Diagnosis Transient Ischemic Attack (TIA)
Diagnosis transient ischemic attack (TIA) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan neurologis dan kardiovaskular, serta pemeriksaan penunjang untuk menilai kondisi jaringan otak. Selain itu, dokter juga harus melakukan stratifikasi risiko dengan menggunakan skor ABCD2 untuk membantu penentuan diagnosis dan penatalaksanaan yang akan dilakukan kemudian.
Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan dalam penegakan diagnosis. Selain pada pasien, anamnesis dilakukan terhadap keluarga pasien. Anamnesis terhadap keluarga dilakukan mengenai beberapa perubahan yang tidak dirasakan pasien seperti perubahan tingkah laku, perubahan kemampuan berbahasa, memori, gerak dan pola berjalan pasien. [4]
Pada anamnesis, dokter perlu menanyakan onset gejala, durasi, fluktuasi gejala, lokasi, dan intensitas gejala. Pada pasien perlu dipertanyakan apakah pasien kembali pada kondisi awalnya sebelum mengalami gejala. Pada pasien yang mengalami gejala saat bangun, dokter harus bertanya kapan pasien mengalami kondisi normal terakhir kalinya. Beberapa gejala yang mungkin dialami pasien seperti gangguan penglihatan, gangguan berbicara dan kelemahan tubuh sesisi. [4,9]
Gangguan Penglihatan
Pasien dengan gangguan penglihatan harus didalami apakah kelemahan muncul pada kedua mata atau salah satu mata. Pada pasien yang mengeluh buta sebelah mata, pemeriksaan lapang pandang harus dilakukan karena gangguan lapang pandang sesisi sering disalahartikan sebagai kebutaan satu mata. Dokter juga harus menanyakan mengenai kebutaan yang dialami pasien, apakah bentuknya seperti tirai tertutup, pandangan berkabut, gangguan lapang pandang horizontal, atau kebutaan yang diinduksi oleh cahaya terang. [9]
Riwayat Penyakit Dahulu
Dokter juga perlu mengetahui riwayat penyakit terdahulu pada pasien, apakah terdapat riwayat TIA atau stroke pada pasien. Penyakit lain yang perlu ditanyakan adalah riwayat kejang, gangguan sistem saraf lainnya seperti infeksi dan gangguan jantung. Selain itu dokter perlu menanyakan adanya riwayat operasi sebelumnya, terutama operasi jantung atau karotis, serta penggunaan obat-obat sebelumnya.
Dokter juga harus dapat mengetahui komorbiditas lain, yaitu penyakit metabolik seperti diabetes dan dyslipidemia; gangguan koagulopati termasuk pada keluarga, riwayat arteritis, noninfectious necrotizing vasculitis, radiasi dan trauma. Dokter juga harus mengetahui faktor risiko terbentuknya tromboemboli yakni stenosis arteri karotis, tromboemboli vena atau arteri, foramen ovale yang paten, defek septum arteri, fibrilasi atrium, riwayat infark miokard dan disfungsi ventrikuler kiri. [4,9]
Pada pemeriksaan, dokter harus dapat menyingkirkan beberapa penyakit yang dapat menyerupai TIA yakni hipoglikemia, kejang, massa atau tumor, migrain dengan aura, gangguan saraf perifer, penyakit demielinisasi dan gangguan elektrolit. Dokter juga perlu mengetahui riwayat trauma pada pasien, termasuk trauma tumpul pada leher, dan manipulasi servikal. [4]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan TIA bertujuan untuk mengetahui keadaan umum pasien, defisit neurologi yang terjadi dan kemungkinan etiologi penyebabnya. Pemeriksaan fisik neurologi merupakan pemeriksaan fisik yang utama dilakukan. Pada saat pemeriksaan fisik, dokter juga harus dapat menemukan faktor risiko kardiovaskular dan etiologi termasuk kejadian tromboemboli. Penemuan pada pemeriksaan fisik harus didokumentasikan dan dianggap sebagai kejadian stroke sampai terbukti TIA. Pemeriksaan fisik dilakukan berulang terutama bila terjadi perubahan gejala klinis. [4,9]
Keadaan Umum dan Tanda Vital
Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan keadaan umum pasien, pemeriksaan kesadaran dan tanda vital pasien termasuk pemeriksaan saturasi oksigen dan tekanan darah. Dokter harus dapat memeriksa kesadaran pasien termasuk bila ditemukan gangguan pemusatan perhatian, gangguan interaksi dengan pemeriksa, gangguan berbahasa dan memori. Selain itu, status hidrasi pasien juga harus dinilai. Perubahan kesadaran pasien harus dapat ditegakkan dan diketahui onset kejadiannya. [4,9]
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mengetahui komorbiditas lain pada pasien, termasuk infeksi. Pemeriksaan leher dilakukan untuk menilai pulsasi karotis, bruit dan untuk mengetahui riwayat operasi endarterectomi. Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk melihat plak retina, pigmentasi retina, dan batas diskus optikus. Pemeriksaan mata juga dilakukan dengan melihat refleks mata terhadap cahaya langsung dan tak langsung. Pemeriksaan dada dilakukan untuk mengetahui adanya emboli kardiologis yang dapat menyebabkan TIA. Beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah auskultasi untuk mengetahui adanya bunyi jantung tambahan dan irama jantung. [4]
Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya defisit neurologis pada pasien. Prinsip penting dalam pemeriksaan neurologi adalah pemeriksaan harus dilakukan diulang. Pemeriksaan diulang bila pasien mengeluhkan adanya gejala baru atau ada perbaikan gejala, atau beberapa jam pasca pemberian terapi. Pemeriksaan neurologi dimulai dari pemeriksaan fungsi saraf kranial, pemeriksaan motorik, sensoris dan pemeriksaan kemampuan berbahasa. [4,9]
Adanya gangguan fungsi saraf kranial perlu dicurigai pada pasien dengan gejala dismotilitas okular; kerutan dahi yang asimetris; lagostalmus; retraksi mulut yang asimetris; lipatan nasolabial yang menghilang; kesulitan menelan; gangguan gerakan lidah; kekuatan mengangkat bahu yang tidak sama dan defisit lapang pandang. Pemeriksaan fungsi serebelum dilakukan dengan melihat pergerakan bola mata, gaya berjalan, pemeriksaan finger to nose dan heel to knee serta pemeriksaan nistagmus. Gangguan berbicara dapat muncul dalam bentuk afasia atau distaria. Pemeriksaan kapasitas mental dapat digunakan dengan pemeriksaan Mini-Mental Status Examination atau Quick Confusion Scale. Pemeriksaan motorik yang dilakukan termasuk dengan pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis, adanya tremor, tonus, klonus dan spastisitas. [4]
Pasien dengan keluhan gangguan lapang pandang di sisi yang sama dengan hemiparesis harus dicurigai gangguan batang otak, sedangkan bila gangguan lapang pandang pada sisi yang lain harus dicurigai gangguan hemisfer. Pasien dengan gejala okular dan atau kelainan pada wajah di sisi yang berlawan dengan kelemahan sesisi tubuh, harus dicurigai gangguan batang otak. [9]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding TIA adalah diseksi arteri karotis, meningitis, meningococcal meningitis, sklerosis multipel, stroke baik hemoragik maupun iskemia, perdarahan subaraknoid, dan sinkop. [4,9]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan mengeksklusi diagnosis banding. Pemeriksaan yang perlu dilakukan.
Pemeriksaan Neurologi Awal
Pemeriksaan penunjang neurologi dapat dilakukan dengan 2 cara yakni pencitraan dan EEG. Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan yang penting dilakukan yakni pemeriksaan CT Scan kepala. Pemeriksaan dianjurkan dilakukan dalam 24 pasca gejala pertama kali. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui daerah infark atau iskemia baru, daerah infark lama, massa intrakranial dan perdarahan. Walau demikian, pemeriksaan ini memiliki keterbatasan untuk menilai detail jaringan lunak otak.
Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan adalah pemeriksaan MRI otak dengan diffusion-weighted imaging. Walau demikian, pemeriksaan ini perlu dipertimbangkan penggunaannya untuk kondisi akut seperti TIA karena peralatan life support yang digunakan dapat mendistorsi hasil gambaran MRI. Selain itu, waktu pemeriksaan MRI juga lebih lama dibandingkan pemeriksaan radiologi lainnya sehingga tidak sesuai dengan kondisi akut.
Pemeriksaan untuk Mencari Etiologi TIA
Pencitraan dengan CT angiografi, MRA dan USG Doppler dapat dilakukan untuk mengetahui oklusi dan stenosis pembuluh darah yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan penunjang berupa EEG (electroencephalography) dapat dilakukan bila ada indikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan bila terdapat gejala kejang pada pasien. Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan bila ditemukan perdarahan subaraknoid, infeksi sistem saraf pusat dan penyakit demielinisasi.
Pemeriksaan EKG 12 lead dilakukan untuk mengetahui kelainan jantung yang dapat menjadi etiologi penyebab pada pasien. [4]
Stratifikasi Risiko
Penegakan diagnosis TIA menjadi salah satu permasalahan bagi dokter yang bekerja di IGD. Berbagai gejala klinis yang tidak khas membuat membutuhkan berbagai pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosis. Skor ABCD2 adalah salah satu cara untuk mengetahui risiko seorang pasien menderita TIA. Penilaian Skor TIA dilakukan sebagai berikut :
Elemen Penilaian | Skor |
A (Age): Usia ≥ 60 tahun | 1 |
B (Blood Pressure): Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHG atau diastolik ≥ 90 mmHg | 1 |
C (Clinical Features) Gejala Klinis: | |
- Kelemahan tubuh sesisi dengan atau tanpa gangguan berbicara | 2 |
- Gangguan berbicara tanpa kelemahan tubuh sesisi | 1 |
D (Duration) Durasi: | |
≥ 60 menit | 2 |
10-59 menit | 1 |
D (Diabetes) | 1 |
Total | 0-7 |
Bila skor ABCD2 pada pasien adalah 6 atau 7 maka terdapat kemungkinan sebesar 8% untuk pasien tersebut mengalami stroke dalam 2 hari sedangkan bila skor ABCD2 kurang dari 4 maka pasien tersebut hanya memiliki risiko 1% untuk mengalami stroke dalam 2 hari. Pasien dengan skor ABCD2 kecil, lebih memungkinkan untuk tidak didiagnosa sebagai TIA. [4]