Penatalaksanaan Makrosomia
Penatalaksanaan makrosomia pada masa prenatal mencakup peningkatan aktivitas fisik ibu hamil dan pengendalian glikemia maternal dengan diet atau penanganan diabetes gestasional. Dalam aspek obstetri, induksi persalinan pada makrosomia masih kontroversial. Beberapa bukti menunjukkan bahwa induksi di usia kehamilan ≥39 minggu dapat sedikit menurunkan risiko distosia bahu, namun tidak direkomendasikan < 39 minggu tanpa indikasi medis lain.
Seksio sesarea elektif dapat dipertimbangkan jika estimasi berat janin ≥4.500 g pada wanita dengan diabetes dan ≥5.000 g pada wanita tanpa diabetes, meskipun keputusan harus bersifat individual dengan mempertimbangkan akurasi estimasi berat janin, morbiditas maternal, dan preferensi pasien. Selama persalinan, lakukan pemantauan terhadap kemajuan persalinan dan persiapkan penanganan komplikasi seperti distosia bahu dan perdarahan postpartum.[1,12,20]
Modifikasi Gaya Hidup dan Penanganan Diabetes Gestasional
Aktivitas fisik teratur selama kehamilan terbukti efektif dalam menurunkan risiko makrosomia tanpa meningkatkan risiko kelahiran prematur maupun bayi kecil untuk usia kehamilan (SGA). Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa latihan aerobik atau kombinasi dengan latihan resistensi menurunkan risiko makrosomia 31%, dengan tambahan manfaat berupa peningkatan kebugaran maternal, penambahan berat badan yang lebih terkontrol, dan penurunan seksio sesarea hingga 20%.
Jenis latihan yang direkomendasikan mencakup aktivitas aerobik intensitas sedang seperti berjalan cepat, berenang, atau bersepeda statis, serta latihan penguatan otot (strength conditioning). Frekuensi yang dianjurkan adalah sekitar 150 menit/minggu, dibagi dalam beberapa sesi, dengan pengawasan klinis pada pasien berisiko tinggi. Aktivitas fisik dapat disesuaikan berdasarkan kondisi maternal, usia kehamilan, dan adanya kontraindikasi obstetri.
Bagi ibu hamil dengan diabetes gestasional, latihan fisik dikombinasikan dengan diet rendah indeks glikemik untuk membantu mempertahankan euglikemia, karena pengendalian glukosa maternal terbukti menurunkan risiko makrosomia hingga 73%. Pada wanita tanpa diabetes, latihan fisik sendiri sudah cukup memberikan efek protektif terhadap pertumbuhan janin berlebih, sementara intervensi diet saja tanpa olahraga memberikan manfaat yang terbatas.[20]
Metode Persalinan
Umumnya bayi makrosomia bisa dilahirkan pervaginam tanpa komplikasi mayor, tetapi persalinan perlu disertai dengan pengawasan ketat. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menyatakan bahwa seksio sesarea elektif dipertimbangkan bila berat janin diperkirakan ≥ 5.000 g pada ibu tanpa diabetes atau ≥ 4.500 g pada ibu dengan diabetes, karena risiko distosia bahu, cedera pleksus brakialis, dan perdarahan postpartum meningkat.[12,20]
Persalinan Pervaginam vs Seksio Sesarea
Metode persalinan pilihan untuk makrosomia adalah persalinan pervaginam dengan pengawasan ketat, karena sebagian besar bayi makrosomik dapat lahir tanpa komplikasi mayor. Namun, keputusan pemilihan metode persalinan harus mempertimbangkan estimasi berat janin dan kondisi maternal–fetal saat persalinan.
Seksio sesarea elektif dapat dipertimbangkan bila berat janin diperkirakan ≥5.000 g pada ibu tanpa diabetes, atau ≥4.500 g pada ibu dengan diabetes, karena risiko distosia bahu, cedera pleksus brakialis, dan perdarahan postpartum meningkat pada kondisi tersebut. Meski demikian, karena akurasi ultrasonografi dalam memperkirakan berat janin terbatas, keputusan untuk melakukan seksio harus berbasis rasio risiko–manfaat pada masing-masing kasus.
Selain itu, seksio sesarea menjadi indikasi bila terjadi arrest of descent atau kala II persalinan memanjang pada janin dengan perkiraan berat >4.500 g, karena kondisi ini sangat berkorelasi dengan distosia bahu dan cedera lahir. Operative vaginal delivery, seperti forsep atau vakum, sebaiknya dihindari atau dilakukan dengan hati-hati karena dapat meningkatkan risiko distosia bahu hingga 3-5 kali lipat.
Pada trial of labor after cesarean (TOLAC), makrosomia bukan merupakan kontraindikasi absolut, tetapi menurunkan peluang keberhasilan dan sedikit meningkatkan risiko ruptur uteri, terutama bila berat janin >4.000 g dan belum pernah melahirkan pervaginam sebelumnya.[20]
Apakah Induksi Persalinan Aman Dilakukan?
Beberapa bukti dari uji klinis acak menunjukkan bahwa induksi persalinan pada usia kehamilan ≥ 39 minggu dengan dugaan makrosomia dapat menurunkan risiko distosia bahu dan fraktur tanpa meningkatkan angka seksio sesarea atau morbiditas neonatal yang bermakna. Namun, induksi sebelum 39 minggu tidak direkomendasikan karena belum terbukti manfaatnya dan justru dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia neonatal.[20]
Pemantauan dan Persiapan Persalinan
Pemantauan selama persalinan meliputi kurva persalinan untuk mendeteksi dini tanda-tanda disfungsi kontraksi atau arrest of labor, serta pemantauan denyut jantung janin untuk memastikan tidak ada tanda gawat janin. Evaluasi berkala terhadap kemajuan pembukaan serviks dan penurunan kepala janin dilakukan untuk menentukan apakah persalinan dapat dilanjutkan atau perlu dilakukan intervensi, seperti seksio sesarea.
Selain itu, persiapan menghadapi komplikasi obstetri harus dilakukan. Tenaga medis harus mengantisipasi kemungkinan distosia bahu dan perdarahan postpartum. Oleh karena itu, seluruh tim obstetri harus siap dengan prosedur manuver obstetri untuk distosia bahu (seperti manuver Woods atau Rubin) untuk menurunkan risiko cedera pleksus brakialis pada neonatus.
Obat uterotonik disediakan untuk mencegah perdarahan, termasuk oksitosin dan misoprostol, dengan tambahan asam traneksamat sebagai terapi adjuvan bila diperlukan. Persiapan intrauterine balloon tamponade juga direkomendasikan bila terjadi atonia uteri yang tidak responsif terhadap terapi awal.
Selain itu, pemeriksaan golongan and crossmatch darah sebaiknya dilakukan saat pasien masuk ruang bersalin untuk menjamin ketersediaan produk darah jika transfusi diperlukan, terutama pada pasien dengan anemia atau faktor risiko perdarahan tinggi.[12]
Penanganan Komplikasi Post-Natal
Ketika diketahui bahwa bayi mengalami trauma neonatal, segera identifikasi jenis trauma yang dialami. Selalu lakukan penilaian ABC (airway, breathing, circulation), dan beri prioritas jika ditemukan adanya perdarahan atau gangguan jalan napas, obstruksi dari hematoma lidah, atau makroglosia.[5,14-17]
Penanganan Distosia Bahu
Insidensi distosia bahu meningkat hingga 14% pada bayi dengan berat lahir di atas 4500 g. Langkah awal penanganan distosia bahu yang direkomendasikan adalah manuver McRoberts, yang sederhana namun efektif dalam menyelesaikan sekitar 40% kasus, diikuti dengan suprapubic pressure yang meningkatkan keberhasilan hingga 60%.
Bila kedua langkah tersebut tidak berhasil, dapat dilanjutkan dengan melahirkan tangan posterior (delivery of the posterior arm) atau manuver rotasi seperti manuver Rubin dan Woods. Apabila seluruh manuver konvensional gagal, tindakan lanjutan yang lebih agresif dapat dipertimbangkan.
Pilihan tindakan lanjutan termasuk Gaskin all-fours maneuver (posisi merangkak dengan traksi pada bahu posterior) dan episiotomi untuk memperluas jalan lahir. Dalam situasi ekstrem, intentional clavicular fracture dapat dilakukan untuk mengurangi diameter bahu, sedangkan manuver Zavanelli (mendorong kembali kepala janin ke dalam vagina untuk dilakukan seksio sesarea) menjadi pilihan terakhir karena risiko morbiditas yang tinggi.[12]
Penanganan Luka Jaringan Lunak Intraoral
Jika ditemukan ada laserasi pada jaringan lunak intraoral, maka lakukan penilaian luka tersebut yang meliputi ukuran, kedalaman, derajat gaping, lokasi, hingga keterlibatan arteri. Perhatikan bahwa indikasi suturing hanyalah jika ukuran luka terlalu besar atau jenis luka yang mengganggu fungsi mastikasi, karena banyak luka di lidah sembuh secara spontan.
Bila perlu dilakukan suturing, maka pertimbangkan gunakan benang jahit resorbable ukuran 5-0 atau 6-0 dengan teknik atraumatik. Dalam prosesnya, dapat pertimbangkan penggunaan anestesi topikal untuk membantu visualisasi sebelum tindakan. Namun, perlu perhatikan dosis penggunaan pada neonatus karena adanya risiko absorbsi sistemik.[5,14-17]
Penanganan Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula jarang ditemui, namun tetap merupakan risiko yang dapat terjadi pada fase neonatal. Dokter perlu memperhatikan tanda-tanda klinis dari fraktur mandibula yang meliputi adanya asimetri wajah, krepitasi, edema, perdarahan oral, maloklusi, hematoma submandibular, trismus, atau justru ketidakmampuan menutup mulut.
Jika ditemukan tanda klinis tersebut, maka pertimbangkan untuk melakukan pencitraan radiograf guna mendapatkan gambaran utuh mandibula. Jika memang ditemukan adanya fraktur mandibula, maka biasanya pilihan perawatan pada bayi adalah pendekatan konservatif selama tidak melibatkan dislokasi besar. Pendekatan ini meliputi imobilisasi ringan, observasi fungsi menyusui, dan kontrol nyeri.[5,14-17]
Penanganan Hipoglikemia Neonatal
Bayi makrosomia, terutama bayi yang lahir dari ibu diabetik, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia postnatal. Kondisi ini dapat berimplikasi pada penurunan tonus otot oral yang akan memengaruhi kemampuan menyusu bayi.
Karena itu, jika ditemukan hipoglikemia neonatal, segera lakukan tindakan stabilisasi yang meliputi pemberian ASI segera atau suplementasi glukosa bila perlu, diikuti dengan skrining glukosa kapiler setiap 1, 2, 4, atau 6 jam.[5,14-17]