Stop Melakukan Pemeriksaan Rutin Fungsi Koagulasi Darah Pre Operasi

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Pemeriksaan rutin fungsi koagulasi darah pre operasi tidak diperlukan pada pasien dengan risiko perdarahan minimal. Berbagai bukti klinis saat ini menunjukkan bahwa pemeriksaan fungsi koagulasi rutin pada semua pasien tanpa melihat kondisi klinis tidak benefisial, menghambat inisiasi terapi, dan menambah biaya perawatan yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan medis lainnya. Selain itu, identifikasi keperluan pemeriksaan fungsi koagulasi dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.[1,3,5]

Pemeriksaan fungsi koagulasi juga dapat disarankan pada pasien dengan risiko perdarahan abnormal, seperti riwayat gangguan perdarahan maupun riwayat keluarga dengan penyakit gangguan perdarahan.

KoagulasiDarahPreOperasi

Pemeriksaan rutin fungsi koagulasi tidak diperlukan pada pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan, seperti aspirin, clopidogrel, ticagrelor, rivaroxaban, apixaban, karena pemeriksaan koagulasi seperti PT dan APTT seringkali normal pada penggunaan obat ini. Apabila pasien mendapatkan warfarin, pemeriksaan INR dengan memeriksa PT dapat dilakukan.[1,19]

Pemeriksaan Fungsi Koagulasi

Beberapa pemeriksaan fungsi koagulasi yang seringkali digunakan antara lain adalah hitung trombosit, bleeding time, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT), reptilase time, kadar fibrinogen, dan d-dimer.

Hitung Trombosit

Hitung trombosit hanya menggambarkan jumlah trombosit dan tidak menggambarkan fungsinya. Trombosit dengan jumlah dan fungsi yang baik diperlukan untuk mekanisme hemostasis primer agar dapat menjalankan tugasnya untuk agregasi platelet. Nilai normal hitung trombosit adalah 150,000–440,000/mm3 dan perdarahan abnormal saat operasi biasanya terjadi pada hitung trombosit 40.000–70.000/mm3.

Pada tindakan operasi tertentu seperti kraniotomi, perdarahan abnormal dapat terjadi pada kadar trombosit <100.000–150.000/mm3. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa platelet clumping dan sampel yang mengalami hemodilusi dapat memberikan hasil trombositopenia.[19]

Pemeriksaan ini dapat diindikasikan pada pasien dengan riwayat cardiopulmonary bypass (CPB) dan kelainan kongenital, serta konsumsi heparin dalam jangka waktu lama.[19]

Bleeding Time

Bleeding time (BT) dilakukan untuk melihat fungsi mekanisme hemostasis primer dan fungsi trombosit. Pemeriksaan ini sangat mudah dilakukan, tetapi hasilnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi kulit (ketebalan dan suhu permukaan kulit), ras dan etnis, usia, teknik blotting, tekanan vena dan lokasi anatomis.[19,20]

Nilai normal BT adalah 2–9 menit. Nilai BT dapat memanjang pada mereka yang mengkonsumsi aspirin dan antiinflamasi nonsteroid (NSAID), keadaan trombositopenia, serta mereka dengan von-Willebrand disease.

Akan tetapi, karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi hasil BT serta sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, BT bukan merupakan prediktor gangguan koagulasi yang baik dan penggunaannya sudah mulai ditinggalkan dalam praktik klinik sehari-hari.[19,20]

Prothrombin Time (PT)

Prothrombin time (PT) dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme hemostasis sekunder, yaitu pada kaskade koagulasi jalur ekstrinsik dan common pathway. Pengukuran PT dinyatakan dalam detik dan menggambarkan durasi sampai terjadinya clotting pada plasma yang sudah dicampur dengan natrium sitrat pasien setelah diberikan tromboplastin dan CaCl2.[19,21]

Nilai normal PT adalah 10–13 detik atau bila dinyatakan dengan international normalized ratio (INR) adalah 0,9–1,2. Pemanjangan PT biasanya ditemukan pada defisiensi faktor yang berperan dalam kaskade koagulasi jalur ekstrinsik dan common pathway. Keadaan tersebut antara lain penyakit hepar, defisiensi vitamin K atau dalam terapi vitamin K antagonis (VKA), defisiensi faktor koagulasi (II, V,IX,X), disseminated intravascular coagulation (DIC), dan antiphospholipid antibody syndrome (APS).[19,21]

Walaupun demikian, perlu diperhatikan pula bahwa terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT menjadi memanjang. Faktor-faktor tersebut antara lain polisitemia dengan hematokrit >55%, sampel terlalu sedikit, sampel yang terkontaminasi heparin, pasien dengan terapi antikoagulan seperti dabigatran dan rivaroxaban, serta usia sampel >24 jam atau penempatan sampel terlalu dingin. Selain itu, pada pasien dengan hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia PT dapat memendek.[21]

Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT)

Pemeriksaan activated partial thromboplastin time (aPTT) juga mengevaluasi mekanisme hemostasis sekunder, tetapi pada kaskade koagulasi jalur intrinsik dan common pathway. Pemeriksaan aPTT dilakukan untuk melihat hampir semua fungsi faktor koagulasi kecuali faktor VII dan XII.[19]

Pada pemeriksaan aPTT, plasma yang sudah dicampur natrium sitrat, diberikan fosfolipid, kalsium, dan contact activator, seperti kaolin dan cephalin, dengan tujuan untuk memulai kaskade koagulasi jalur intrinsik.[19,22]

Nilai normal aPTT adalah 25–35 detik, bila memanjang dapat menandakan defisiensi faktor VIII (hemofilia A), faktor IX (hemofilia B), atau dalam terapi heparin, lupus antikoagulan, maupun fibrinogen degradation products (FDPs). Lupus antikoagulan merupakan penyebab tersering pemanjangan aPTT pada skrining rutin, yang meningkatkan risiko clotting bukan perdarahan.

Pemanjangan aPTT dan PT dapat terjadi bersamaan pada keadaan defisiensi vitamin K, von Willebrand's disease (dapat meningkat/normal tergantung derajat keparahan penyakit), serta DIC.[19,22]

Pemeriksaan aPTT sering digunakan untuk monitor target terapi unfractionated heparin. Akan tetapi, nilai aPTT juga dapat memanjang pada antiphospholipid antibody syndrome atau sampel tercampur dengan plasma normal.[19,22]

Thrombin Time (TT)

Thrombin time (TT) dilakukan untuk mengevaluasi common pathway tepatnya saat trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Waktu diukur dalam detik dan pengukuran dimulai dari saat trombin diberikan sampai terbentuk benang fibrin. Nilai normal TT adalah 15–19 detik.[19]

Pemanjangan TT dapat terjadi karena masalah pada fibrinogen atau trombin. Masalah pada fibrinogen dapat berupa jumlah yang sedikit (hipofibrinogenemia) atau gangguan fungsi (disfibrinogenemia), misalnya pada keadaan yang diturunkan maupun gangguan pada hepar. Selain itu, TT juga dapat memanjang dengan penggunaan obat-obatan seperti heparin, fibrin degradation products (FDP), dan direct thrombin inhibitors.[19]

Reptilase Time

Apabila TT memanjang, pemeriksaan reptilase time dilakukan untuk melihat penyebab pemanjangan TT. Nilai normal TT adalah 18–22 detik. Bila TT memanjang, tetapi reptilase time normal, kemungkinan karena konsumsi heparin. Akan tetapi, bila reptilase time juga memanjang, kemungkinan karena keadaan disfibrinogenemia seperti konsumsi FDP atau kadar fibrin yang rendah. Pemanjangan reptilase time sampai 24 detik juga dapat ditemukan pada neonatus sehat.[19,23]

Kadar Fibrinogen

Pemeriksaan kadar fibrinogen memiliki nilai normal 160–350 mg/dL dan untuk mempertahankan hemostasis, diperlukan kadar minimal 100 mg/dL. Kadar fibrinogen dapat menurun karena kelainan herediter (afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia), gangguan fungsi hepar, malnutrisi, DIC, maupun fibrinolisis. Akan tetapi, kadarnya juga dapat meningkat pada penyakit ginjal kronis (PGK), trauma maupun operasi.[19,25,32]

D-Dimer

D-dimer merupakan fragmen protein yang diproduksi saat tubuh melakukan degradasi blood clot. Trombosit “bergandengan” dengan menggunakan d-dimer pada saat clotting. Nilai normal d-dimer adalah 0,50 dan meningkat pada keadaan tertentu seperti DIC, emboli paru, maupun deep vein thrombosis (DVT).

Akan tetapi, kadarnya juga dapat meningkat pada keadaan lain seperti kehamilan, PGK, pasien dengan karsinoma, perokok, post trauma atau operasi, infeksi, sepsis, maupun pasien lansia dan penderita penyakit autoimun.[19,26,32]

Activated Clotting Time (ACT)

Pemeriksaan activated clotting time (ACT) sering digunakan sebagai pemantauan terapi heparin dosis tinggi maupun pasien yang mendapat continuous renal replacement therapy (CRRT), extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), serta kateterisasi jantung.

Pemeriksaan ini melihat jalur intrinsik pada kaskade koagulasi. Nilai normal ACT adalah 70–150 detik. Akan tetapi, nilai abnormal pada pemeriksaan ACT dapat pula terjadi pada pasien dengan hipotermia, jumlah trombosit abnormal, konsumsi aprotinin dan antagonis GP IIb/IIIa, serta sampel hemodilusi.[28,29]

Berdasarkan uraian berbagai pemeriksaan fungsi koagulan di atas, dapat dilihat bahwa pemeriksaan ini dapat memberikan hasil positif palsu. Selain itu, kelainan yang bermakna secara klinis dalam pemeriksaan status koagulan ini seringkali didapatkan pada pasien yang sudah diketahui memiliki penyakit gangguan koagulasi, memiliki riwayat penyakit gangguan koagulasi dalam keluarga, serta sedang dalam terapi antikoagulan.

Selain itu, pemeriksaan status koagulan juga dapat memberikan hasil yang bermakna pada pasien dengan penyakit hepar, sepsis, penyakit ginjal kronis (PGK), DIC, preeklamsia, kolestasis, dan malnutrisi yang menyebabkan defisiensi vitamin K.[1]

Hanya warfarin memerlukan pemeriksaan INR dari PT dan unfractionated heparin dari uji aPTT yang dapat perlu dilakukan monitor fungsi koagulasi. Antikoagulan lain, seperti agen antiplatelet, misalnya aspirin, clopidogrel dan ticagrelor; low molecular weight heparin (LMWH), direct oral anticoagulant (DOAC) (seperti apixaban dan rivaroxaban), akan menunjukkan hasil pemeriksaan fungsi koagulasi rutin yang normal atau tidak berguna untuk dilakukan monitoring.[1,9]

Kuesioner Pre Operatif untuk Membantu Mengidentifikasi Diperlukannya Pemeriksaan Fungsi Koagulasi

Kuesioner pre operatif dapat membantu klinisi mengidentifikasi perlu atau tidaknya pemeriksaan fungsi koagulasi. Kuesioner ini disebut dengan HEM STOP, yaitu Hematoma, hEmorrhage, Menorrhagia, Surgery, Tooth extraction, Obstetrics, Parents. Kuesioner ini terdiri dari 7 pertanyaan yang terdiri dari:

  1. Apakah pasien pernah memiliki riwayat atau terapi yang menyebabkan terjadinya kondisi perdarahan tidak wajar dan lama (mimisan, luka kecil)?
  2. Apakah pasien pernah mengalami lebam/hematoma lebih dari 2 cm tanpa trauma atau lebam berat setelah trauma minor?
  3. Apakah pasien pernah mengalami perdarahan hebat dan lama setelah melakukan pencabutan gigi yang akhirnya memerlukan perawatan?
  4. Apakah pasien pernah mengalami perdarahan hebat saat atau setelah tindakan operasi?
  5. Apakah ada riwayat keluarga pasien mengalami penyakit koagulasi (hemofilia, von Willebrand disease, dan sebagainya)?

Khusus untuk perempuan:

  1. Pernahkan pasien melakukan konsultasi ke dokter atau menerima terapi akibat siklus mens yang memanjang atau perdarahan terlalu banyak (oral kontrasepsi, tablet besi, dst)?
  2. Apakah pasien pernah mengalami perdarahan pasca persalinan yang banyak dan memanjang?

Skor HEM STOP <2 dianggap sebagai risiko rendah untuk mengalami gangguan hemostasis dan tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Apabila skor yang didapat ≥2, diperlukan pemeriksaan klinis lebih lanjut dan pemeriksaan penunjang lainnya yang sesuai.

Skor HEM STOP yang rendah (<2) menunjukkan positive predictive value (PPV) yang rendah (39,1%), tetapi memiliki nilai negative predictive value (NPV) yang tinggi (99,9%). Tujuan kuesioner ini adalah mengeliminasi gangguan perdarahan pada pasien dari populasi umum.[16]

Namun, penggunaannya sampai saat ini belum populer dilakukan di Indonesia karena kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih, riwayat rekam medis yang tidak terstruktur dan sosiobudaya yang seringkali mengikuti saja perintah petugas medis dan paramedis.[16]

Dampak Pemeriksaan Rutin Fungsi Koagulasi

Dampak pemeriksaan rutin fungsi koagulasi tanpa skrining awal yang jelas adalah penundaan tindakan terapeutik, peningkatan klaim biaya barang habis pakai, dan perawatan perioperatif. Selanjutnya, pemeriksaan status koagulasi dengan PT dan aPTT yang sering dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pre operasi, awalnya dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan.

Maka dari itu, melakukan pemeriksaan ini tanpa indikasi adalah tidak pada tempatnya. Selanjutnya, pemeriksaan yang dilakukan tanpa indikasi akan mengurangi sumber daya alat pemeriksaan, sehingga bila sumber daya tersebut habis, pasien yang seharusnya mendapat pemeriksaan ini, mungkin jadi terhambat atau tidak diperiksakan karena tidak ada sumber daya.[1,17]

Selain itu, pasien normal dapat memiliki hasil clotting time memanjang. Hal ini karena nilai normal diambil dari ±2 standar deviasi dari mean pada mereka yang sehat. Hal ini berarti, sebanyak 2,5% pasien normal akan memberikan hasil clotting time memanjang.

Penyebab yang paling sering dari pemeriksaan fungsi koagulasi abnormal pada populasi umum di samping kesalahan teknis laboratorium adalah lupus antikoagulan yang tidak menyebabkan gangguan perdarahan. Akibatnya, pada mereka yang tidak memiliki kelainan koagulasi, waktu tunggu operasi/tindakan akan memanjang untuk hasil yang secara klinis tidak bermakna.[1]

Studi mengenai Pemeriksaan Fungsi Koagulasi Rutin

Studi retrospektif dilakukan Alzahrani et al. pada 2078 anak yang menjalani pemeriksaan rutin status koagulasi tanpa melihat klinis. Dari jumlah tersebut, 0,14% (3 anak) mengalami perdarahan post operasi, dimana 2 anak memiliki status koagulasi normal dan 1 anak mengalami hemofilia A yang terdeteksi setelah operasi.[17]

Studi ini juga menunjukkan bahwa pemeriksaan rutin status koagulasi mahal tetapi kurang benefisial bila dilakukan tanpa skrining anamnesis gangguan koagulasi dan pemeriksaan fisik. Selain itu, pada beberapa kasus terjadi penundaan terapi akibat hasil pemeriksaan ini dengan/atau tanpa didapatkan bukti klinis perdarahan yang bermakna.

Studi ini juga menekankan bahwa pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat perdarahan dan riwayat keluarga dengan gangguan koagulasi, riwayat penggunaan antitrombotik dan riwayat perdarahan post operasi sebelumnya. Selain itu, pemeriksaan fisik dan jenis prosedur juga dapat menjadi pertimbangan klinis dilakukannya pemeriksaan fungsi koagulasi.[17]⁠

Kesimpulan

Pemeriksaan rutin status koagulasi pada periode pre operatif tidak membantu mengidentifikasi gangguan koagulasi. Selain itu, pemeriksaan rutin tanpa skrining dapat menyebabkan penundaan operasi sehingga meningkatkan angka morbiditas akibat penundaan, serta membengkaknya biaya perawatan di rumah sakit.

Temuan yang paling sering pada skrining rutin fungsi koagulasi tanpa melakukan skrining dengan kuesioner adalah pemanjangan aPTT karena lupus antikoagulan yang meningkatkan risiko clotting dan bukan bleeding. Pemeriksaan koagulasi sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi dibawah ini:⁠

  • Pasien dengan riwayat keluarga memiliki kelainan pembekuan darah.
  • Pasien dengan riwayat perdarahan, baik diturunkan maupun tidak
  • Pasien dengan penyakit hepar, sepsis, DIC atau yang mengarah ke koagulopati, serta pasien dengan malnutrisi yang menyebabkan defisiensi vitamin K
  • Pasien yang memiliki riwayat penyakit ginjal kronis (PGK) dengan kreatinin klirens <15 ml/kgBB/menit

Pada pasien yang menggunakan antikoagulan, pemeriksaan status koagulasi dilakukan sesuai jenis antikoagulan yang digunakan berdasarkan rekomendasi American Society of Regional Anesthesia (ASRA).

Penggunaan antikoagulan dapat dihentikan sesuai dengan guideline yang ada pada operasi elektif. Sedangkan untuk operasi emergensi, pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menentukan sikap dan reversal yang dapat diberikan. Pemeriksaan fungsi koagulasi rutin harus digantikan dengan kuesioner yang sederhana dan praktis untuk klinis sehari-hari.[1,3,5]

Referensi