuai. Jika terjadi depresi pernapasan atau terdapat risiko aspirasi, pertimbangkan untuk melakukan intubasi.
Flumazenil adalah antidot untuk intoksikasi benzodiazepine, namun berisiko menimbulkan paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) dan kejang, sehingga tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada kasus intoksikasi benzodiazepine [13].
Penghentian Obat dan Manajemen Akut Gejala Putus Zat
Penggunaan benzodiazepine dalam jangka panjang tidak bisa dihentikan secara tiba-tiba dan diperlukan tapering off (penurunan dosis secara bertahap). Kecepatan penurunan berbeda-beda untuk setiap pasien dan jenis benzodiazepine yang digunakan. Rekomendasi kecepatan penurunan dosis adalah 10-15% setiap 1-2 minggu. Umumnya proses tapering off bisa diselesaikan dalam 6-8 minggu, meskipun beberapa pasien membutuhkan waktu lebih lama [1,14].
Untuk pasien-pasien yang mengalami adiksi terhadap benzodiazepine yang poten (lorazepam, clonazepam) atau short acting benzodiazepine (alprazolam, triazolam), direkomendasikan untuk dilakukan switching ke diazepam dengan dosis yang setara selama beberapa hari untuk kemudian dilakukan tapering off diazepam [1,6].
Tabel 1. Dosis Switching Benzodiazepine ke Diazepam
Jenis Benzodiazepine (Dosis 10 mg) | Dosis Diazepam (mg) | Waktu Paruh (Jam) |
Alprazolam | 0,5 | 6-12 |
Chlordiazepoxide | 25 | 5-30 |
Clonazepam | 0,5 | 18-50 |
Diazepam | 10 | 20-100 |
Flunitrazepam | 1 | 18-26 |
Loprazolam | 1 | 6-12 |
Lorazepam | 1 | 10-20 |
Nitrazepam | 10 | 15-38 |
Oxazepam | 20 | 4-15 |
Temazepam | 20 | 8-22 |
Obat antiepilepsi seperti carbamazepine, oxcarbamazepine, dan asam valproate bisa digunakan sebagai terapi ajuvan untuk menangani gejala-gejala putus zat pada proses tapering off dari benzodiazepine dosis tinggi (lebih tinggi dari 20 mg diazepam) [15]. Antiepileptik baru seperti zonisamide dan obat-obat GABAnergik lain (seperti gabapentin dan pregabalin) juga bisa dipertimbangkan penggunaannya [16,17]. Namun obat-obat antiepileptik tidak disarankan untuk digunakan dalam jangka panjang pada adiksi benzodiazepine karena efek negatifnya terhadap kognisi.
Penanganan Kondisi yang Mendasari
Penanganan kondisi yang mendasari terjadinya benzodiazepine use disorder sangat penting untuk mencegah terjadinya relaps. Penanganan dilakukan dengan pemberian medikamentosa serta pengembangan strategi mekanisme (coping) melalui psikoterapi dan terapi nonfarmakologis lainnya.
Medikamentosa
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan obat-obat antidepresan lain dengan potensi stimulasi rendah (misalnya sertraline, paroxetine, citalopram, escitalopram, mirtazapine, atau trazodone) direkomendasikan untuk gangguan cemas dan depresi pada orang dengan benzodiazepine use disorder. Agonis reseptor melatonin seperti agomelatine dan ramelteon dapat diberikan pada penderita insomnia [1,9].
Psikoterapi
Psikoterapi pada adiksi benzodiazepine terutama ditujukan untuk mengatasi gangguan psikiatri yang mendasari timbulnya penyalahgunaan zat, misalnya psikoterapi untuk mengatasi kecemasan dan gangguan tidur atau terapi lainnya yang bertujuan untuk manajemen kecemasan dan strategi coping terhadap stres. Psikoterapi yang direkomendasikan adalah cognitive behavior therapy (CBT), mindfulness based therapy, dan terapi kelompok [1,6].
Terapi-terapi yang bertujuan untuk relaksasi (seperti guided imagery, progressive muscular relaxation, dan deep breathing) juga bisa digunakan untuk menurunkan kecemasan selama proses terapi.
Terapi Nonfarmakologis Lainnya
Sleep hygiene direkomendasikan bila ada gangguan tidur sebelum, selama, atau setelah menjalani proses tapering off. Sleep hygiene adalah aturan-aturan dasar tidur yang baik, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tempat tidur, dengan tujuan utama untuk memperbaiki kualitas tidur.[1,18]. Kombinasi sleep hygiene, CBT, dan penurunan stress bisa memperbaiki kualitas tidur dan mencegah relaps [19].