Pendahuluan Benzodiazepine Use Disorder
Benzodiazepine use disorder atau penyalahgunaan benzodiazepine didefinisikan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5) sebagai pola penggunaan obat-obat sedatif, hipnotik, atau ansiolitik yang menyebabkan gangguan klinis atau distress yang signifikan selama setidaknya 12 bulan. Diagnosis gangguan ini ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis International Classification of Disease X (ICD-X) atau DSM-5. Benzodiazepine use disorder bisa mempengaruhi kognisi (memori dan atensi) serta fungsi psikomotor sehingga menimbulkan gangguan pada fungsi sehari-hari [1].
Benzodiazepine adalah obat sedatif hipnotik yang banyak diresepkan untuk mengatasi masalah kecemasan dan gangguan tidur, namun mempunyai potensi untuk disalahgunakan. Penyalahgunaan benzodiazepine telah menjadi masalah serius di Indonesia. Banyak pasien yang menggunakan benzodiazepine bukan karena alasan terapeutik dan pada akhirnya berkembang menjadi benzodiazepine use disorder pada mereka yang rentan menyalahgunakan zat. Benzodiazepine banyak disalahgunakan karena harganya yang relatif murah dan relatif mudah didapatkan.
Penanganan benzodiazepine use disorder dibagi ke dalam tahapan sebagai berikut:
- Manajemen intoksikasi: terapi suportif dan pemberian antidot berupa flumazenil (penggunaan antidot bersifat kontroversial dan sebaiknya tidak digunakan secara rutin)
- Penghentian obat: switching ke diazepam lalu tapering off
- Penanganan gejala putus obat: antiepilepsi
- Penanganan penyakit yang mendasari: medikamentosa, psikoterapi, dan terapi nonfarmakologis lainnya.