Diagnosis Infertilitas Pria
Sebagian besar informasi yang mengarah pada diagnosis penyebab dasar infertilitas pria dapat diidentifikasi melalui proses anamnesis yang baik. Anamnesis yang efisien juga membantu dokter dalam menentukan pemeriksaan fisik terarah yang esensial untuk dilakukan serta mempersempit diagnosis banding infertilitas.
Anamnesis
Informasi yang harus digali saat anamnesis pria dengan masalah infertilitas mencakup riwayat kesuburan, riwayat penyakit saat anak-anak, termasuk penyakit sistemik, riwayat pembedahan, dan kemoterapi, penggunaan obat tertentu, serta gaya hidup.
Riwayat kesuburan pria mencakup catatan awal tentang riwayat kehamilan pada pasangan seksual saat ini maupun sebelumnya, kesulitan yang dihadapi saat berusaha memperoleh keturunan, dan pemeriksaan serta pengobatan yang pernah dijalani terkait masalah infertilitas. Selain itu, data tentang frekuensi dan pengaturan waktu berhubungan seksual dapat memberikan gambaran apakah upaya yang dilakukan sudah maksimal. Masih banyak pasangan yang belum mengetahui bahwa peluang pembuahan lebih besar jika hubungan seksual dilakukan 5 hari sebelum perkiraan masa subur dan pembuahan sulit terjadi apabila hubungan seksual dilakukan hanya pada hari ovulasi [18]. Hal lain yang juga perlu ditanyakan adalah riwayat gangguan saat ereksi, fungsi ejakulasi, dan frekuensi masturbasi.
Selanjutnya, informasi riwayat penyakit masa lalu yang relevan dengan masalah infertilitas pria antara lain riwayat kriptorkismus bilateral, trauma pada testis, usia saat pubertas, dan penyakit gondongan. Kriptorkismus bilateral berhubungan dengan penurunan bermakna spermatogenesis. Angka kejadian penurunan densitas sperma bervariasi menurut derajat keparahan kriptorkismus, yaitu sekitar 17% dari total pasien kriptorkismus unilateral hingga mencapai 50%-89% dari total pasien kriptorkismus bilateral [19,20]. Walaupun riwayat torsio testis berhubungan dengan kejadian atrofi testis pada 25% kasus, sejauh ini belum ada bukti pendukung yang kuat terkait besarnya kontribusi torsio testis terhadap infertilitas pria. Bahkan, beberapa studi menemukan tidak adanya perbedaan bermakna motilitas dan jumlah sperma meskipun ada bukti tentang bentuk sperma ireguler dan tingginya kadar antibodi antisperma [21]. Keterlambatan pubertas atau gangguan perkembangan seksual lainnya dapat mengindikasikan adanya endokrinopati sebagai penyebab infertilitas. Beberapa riwayat penyakit sistemik dapat berdampak negatif terhadap infertilitas pria. Diabetes dan sklerosis multipel diketahui berkaitan dengan gangguan ejakulasi, sedangkan distrofi miotonik berhubungan dengan kejadian atrofi testis [8]. Orkitis akibat gondongan, walaupun telah jarang ditemukan pada anak-anak, masih merupakan komplikasi yang kerap ditemukan pada pasien laki-laki pasca pubertas (20%-30% kasus). Dampak dari orkitis tersebut antara lain atrofi testis, oligospermia, azoospermia, dan asthenospermia [22].
Terkait konsumsi obat-obatan, mariyuana dan kokain merupakan golongan obat terlarang yang diketahui berdampak pada penurunan kadar testosteron, jumlah sperma, dan motilitas sperma [23,24]. Jenis obat lain yang juga perlu diketahui riwayat penggunaannya pada pasien pria dengan infertilitas adalah testosteron. Testosteron sering disalahgunakan sebagai bagian dari steroid anabolik dan berdampak serius terhadap jumlah sperma. Pada sebagian pasien yang mengonsumsi androgen eksogen dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan, jumlah sperma dapat menunjukkan perbaikan setelah testosteron dihentikan. Namun, beberapa pasien masih tetap mengalami disfungsi pituitari [25].
Riwayat pekerjaan dan lingkungan pasien yang berkaitan erat dengan dampak negatif terhadap fertilitas pria antara lain paparan timbal, merkuri, kadmium, bromopropan, dan arsen. Selain itu, paparan asap rokok juga berkontribusi terhadap gangguan fungsi sperma dan hasil analisis semen dan sangat mungkin ditentukan oleh dosis paparan toksin dalam rokok, namun bukti yang ada belum secara tegas menemukan hubungan kausal antara rokok dan infertilitas [26,27]. Serupa dengan hal tersebut, senyawa kafein juga diketahui berpengaruh terhadap kejadian aneuploidi pada DNA sperma, namun keterkaitan antara kafein dan gangguan hasil analisis sperma serta inferlititas pria masih belum dapat disimpulkan[28].
Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik pada pria yang mengalami gangguan kesuburan adalah menemukan kelainan yang dapat berdampak negatif terhadap fertilitas. Hal ini mencakup pola virilisasi dan karakteristik tanda kelamin sekunder. Adanya gangguan androgenisasi menyingkap kemungkinan peran penyakit endokrin dalam infertilitas. Ginekomastia dapat terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan rasio estrogen terhadap androgen.
Kelainan anatomi penis dapat menimbulkan gangguan keluarnya ejakulat ke dalam vagina. Terkait hal tersebut, adanya kurvatur penis dan lokasi meatus uretra harus diperhatikan secara saksama. Kemudian, palpasi skrotum harus dilakukan secara hati-hati dalam posisi pasien berdiri dan suhu ruangan yang hangat. Aspek yang perlu dinilai saat palpasi skrotum antara lain konsistensi dan ukuran testis. Penurunan ukuran testis dapat berhubungan dengan adanya gangguan spermatogenesis [29]. Volume testis dapat diukur dengan menggunakan orchidometer maupun kaliper. Pada laki-laki sehat, volume testis minimal adalah 20 mL dan ukuran sisi terpanjang testis minimal 4 cm. Namun, perlu dicatat bahwa pria berlatar belakang ras Asia umumnya memiliki ukuran testis yang lebih kecil [30].
Pemeriksaan epididimis juga tak kalah pentingnya dalam membantu diagnosis infertilitas pria. Saat palpasi epididimis, sensasi penuh pada epididimis dapat mengindikasikan adanya obstruksi sistem duktus. Sebaliknya, spermatokel dan kista epididimis biasanya tak disertai kemungkinan obstruksi sperma. Ketika palpasi funikulus spermatikus, perlu diperhatikan apakah vas deferens teraba, terdapat atrofi atau nodul, hingga varikokel di dalam funikulus. Pembesaran vena dapat diketahui ketika pasien melakukan manuver Valsava atau mengembangkan perut agar tekanan intraabdomen meningkat tanpa menyebabkan kontraksi otot kremaster. Hal tersebut dapat membantu penentuan derajat keparahan varikokel [31]. Namun, hasil pemeriksaan fisik mungkin tak dapat membantu banyak dalam mengarahkan diagnosis pada kasus anatomi testis yang abnormal seperti skrotum kecil disertai testis yang letaknya tinggi atau funikulus spermatikus yang tebal. Pada kasus semacam itu, teknik pencitraan seperti ultrasonografi (gambar 3) dapat dilakukan [32].

Gambar 3. Ultrasonografi yang menunjukkan saluran anekoik berkelok-kelok pada bagian superior dan posterior testis berukuran 2 mm (tanda bintang pada gambar A), menandakan suatu varikokel. Saluran berkelok dan anekoik juga terlihat di bagian dalam testis pada gambar B, khas varikokel intratestikuler.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap infertilitas pria berfokus pada segala interpretasi yang mungkin dari hasil analisis semen awal. Interpretasi analisis semen yang didapatkan memiliki beberapa kemungkinan sebagai berikut:
Parameter Semen Normal
Parameter semen normal biasanya disebabkan oleh kemungkinan adanya faktor wanita sebagai penyebab infertilitas, disfungsi ereksi, defek pada fungsi sperma, dan adanya antibodi antisperma. Jika segala kemungkinan faktor wanita telah disingkirkan dan hasil analisis semen menunjukkan nilai dalam batas normal, maka hal ini dikenal dengan sebutan infertilitas idiopatik. Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan pada skenario semacam ini adalah pemeriksaan antibodi antisperma, uji fungsi sperma (uji penetrasi sperma, uji reaksi akrosom, spesies oksigen reaktif, dan analisis fragmentasi DNA).
Azoospermia
Azoospermia ditandai oleh tidak adanya sperma pada semen. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membedakan azoospermia dari ejakulat kering maupun azoospermia akibat kesalahan penanganan spesimen. Jika setelah dilakukan sentrifugasi ulang ditemukan sperma, maka hal ini bukanlah azoospermia. Secara umum, azoospermia terbagi menjadi dua, yakni azoospermia obstruktif dan non obstruktif. Azoospermia obstruktif terjadi akibat kurangnya produksi sperma sedangkan azoospermia non obstruktif disebabkan oleh adanya sumbatan pada sistem duktus sementara produksi sperma cukup.
Pemeriksaan penunjang tambahan yang dapat dilakukan pada temuan azoospermia adalah FSH serum untuk mendeteksi kelainan yang disebabkan oleh gangguan spermatogenesis. Jika kadar FSH > 6mIU/mL, maka patut dicurigai adanya kelainan spermatogenesis sebagai penyebab azoospermia. Jika kadar FSH normal, maka biopsi testis dapat dipertimbangkan apabila terdapat pertimbangan lanjutan untuk fertilisasi in vitro (IVF) maupun injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI). Jika kadar FSH rendah, maka perlu dipikirkan adanya hipogonadotropik hipogonadisme.
Abnormalitas Semen Multipel
Adanya defek multipel pada densitas, motilitas, dan morfologi sperma dikenal dengan istilah oligoastenoteratozoospermia (OAT) dan paling sering disebabkan oleh varikokel. Kemungkinan penyebab lainnya adalah paparan toksin dari lingkungan, penggunaan obat-obatan, dan kriptorkismus. Selain itu, adanya obstruksi duktus ejakulatorius parsial juga dapat bermanifestasi sebagai OAT.
Abnormalitas Parameter Semen Tunggal
Defek parameter analisis semen tunggal dapat terjadi pada hampir 30% pasien dengan infertilitas dan disebabkan oleh berbagai faktor. Defek volume semen, atau aspermia, biasanya berkaitan dengan ejakulasi retrograd maupun kegagalan emisi. Penyebab dasarnya antara lain gangguan saraf akibat cedera spinal, diabetes melitus, sklerosis multipel, dan penggunaan penghambat reseptor alfa.
Sementara itu, sebagian pasien mungkin mengalami penurunan densitas sperma tanpa disertai abnormalitas lain pada parameter semen. Pada kelompok pasien ini, pemeriksaan kadar FSH dan testosteron serum dapat membantu mengarahkan diagnosis pada defek testikuler primer, varikokel, dan mikrodelesi pada kromosom Y.
Defek pada motilitas sperma, atau asthenospermia, ditandai oleh rendahnya persentase sperma yang bergerak secara normal dan cepat. Penyebab yang mungkin atas kondisi ini mencakup abstinens yang berkepanjangan, infeksi saluran reproduksi, antibodi antisperma, obstruksi parsial duktus ejakulatorius, varikokel, dan faktor idiopatik.
Patologi pada Sperma dan Potensi Fertilitas
Bukti mutakhir mengisyaratkan bahwa patologi pada sperma dapat mempengaruhi potensi fertilitas pascaterapi. Sebagai contoh, teratozoospermia tidak hanya mempengaruhi morfologi sperma namun juga menyebabkan gangguan fungsi sperma. Penggunaan teknik injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI) telah memungkinkan evaluasi struktural dan fungsional spermatozoa yang digunakan untuk fertilisasi. Pemahaman tentang kedua hal tersebut akan sangat bermanfaat dalam menentukan kaitan kualitas sperma dengan luaran fertilitas sehingga gambaran objektif tentang pengaruh komponen sperma dalam fertilisasi akan terlihat jelas.
Pasien dengan asthenozoospermia akibat kelainan genetik (progresi gerak ke arah depan 0,2%) memiliki fenotip sperma yang khas seperti diskinesia silier primer yang ditemukan pada semua spermatozoa. Fenotip ini akan secara signifikan berpengaruh pada luaran fertilitas spontan maupun yang dibantu teknologi reproduksi. Apabila pasien mengalami asthenozoospermia akibat kelainan genetik, data longitudinal mengungkap bahwa peluang fertilitas spontan maupun dengan teknologi reproduksi berbantu (kecuali ICSI) hampir nihil. Namun, apabila pasien mengalami asthenozoospermia akibat anomali flagel non spesifik, 33% pasien masih mungkin untuk mendapatkan fertilitas spontan maupun berbantu dalam kurun 2-6 tahun pasca diagnosis [33].
Pasien dengan spermatozoa yang tak memiliki akrosom pasti infertil sebab spermatozoa tidak mampu menembus oosit tanpa kehadiran akrosom yang terlibat pada fase penetrasi cumulus oophorus yang mengelilingi oosit. ICSI semula diduga dapat memintas tahapan penetrasi pada saat fertilisasi, namun bukti yang ada mengisyaratkan hipotesis tersebut tak selalu benar. Hal ini disebabkan adanya defek lain pada spermatozoa yang tak memiliki akrosom seperti perubahan pada theca perinuclear dan hubungan erat dengan anomali kromatin. Walaupun terdapat laporan yang menemukan bahwa ICSI mungkin dilakukan melalui mikroinjeksi spermatozoa tanpa akrosom, laju fertilitas pada kasus semacam ini masih rendah (10-50%) [34].
Maturasi kromatin juga berperan penting dalam mengoptimalkan kapasitas fertilisasi mengingat kelainan pada struktur ini dapat berkaitan dengan peningkatan risiko kelainan kromosom [35]. Individu dengan kelainan kromatin memiliki peluang viabilitas janin lebih rendah pasca ekstraksi sperma testikular (TESE) dan ICSI dibandingkan individu tanpa kelainan kromatin [36]. Hal ini diduga berkaitan dengan peningkatan risiko keguguran pada pasangan yang janinnya berasal dari sperma dengan anomali kromatin [37].
Pemeriksaan Penunjang
Setelah melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada pria yang diduga mengalami infertilitas. Analisis semen berkala pada 2 hingga 3 waktu pemeriksaan yang berbeda masih menjadi tonggak pemeriksaan penunjang awal pada kasus infertilitas pria.
Perlu diingat bahwa analisis semen bukanlah penentu diagnosis infertilitas dan tak dapat digunakan secara tunggal dalam membedakan pasien infertil dan fertil [38]. Yang lebih penting bagi dokter adalah mengetahui ambang batas bawah dari berbagai parameter analisis semen [39] sehingga bisa membedakan pasien yang secara statistik memiliki kemungkinan infertilitas. Sebagai contoh, meskipun rerata jumlah sperma dalam sampel semen adalah 60-70 juta sperma/mL, hal ini tidak sama dengan jumlah sperma yang diperlukan untuk terjadinya kehamilan. Selain itu, jumlah sperma bukan satu-satunya penentu infertilitas sebab sangat mungkin bagi individu dengan jumlah sperma yang cukup tapi mengalami infertilitas apabila terdapat gangguan motilitas sperma. Bahkan, yang dianggap lebih penting dalam menentukan keberhasilan kehamilan spontan dan inseminasi intrauterin adalah jumlah total spermatozoa yang motil (TMSC) [40]. Walaupun belum ada nilai rujukan standar untuk parameter analisis semen, nilai rujukan dari WHO berikut ini telah digunakan secara luas.
PARAMETER SEMEN | NILAI BATAS BAWAH RUJUKAN |
Volume, ml | 1,5 |
Konsentrasi sperma, 106/mL | 39 |
Jumlah sperma total, 106 | 15 |
Motilitas total, % | 40 |
Motilitas progresif, % | 32 |
Vitalitas (spermatozoa hidup), % | 58 |
Morfologi sperma normal, % | 4 |
pH | ≥ 7,2 |
Fruktosa seminal, µmol/ejakulat | ≥ 13 |
Tabel 2. Nilai batas bawah rujukan terhadap berbagai parameter analisis semen berdasarkan kriteria WHO 2010 [39]