Penatalaksanaan Rabies
Walaupun terdapat beberapa laporan kasus tentang kesintasan pasca penatalaksanaan rabies dengan protokol tertentu [22–24], tingkat kematian akibat rabies masih sangat tinggi. Meskipun belum ada metode pengobatan standar untuk infeksi rabies, prinsip-prinsip tertentu harus dijalankan untuk mencegah penyebaran infeksi.
Perawatan Klinis pada Pasien Rabies
Perawatan klinis pasien rabies dimulai ketika ada pasien yang kontak dengan hewan yang diduga penular virus rabies. Pasien biasanya masih sadar penuh terutama saat mengalami fase rabies ensefalitik yang ditandai dengan agitasi. Pasien semacam ini memerlukan sedasi yang cukup dalam perawatan di rumah sakit, bila memungkinkan di ruang khusus dengan dukungan fisik dan emosional yang memadai. Morfin dan obat golongan benzodiazepin cukup efektif dalam meredakan agitasi, ansietas, dan spasme yang berat pada pasien dengan rabies ensefalitik. Ketika diagnosis rabies ensefalitik telah tegak, penggunaan prosedur invasif sebaik mungkin dihindari guna mencegah agitasi dan distres pernapasan yang berat. Mengingat tingginya angka kematian pada sebagian besar kasus rabies, tujuan perawatan diarahkan seoptimal mungkin untuk memberikan kenyamanan, dibantu dengan sedasi yang memadai dan menghindari tindakan intubasi atau bantuan hidup ketika diagnosis rabies telah dipastikan.
Profilaksis Pascapaparan (Post-Exposure Prophylaxis, PEP)
Profilaksis pasca paparan pada penyakit rabies terdiri dari perawatan luka segera setelah paparan, pemberian vaksin rabies yang efektif dan poten sesuai rekomendasi WHO, dan pemberian imunoglobulin rabies (sesuai indikasi). PEP harus dilakukan sesegera mungkin dengan mempertimbangkan tampilan klinis hewan yang diduga rabies, riwayat vaksinasi hewan sebelumnya, dan ketersediaan hewan untuk pemantauan dan pemeriksaan laboratorium. Jika hewan yang dicurigai tak dapat ditemukan, PEP harus segera dilakukan dan hanya dapat dihentikan jika telah terbukti melalui pemeriksaan laboratorium bahwa hewan yang dimaksud bebas rabies. Penentuan langkah PEP yang diperlukan masing-masing individu hanya boleh ditentukan oleh dokter yang memiliki pemahaman epidemiologi lokal terkait rabies[10,25].
Penanganan Luka Gigitan
Penanganan luka awal yang disarankan adalah menggunakan air yang dialirkan pada luka dan kemudian luka dibersihkan dengan menggunakan sabun dan air, deterjen, povidon iodin maupun senyawa lain yang memiliki aktivitas virusidal. Jika sabun dan deterjen tak tersedia, gunakan air untuk membersihkan luka secara benar dan menyeluruh. Prosedur lain yang berpotensi memperbesar luka atau menyebabkan kontaminasi luka harus dihindari. Jika terdapat perdarahan aktif, maka luka gigitan sebaiknya ditangani dengan pembalutan luka yang diganti setiap hari, diikuti dengan penjahitan luka sekunder yang diawali terlebih dahulu dengan suntikan imunoglobulin rabies pada luka. Antibiotik dapat diberikan pada luka yang terinfeksi[10].
Setelah dilakukan penanganan luka, pastikan apakah pasien sudah mendapatkan vaksinasi rabies sebelumnya. PEP pada individu yang telah mendapat vaksinasi sebelumnya dilakukan dengan cara memberikan dua dosis vaksin kultur modern yang diberikan pada hari 0 dan hari ketiga pasca paparan. Vaksin booster yang diberikan tersebut tidak harus selalu sama dengan regimen yang diberikan pada imunisasi sebelum paparan. Sementara itu, PEP untuk individu yang belum pernah mendapat vaksinasi sebelumnya terdiri atas pemberian imunoglobulin rabies (rabies immunoglobulin/RIG) dengan dosis 20 IU/kg untuk RIG turunan serum manusia atau 40 IU/kg untuk RIG turunan dari serum kuda disertai injeksi vaksin rabies sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 14 hari, atau 5 dosis dalam kurun waktu 1 bulan untuk pasien yang mengalami imunosupresi.
Apabila memungkinkan secara anatomis, dosis RIG penuh diberikan secara infiltrasi pada sekitar luka. WHO tak lagi menyarankan pemberian sisa dosis RIG secara intramuskuler pada lokasi anatomis yang jauh dari luka[26]. RIG sebaiknya tidak disuntikkan pada jarum suntik yang sama maupun lokasi anatomis yang sama dengan dosis vaksin pertama. Namun, dosis vaksin rabies berikutnya boleh diberikan pada lokasi anatomi yang sama tempat RIG sebelumnya disuntikkan, apabila hal tersebut direkomendasikan secara klinis (misalnya pada m. deltoid pada orang dewasa atau paha anterolateral pada bayi dan anak-anak)[3].Walaupun pemberian RIG telah terbukti bermanfaat dalam memberikan imunisasi pasif dengan menetralisir virus rabies pada luka gigitan, RIG masih sulit untuk tersedia secara memadai pada berbagai wilayah di Indonesia akibat tingginya harga obat tersebut. Hal ini sangat kontras dengan endemisitas penyakit rabies dan tingginya mortalitas akibat rabies di Indonesia[13,14]. Walaupun demikian, kelangkaan RIG pada wilayah endemis sekalipun bukan menjadi alasan tertundanya strategi PEP sebab dengan melakukan pencucian luka yang benar dan efektif disertai vaksinasi segera dan melengkapi regimen PEP, angka kesintasan pasien masih cukup tinggi (> 99%)[3].
Saat perawatan luka, dokter juga harus mewaspadai kemungkinan tetanus. Untuk itu, dokter perlu memberikan profilaksis berupa vaksinasi tetanus toxoid (TT) atau vaksin tetanus dan difteri (Td), dan tetanus immunoglobulin (TIG).
Regimen Imunisasi Pasca Paparan (PEP) Rabies
Regimen vaksin yang diberikan pada skenario PEP dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Status Imunisasi Sebelumnya | Produk Vaksin yang Diberikan | Dosis | Jumlah Dosis | Jadwal Pemberian (Hari Ke-.. Pascapaparan) | Jalur Pemberian |
Belum pernah divaksinasi | RIG plus | 20 IU/kg berat badan | 1 | 0 | Injeksi infiltrasi pada bekas gigitan (bila memungkinkan); selebihnya melalui intramuskuler |
Belum pernah divaksinasi | Vaksin sel diploid manusia atau vaksin sel embrio ayam purifikasi | 1.0 mL | 4 | 0, 3, 7, 14 (+ hari ke-28 untuk pasien imunokompromais) | Intramuskuler |
Pernah divaksinasi | Vaksin sel diploid manusia atau vaksin sel embrio ayam purifikasi | 1.0 mL | 2 | 0, 3 | Intramuskuler |
Selain itu, World Health Organization (WHO) juga mengeluarkan rekomendasi PEP berdasarkan kategori paparan. Bagi individu yang tergolong dalam kategori paparan I, tidak ada langkah PEP yang perlu dilakukan. Untuk individu yang masuk dalam kategori paparan II, vaksinasi harus segera dilakukan. Apabila individu mendapat kategori paparan III, vaksinasi dan pemberian RIG harus segera dilakukan. Jika individu pernah terpapar berulang dan mendapat regimen PEP secara lengkap dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, pemberian vaksin maupun RIG tidak disarankan. Jenis vaksin yang disarankan adalah vaksin rabies yang dibiakkan pada sel embrio ayam purifikasi (PCECV) dengan potensi minimal 2,5 IU per vial[26].
Tabel 2. Langkah PEP berdasarkan Kategori Paparan menurut Rekomendasi WHO tahun 2018
Status Imunisasi | Kategori Paparan 1* | Kategori Paparan 2* | Kategori Paparan 3* |
Belum pernah divaksinasi (segala usia) | Pencucian area kulit yang terpapar dengan air mengalir Tidak perlu PEP | Pencucian area luka disertai vaksinasi segera:
ATAU
ATAU
Pemberian RIG tidak disarankan | Pencucian area luka disertai vaksinasi segera:
ATAU
ATAU
Pemberian RIG disarankan |
Pernah divaksinasi (segala usia) | Pencucian area kulit yang terpapar dengan air mengalir Tidak perlu PEP | Pencucian area luka disertai vaksinasi segera:
ATAU
ATAU
Pemberian RIG tidak disarankan | Pencucian area luka disertai vaksinasi segera:
ATAU
ATAU
Pemberian RIG tidak disarankan |
*Kategori Paparan WHO adalah sebagai berikut:
- Kategori Paparan 1: menyentuh atau memberi makan hewan, hewan menjilat area kulit yang intak (tidak ada paparan)
- Kategori Paparan 2: gigitan ringan pada area kulit yang terbuka, cakaran kecil atau abrasi tanpa disertai perdarahan (terjadi paparan)
- Kategori Paparan 3: gigitan atau cakaran yang dalam, tunggal maupun multipel, kontaminasi membran mukosa atau kulit yang terbuka dengan saliva dari jilatan hewan, paparan akibat kontak langsung dengan kelelawar (paparan berat)
Batas Waktu Pemberian Post-Exposure Prophylaxis
Segala upaya perlu dilakukan guna memastikan kepatuhan pasien untuk melengkapi regimen PEP sesuai jadwal yang direkomendasikan. Ketika vaksinasi telah mulai diberikan, penundaan suntikan vaksin selama beberapa hari tidak menimbulkan perubahan bermakna pada efektivitas vaksin. Walaupun demikian, pengaruh dari penundaan vaksinasi selama beberapa minggu atau lebih masih belum diketahui. Pada sebagian besar kasus pergeseran jadwal vaksinasi, pemberian vaksin tetap dapat dilanjutkan tanpa perlu melakukan perubahan jadwal. Sebagai contoh, bila pasien melewatkan dosis vaksin hari ketujuh dan tiba di klinik pada hari kesepuluh, maka dosis hari ketujuh tetap diberikan pada hari tersebut dan jadwal vaksinasi tetap dilanjutkan seperti biasa dengan menjaga interval dosis sesuai rekomendasi. Namun, apabila pergeseran jadwal terlampau jauh, status kekebalan pasien patut diuji melalui pemeriksaan serologi pada hari 7-14 pasca pemberian dosis vaksin terakhir[3]. Sementara itu, pemberian RIG hanya dianggap bermanfaat apabila dilakukan sebelum hari ketujuh pasca dosis vaksin rabies pertama. Oleh sebab itu, RIG tidak disarankan diberikan setelah lewat 7 hari sejak vaksin pertama mengingat antibodi penetral virus rabies tentu telah mulai bersirkulasi di tubuh pada periode tersebut[26].
Vaksin Rabies yang Tersedia di Indonesia
Jenis vaksin rabies yang tersedia di Indonesia adalah Verorab yang merupakan suatu vaksin rabies yang diproduksi dengan menggunakan sel VERO sebagai medium pertumbuhan virus[27]. Vaksin jenis ini dianggap memiliki efektivitas dan keamanan yang serupa dengan vaksin sel diploid manusia dengan harga yang lebih terjangkau[10]. Selain itu, terdapat juga vaksin sel embrio ayam purifikasi, yaitu Rabipur. Sebagai perbandingan, jenis vaksin rabies yang mendapat izin edar di Amerika Serikat merupakan vaksin sel diploid manusia (Imovax) dan vaksin sel embrio ayam purifikasi(RabAvert).
Perubahan Jenis Vaksin yang Digunakan
Mengingat adanya kemungkinan perbedaan jenis vaksin yang digunakan tiap negara, pemahaman tentang kebijakan jenis vaksin yang berlaku dan mendapat izin edar secara nasional menjadi penting. Sebagai contoh, kebijakan Departemen Kesehatan lokal di Amerika Serikat menyarankan perlunya profilaksis tambahan apabila pasien pernah mendapat vaksin rabies dari sel VERO yang kemudian melanjutkan pengobatan di Amerika Serikat[3]. Sementara itu, rekomendasi terbaru WHO menyatakan bahwa perubahan rute pemberian dan jenis vaksin rabies yang digunakan tak dapat dielakkan. Hal ini masih dianggap wajar dan tidak serta merta membuat rangkaian vaksinasi perlu diulang dari awal[26].
Pencegahan Transmisi Rabies
Cara utama pencegahan transmisi rabies adalah dengan melakukan vaksinasi pada hewan peliharaan, seperti anjing dan kucing. Dengan demikian, transmisi dari hewan ke manusia dapat dicegah. Selain itu, terdapat juga kemungkinan transmisi dari manusia ke manusia melalui transplantasi organ dari orang yang terkena rabies. Untuk itu, prinsip kehati-hatian harus diterapkan sebelum melakukan transplantasi organ dari individu yang meninggal dengan gejala dan tanda neurologis.[11]Mengingat virus rabies dapat ditemukan hampir pada berbagai organ pada fase terminal penyakit ini, pencegahan transmisi rabies melalui pencangkokan organ menjadi hal yang penting dilakukan. Hal ini berawal dari ditemukannya kasus rabies pada beberapa pasien yang mendapat cangkok organ dari individu yang sama[11]. Oleh sebab itu, prinsip kehati-hatian harus diterapkan sebelum memutuskan mencangkok organ dari individu yang meninggal dengan gejala dan tanda neurologis.