Penatalaksanaan Transient Ischemic Attack (TIA)
Penatalaksanaan TIA harus didasarkan pada stratifikasi risiko, misalnya menggunakan skor ABCD2. Bila skor ABCD2 adalah 3 atau lebih, pasien disarankan untuk dirawatinapkan sedangkan pada pasien dengan skor ABCD2 rawat inap diindikasikan berdasarkan pertimbangan klinis dokter. Rawat inap sebaiknya dilakukan dalam 24-48 jam dengan pertimbangan penatalaksanaan dilakukan selama 2 hari perawatan tersebut. [4-6]
Pertimbangan lain yang dapat dilakukan sebagai indikasi rawat inap pasien adalah dengan memperhatikan gejala klinis pasien. Pasien dengan TIA baru (kurang dari 1 minggu) diindikasikan dirawat bila ditemukan gejala yang bertahan lama (lebih dari 1 jam) atau gejala yang memberat, ditemukan tanda-tanda stenosis aorta, ditemukan sumber emboli kardiak yang memerlukan tata laksana dan pasien dengan kondisi hiperkoagulasi. [4,5-6]
Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan terapi farmakologis yang sesuai. Pasien dengan TIA biasanya datang dengan hipertensi. Hipertensi pada pasien dengan iskemia ditatalaksana secara konservatif kecuali ditemukan indikasi terjadinya kegagalan organ.
Kontrol tekanan tidak boleh dilakukan secara agresif pada 24 jam pertama, kecuali bila tekanan darah lebih dari 200/120 mmHg atau rerata tekanan arteri lebih dari 130 mmHg. Namun, kontrol tekanan darah boleh dilakukan secara agresif pada pasien dengan infark miokard akut, krisis hipertensif atau ensefalopati, gagal ginjal, diseksi aorta, atau perdarahan retinal. Tidak terdapat pedoman klinis yang menunjukkan preferensi obat antihipertensi tertentu pasca TIA. [4,5-6]
Antiplatelet untuk Menurunkan Risiko Stroke pada Pasien TIA Risiko Tinggi
Penatalaksanaan TIA menurut American Stroke Association dan AHA dilakukan berdasarkan kecurigaan penyebab TIA. Pasien TIA risiko tinggi dengan skor ABCD2 >4 perlu diberikan pencegahan stroke berupa kombinasi aspirin dan clopidogrel. Dosis inisial yang diberikan adalah 75-300 mg aspirin dan 300 mg clopidogrel. Terapi kemudian dilanjutkan dengan aspirin 75 mg/hari, selama 21 hari, dan clopidogrel 75 mg/hari, selama 90 hari. Pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi aspirin dan klopidogrel harus diperhatikan risiko terjadinya perdarahan. [5-6]
Antikoagulan pada Pasien TIA yang disebabkan oleh Atrial Fibrilasi
Pasien TIA yang disebabkan oleh emboli kardiak biasanya disebabkan oleh keadaan atrial fibrilasi. Pasien dengan atrial fibrilasi akan berisiko mengalami stroke trombosis sehingga perlu dilakukan pencegahan menggunakan antikoagulan. Perlu dipertimbangkan antara manfaat, risiko, dan harga sebelum menentukan antikoagulan yang diberikan, warfarin atau antikoagulan oral baru seperti dabigatran atau rivaroxaban.
Warfarin
Warfarin merupakan antikoagulan yang umum digunakan untuk pencegahan stroke pada atrial fibrilasi dengan dosis 2-10 mg/hari. Walau demikian, risiko perdarahan membuat pasien memerlukan pemantauan international normalized ratio (INR) setiap bulan dengan target INR 2.0-3.0.
Antikoagulan Oral Baru
Antikoagulan oral baru memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam mencegah stroke pada pasien atrial fibrilasi dengan risiko efek samping yang lebih rendah. Di Indonesia, terdapat tiga pilihan antikoagulan oral baru, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Di antara ketiganya, apixaban memiliki risiko efek samping paling rendah sedangkan rivaroxaban memiliki risiko efek samping tertinggi. Walau demikian, hanya dabigatran dan rivaroxaban yang ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, keduanya juga hanya terdapat di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat satu dan dua.
Pertimbangan Harga dalam Memilih Antikoagulan
Jika hanya melihat harga masing-masing obat, tentunya warfarin jauh lebih murah dibandingkan antikoagulan oral baru. Namun, penggunaan warfarin membutuhkan kontrol yang lebih sering yang berarti tambahan biaya pemeriksaan dokter, pemeriksaan laboratorium, serta waktu untuk pemeriksaan dan biaya transportasi ke rumah sakit. Hal ini perlu menjadi pertimbangan juga dalam menentukan pilihan obat untuk pasien. [2,5,6]
Kontrol Tekanan Darah, Kolesterol, dan Gula Darah
Setelah TIA tertangani, perlu dilakukan skrining dan penanganan terhadap faktor risiko stroke, yaitu hipertensi, diabetes, dan dislipidemia.
Kontrol Tekanan Darah
Pada pasien tanpa riwayat hipertensi sebelumnya, tekanan darah umumnya akan turun dengan sendirinya dalam 2 minggu pertama setelah TIA. Untuk itu, terapi antihipertensi dapat dipertimbangkan untuk ditunda sampai 2 minggu setelah kejadian TIA. Namun, modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan, restriksi garam, peningkatan aktivitas fisik, serta penurunan konsumsi alkohol dan rokok sebaiknya tetap dilakukan tanpa penundaan.
Kontrol Kolesterol
Studi menunjukkan pemberian statin dapat menurunkan risiko stroke hingga 30-32%. Statin direkomendasikan pada pasien dengan kadar kolesterol LDL di atas 100 mg/dL. Target terapi setidaknya reduksi 50% atau kadar LDL di bawah 70 mg/dL.
Kontrol Gula Darah
Pasien diabetes yang baru terdiagnosis memiliki risiko stroke 2 kali lipat populasi normal. Pemberian antidiabetes oral dan modifikasi gaya hidup perlu dilakukan dengan target terapi HbA1C di bawah 7%. Terapi intensif dengan target HbA1C <6.5% lebih bermanfaat untuk menurunkan risiko komplikasi diabetes seperti stroke tetapi juga memiliki risiko hipoglikemia yang lebih tinggi. [5,6]