Penatalaksanaan Asma pada Akhir Kehamilan

Oleh :
dr. Jessica Elizabeth

Penatalaksanaan asma pada masa akhir kehamilan (late pregnancy) tetap perlu diperhatikan, meskipun bukan merupakan masa organogenesis. Eksaserbasi asma yang tidak terkontrol selama masa ini tetap dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan ibu dan janin. Eksaserbasi asma akut derajat sedang-berat dilaporkan terjadi pada 45% wanita hamil dan membutuhkan tata laksana secara medis.[1]

Beberapa penelitian terbaru menyebutkan bahwa salah satu alasan eksaserbasi asma masih sering terjadi pada ibu hamil adalah undertreatment selama kehamilan. Hanya 63% wanita hamil pada periode 2001–2007 dilaporkan mengikuti regimen tata laksana asma sesuai petunjuk.

shutterstock_1775047127-min

Sebuah penelitian juga membandingkan kelompok wanita yang menggunakan kortikosteroid inhalasi (52%) dengan kelompok wanita yang tidak menggunakan obat asma apa pun selama hamil (22%). Penelitian ini menemukan bahwa eksaserbasi pada kelompok wanita yang tidak menggunakan obat apa pun lebih tinggi. Dari grup tersebut, 13% akhirnya dirawat di rumah sakit, 22% akhirnya harus menerima kortikosteroid oral, dan 47% perlu melakukan kunjungan darurat.[2,3]

Dampak Asma yang Tidak Terkontrol pada Kehamilan

Pada saat hamil, peningkatan hormon estrogen bisa menyebabkan kongesti arteri kapiler hidung, terutama pada trimester ketiga. Sementara itu, peningkatan hormon progesteron dapat menyebabkan peningkatan laju pernapasan. Serangan asma dilaporkan lebih sering timbul pada usia kehamilan 24–36 minggu.

Dampak negatif yang dapat dialami oleh ibu adalah perdarahan sebelum atau sesudah persalinan, hipertensi gestasional, dan preeklampsia. Pada masa perinatal, plasenta previa, abrupsio plasenta, dan ketuban pecah dini juga dapat terjadi. Sementara itu, dampak negatif pada janin dapat berupa persalinan preterm, berat badan lahir rendah, dan small for gestational age.[1,4,5]

Studi kohort pada tahun 2020, yang melibatkan >100.000 kehamilan tunggal pada wanita dengan asma, menunjukkan bahwa eksaserbasi asma pada saat hamil dikaitkan dengan risiko preeklamsia, hipertensi pada kehamilan, bayi lahir dengan berat badan rendah, bayi prematur, dan malformasi kongenital. Selain itu, anak yang lahir dari wanita dengan eksaserbasi asma selama kehamilan memiliki peningkatan risiko asma dan pneumonia selama 5 tahun pertama kehidupan.[15]

Optimalisasi manajemen asma selama kehamilan penting untuk melindungi ibu dan janin. Tujuan utama tata laksana asma pada kehamilan adalah untuk mencegah eksaserbasi dengan regimen yang berefek samping terkecil dan mempertahankan oksigenasi janin dengan mencegah episode hipoksia maternal.[1]

Prinsip Penatalaksanaan Asma Secara Umum

Pedoman dari Australian National Asthma Council menyarankan pengelolaan asma secara aktif selama kehamilan seperti untuk asma pada orang dewasa lainnya.  Obat preventif tetap dianjurkan dan peningkatan regimen dapat dilakukan bila perlu untuk mempertahankan kontrol asma yang terbaik.

Pasien direkomendasikan untuk berkunjung ke dokter secara teratur setiap 4 minggu untuk penilaian kontrol asma. Selain itu, penyakit penyerta seperti rhinitis dan reflux gastroesophageal (GERD) yang dapat memperburuk asma juga harus diidentifikasi dan ditangani.[1,6]

Panduan merekomendasikan penggunaan short acting β-agonists seperti salbutamol sebagai reliever dan penggunaan kortikosteroid inhalasi untuk kontrol. Banyak data yang meyakinkan mengenai keamanan kortikosteroid inhalasi pada kehamilan, khususnya budesonide yang memiliki tingkat keamanan terbaik. Pasien dianjurkan untuk melanjutkan kortikosteroid inhalasi yang sudah efektif untuk mengendalikan asma sejak sebelum kehamilan.[1,5]

Tata Laksana Faktor Pencetus

Pasien perlu menghindari pencetus alergi seperti bulu binatang, tungau debu rumah, serbuk sari, dan jamur. Intervensi dapat berupa penggunaan seprai atau sarung bantal hipoalergenik dan pencucian seprai setiap minggu. Semua ibu hamil dengan asma juga harus menghindari asap rokok, polutan dan iritan termasuk kompor kayu bakar, pemanas tanpa ventilasi, parfum, dan bahan pembersih.[4,7,8]

Rhinitis dilaporkan terjadi pada 65% wanita hamil dengan asma dan berhubungan dengan kontrol asma yang buruk. Wanita hamil dengan rhinitis dapat menghindari pencetus, melakukan intranasal lavage dengan larutan saline hipertonik 3 kali sehari, dan menggunakan kortikosteroid intranasal, terutama budesonide atau fluticasone yang terbukti aman selama kehamilan.[4,9]

Antihistamin intranasal dan antihistamin oral generasi ke-2 (cetirizine dan loratadin) juga terbukti aman selama kehamilan. Vasokonstriktor lokal seperti oxymetazoline juga dapat digunakan dengan dosis normal selama ≤3 hari untuk mencegah rebound rhinitis. Namun, penggunaan dekongestan oral (pseudoefedrin dan phenylephrine) harus dihindari, terutama pada trimester awal, karena memiliki efek teratogenik.[4]

GERD juga perlu ditata laksana karena dapat mencetuskan eksaserbasi asma. Lakukan modifikasi gaya hidup seperti elevasi kepala saat tidur dan pengaturan pola makan. Antasida, antagonis reseptor H-2 (ranitidine), dan proton pump inhibitor (lansoprazole) dapat diberikan bila perlu.[4]

Edukasi

Sebagian besar wanita hamil ragu mengonsumsi obat asma (terutama kortikosteroid inhalasi) karena takut terjadi efek samping pada janin. Kurangnya informasi yang jelas tentang keamanan obat asma pada kehamilan membuat pasien mengambil keputusan sendiri atau mencari jawaban dari sumber yang tidak akurat. Dokter perlu menjelaskan bahwa risiko obat asma, terutama kortikosteroid inhalasi, masih kecil bila dibandingkan risiko asma yang tidak terkontrol.[10]

Penatalaksanaan Asma pada Akhir Kehamilan

Pedoman National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) menyatakan bahwa lebih aman bagi pasien asma yang hamil untuk tetap menjalani pengobatan asma daripada mengalami gejala asma yang tidak terkontrol.[11]

Secara umum, obat untuk tata laksana asma pada akhir kehamilan dapat diberikan seperti biasanya karena sudah tidak terjadi organogenesis. Sebagian besar obat memiliki efek teratogenik hanya pada awal kehamilan. Paparan obat asma seperti bronkodilator dan antiinflamasi tertentu selama periode tersebut dapat meningkatkan risiko omfalokel, atresia esofagus, dan atresia rektal. Namun, risiko tersebut juga masih terbilang kecil.[12,13]

Obat-obatan asma yang dapat digunakan pada akhir kehamilan adalah golongan short-acting β-agonists seperti salbutamol dan golongan kortikosteroid inhalasi seperti budesonide dan fluticasone. Namun, meskipun kortikosteroid inhalasi dianjurkan, kortikosteroid sistemik seperti prednison hanya disarankan bila gejala asma tidak membaik dengan terapi lain.

Kortikosteroid sistemik dilaporkan meningkatkan insiden preeklampsia, persalinan prematur, dan berat badan lahir rendah. Kortikosteroid sistemik pada awal kehamilan juga terbukti dapat meningkatkan risiko cleft palate dan jika digunakan hingga akhir kehamilan dapat memperburuk diabetes gestasional atau diabetes yang sudah ada sebelumnya.

Alternatif Terapi Medikamentosa Lain

Obat-obat lain seperti imunomodulator (omalizumab) bisa diindikasikan untuk asma persisten derajat sedang-berat tetapi berisiko menimbulkan anafilaksis. Teofilin intravena umumnya tidak direkomendasikan dalam manajemen darurat asma karena tidak memberikan manfaat tambahan.

Ipratropium inhalasi dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika salbutamol tidak cukup untuk mengurangi gejala. Antagonis reseptor leukotrien (montelukast) juga terbukti aman bagi kehamilan, tetapi memiliki risiko gangguan neuropsikiatri.[11]

Manajemen Menjelang Persalinan

Menjelang persalinan, ibu hamil perlu menjalani pemeriksaan fungsi paru dan mendapatkan oksigen bila perlu. Untuk persalinan operatif, anestesi sebaiknya menggunakan anestesi regional untuk mencegah stimulasi berlebih akibat intubasi trakea. Jika terjadi perdarahan pascapersalinan, penggunaan uterotonika atau prostaglandin E2 (PGE2) lebih dipilih daripada PGE karena dapat menyebabkan bronkospasme.[14]

Kesimpulan

Penatalaksanaan asma pada akhir kehamilan disarankan untuk tetap dilanjutkan dengan obat kortikosteroid inhalasi yang telah efektif sejak sebelum hamil dan short acting β-agonists sebagai reliever bila perlu. Penelitian menunjukkan bahwa risiko efek samping obat-obat asma ini lebih kecil bila dibandingkan risiko kontrol asma yang buruk. Selain itu, pada masa akhir kehamilan, proses organogenesis memang sudah tidak terjadi sehingga risiko pada janin juga lebih rendah.

Pasien diminta untuk kontrol rutin setiap 4 minggu dan menghindari pencetus alergi serta asap rokok. Selain itu, dokter juga perlu menangani penyakit penyerta seperti rhinitis dan GERD yang dapat memperburuk asma. Pada akhir kehamilan, terutama menjelang persalinan, ibu disarankan menjalani pemeriksaan fungsi paru. Anestesi regional lebih disarankan agar dapat menghindari intubasi trakea.

 

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi