Diagnosis Rabies
Diagnosis awal yang cepat meningkatkan peluang pencegahan kematian akibat penyakit rabies sebab hal ini membuat post-exposure prophylaxis (PEP) dapat segera dilakukan terhadap pasien dengan riwayat gigitan hewan yang dicurigai penular rabies.
Anamnesis
Dalam anamnesis terhadap pasien yang dicurigai terpapar virus rabies, informasi yang perlu digali antara lain:
- Mekanisme awal paparan virus rabies (gigitan atau cakaran)
- Waktu dan lokasi kejadian
- Jenis hewan yang diduga memaparkan virus rabies (kondisi kesehatan hewan, riwayat vaksinasi rabies, perilaku hewan sebelum terjadi gigitan atau cakaran, dan lokasi terakhir keberadaan hewan)
- Situasi menjelang kejadian gigitan atau cakaran (apakah kejadian cakaran/ gigitan terjadi spontan atau akibat provokasi)
- Lokasi dan jumlah gigitan
- Tindakan awal pertolongan pasca cakaran/ gigitan
- Riwayat penyakit pasien sebelumnya (khususnya terkait kondisi imunosupresif, adanya penyakit pembuluh darah perifer, diabetes, tetanus, dan riwayat vaksinasi rabies)
Periode inkubasi rabies bervariasi antara beberapa hari hingga bertahun-tahun. Namun, sebagian besar pasien mulai menunjukkan gejala dalam kurun waktu 90 hari sejak paparan virus. Informasi yang didapat dari anamnesis dapat membantu mengelompokkan pasien apakah masih dalam fase prodromal atau telah masuk ke fase ensefalitik dan paralitik.
Fase Prodromal
Pada fase prodromal, gejala yang timbul serupa dengan manifestasi infeksi virus lainnya seperti demam, sakit kepala, malaise, serta keluhan pada saluran napas atas dan saluran cerna (batuk, rasa tak nyaman pada perut, mual, muntah). Keluhan neurologis biasanya masih terbatas pada perubahan kepribadian dan fungsi kognitif serta rasa baal pada bekas cakaran atau gigitan. Fase prodromal ini berlangsung antara 4-10 hari dan dapat tumpang tindih dengan fase ensefalitik maupun fase paralitik.
Fase Ensefalitik
Fase rabies ensefalitik ditandai oleh hidrofobia. Hal ini secara khas ditunjukkan dengan refleks iritan pada saluran napas yang dapat dipicu bahkan oleh stimulus berupa gerakan menelan ludah atau sentuhan air pada bibir. Respons yang muncul dapat berupa spasme faring, penggunaan otot sternokleidomastoid dan skaleni, spasme otot-otot wajah, bahu terangkat, dan napas terlihat cepat dan pendek, yang semakin lama intensitasnya terlihat semakin berat. Gejala lain yang dapat ditemukan dari anamnesis pada fase ensefalitik adalah riwayat kejang, aerofobia, dan hiperaktivitas berkala. Gejala biasanya cepat memberat dalam 2-14 hari hingga menyebabkan delirium dan penurunan kesadaran serta berujung pada kematian dalam kurun waktu 1-2 minggu sejak onset fase ensefalitik.
Fase Paralitik
Sebaliknya, fase rabies paralitik tidak menunjukkan manifestasi hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas, maupun kejang. Fase ini diawali dengan paralisis asendens atau quadriparesis simetrik. Paralisis lebih nyata dirasakan pada tungkai yang digigit. Seiring perjalanan penyakit makin memberat, pasien akan mengalami delirium dan jatuh dalam kondisi koma.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada fase prodromal umumnya hanya menemukan demam. Pada fase ensefalitik dan paralitik, baru ditemukan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:
- Demam
- Myoedema (perlambatan relaksasi otot pasca ketukan dengan palu refleks)
- Adanya tanda rangsang meningeal
- Penurunan kekuatan motorik akibat paralisis maupun quadriparesis
- Aritmia jantung dalam berbagai bentuk (takikardi supraventrikuler hingga bradikardi)
- Perubahan pola napas, termasuk hiperventilasi dan pernapasan ataksik
- Disfungsi saraf otonom yang ditandai dilatasi pupil, anisokoria, hipersalivasi, hiperhidrosis, bahkan priapism
Pemeriksaan Luka Gigitan
Luka gigitan harus diperiksa untuk menentukan kategori luka gigitan. Menurut WHO, kategori 1 adalah jika tidak terdapat luka. Luka gores atau lecet yang ringan dikategorikan sebagai kategori 2. Luka yang lebih dalam dikategorikan sebagai kategori 3.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama terhadap penyakit rabies adalah ensefalitis viral. Namun, ensefalitis viral sangat jarang menyebabkan manifestasi aerofobia, hidrofobia, disfagia, parestesia, dan nyeri lokal dibandingkan rabies. Selain itu, tetanus juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding terhadap rabies. Namun, tetanus biasanya tak menyebabkan perubahan pada elektroensefalografi (EEG) maupun analisis cairan serebrospinal seperti pada rabies.
Rabies paralitik juga dapat menyerupai polineuropati inflamatorik akut, mielitis transversa, atau poliomielitis. Pemeriksaan elektromiografi dapat membantu membedakan rabies dari polineuropati. Riwayat nyeri setinggi lesi pada mielitis dan adanya penyangatan di diensefalon pada MRI T2-weighted merupakan faktor pembeda mielitis transversal dari rabies. Pada poliomielitis, demam biasanya sudah selesai ketika terjadi onset gejala neurologis sementara pada rabies, demam dan gejala neurologis umumnya saling tumpang tindih.[6,8,19]
Pemeriksaan Penunjang
Walaupun ada banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis rabies pada manusia secara antemortem, tak ada pemeriksaan tunggal yang cukup dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis rabies. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan mengambil sampel biopsi kulit dari folikel rambut di leher belakang, cairan serebrospinal, air liur, dan darah. Pemeriksaan isolasi virus atau RT-PCR dapat dilakukan pada sampel air liur, sedangkan pemeriksaan antibodi dapat dilakukan terhadap sampel serum dan cairan serebrospinal. Sementara itu, spesimen dari biopsi kulit dapat diperiksa untuk pemeriksaan antigen rabies.
Uji Direct Fluorescent Antibody (dFA)
Uji dFA merupakan pemeriksaan yang didasarkan pada keberadaan antigen protein virus rabies pada jaringan. Mengingat rabies merupakan jenis virus yang dominan ditemukan di jaringan saraf, maka sampel jaringan ideal untuk pemeriksaan antigen rabies adalah jaringan otak. Saat antibodi yang telah berlabel diinkubasi ke dalam jaringan otak yang dicurigai terinfeksi rabies, maka terjadi ikatan antigen dan antibodi. Antibodi yang tak terikat akan tersapu dalam salah satu proses penyiapan spesimen, sedangkan antigen yang terikat antibodi akan terlihat berdasarkan prinsip fluoresensi sebagai area berwarna hijau apel pada mikroskop fluoresens. Jika tak ditemukan virus rabies, maka tak akan ada gambaran fluoresensi di bawah mikroskop (gambar 3)[20].

Gambar 3. Tampilan mikroskopik sampel jaringan otak yang terinfeksi virus rabies berdasarkan pemeriksaan direct fluorescent antibody (A) dan rapid immunohistochemical test (B).[20]
Uji Amplifikasi Virus
Uji amplifikasi virus bertujuan untuk memperbanyak asam nukleat yang berasal dari virus rabies dengan menggunakan metode biokimiawi. Dengan teknik reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), RNA disalin menjadi molekul DNA yang kemudian diperbanyak jumlahnya. Pemeriksaan amplifikasi virus dapat mengkonfirmasi hasil dFA dan mendeteksi keberadaan virus rabies dari sampel liur dan biopsi kulit[19].
Uji Direct Rapid Immunohistochemical (dRIT)
Uji dRIT mengandalkan teknik imunoperoksidase dalam mendeteksi virus rabies. Pemeriksaan dRIT menggunakan antibodi monoklonal antinukleokapsid terhadap virus rabies yang kemudian divisualisasi dengan menggunakan 3-amino-9-etilkarbazol. Pada kondisi ideal, sensitivitas dan spesifisitas dRIT dibandingkan dFA dalam mendiagnosis rabies mencapai 100%. Walaupun pemeriksaan ini memerlukan urutan teknik khusus sebelum hasilnya dapat diinterpretasi, dRIT memiliki kelebihan dibandingkan dFA berupa pemeriksaan yang memerlukan mikroskop cahaya tanpa fluoresens[21]. Pemeriksaan dRIT memiliki potensi penggunaan yang besar pada area urban dengan prevalensi rabies tinggi dengan fasilitas terbatas untuk melakukan dFA.