Edukasi dan Promosi Kesehatan Rabies
Tindakan edukasi dan promosi kesehatan untuk mencegah penularan rabies mencakup vaksinasi sebelum paparan pada individu yang berisiko tinggi, profilaksis pasca paparan (PEP), serta penerapan protokol penanganan jenazah pasien rabies.
Vaksinasi sebelum Paparan (Pre-Exposure Vaccination)
Vaksinasi sebelum terjadinya paparan virus rabies direkomendasikan bagi individu yang memiliki peningkatan risiko paparan virus rabies yang berkesinambungan akibat perpindahan tempat tinggal atau pekerjaan, misalnya dokter hewan, pekerja di pusat penampungan hewan, maupun petugas laboratorium yang menangani virus rabies dan jenis lyssavirus lainnya. Selain itu, turis yang bepergian ke area dengan prevalensi rabies yang tinggi juga perlu mendapat vaksinasi setelah dilakukan penilaian risiko oleh dokter.
Untuk anak-anak yang tinggal di area yang berisiko tinggi rabies, vaksinasi sebaiknya diberikan secara individu maupun sebagai bagian dari program vaksinasi massal jika persediaan vaksin mencukupi. Walau demikian, hal ini belum dimasukkan dalam regimen vaksinasi anak di Indonesia dan vaksin rabies belum termasuk dalam jadwal vaksinasi IDAI[5,10].
Jenis vaksin yang diberikan untuk manusia adalah vaksin rabies yang dibiakkan pada kultur sel seperti sel diploid manusia, sel Vero, sel embrio ayam primer, atau sel telur bebek yang telah dibuahi. Selain itu, terdapat juga vaksin dari sel otak tikus. Vaksin rabies yang teregistrasi di Indonesia adalah vaksin dari sel embrio ayam (purified chick embryo cell vaccine / PCECV) dan sel Vero (purified verocell rabies vaccine / PVRV)[10].
Vaksin rabies manusia dapat diberikan secara intramuskular maupun intradermal dalam 3 dosis, yakni pada hari 0, 7, dan 21 atau 28. Dosis pemberian vaksin rabies secara intramuskuler adalah 1 mL tiap kali pemberian, sedangkan dosis pemberian intradermal adalah 0,1 mL tiap kali pemberian. Pemberian intradermal merupakan metode terpilih pada area dengan keterbatasan logistik vaksin rabies untuk manusia dengan efektivitas yang sebanding dengan cara pemberian intramuskuler[10].
Profilaksis pasca Paparan (Post-exposure Prophylaxis, PEP)
Dokter harus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pencegahan yang harus dilakukan pasca terjadinya gigitan. Hal yang terpenting untuk diedukasi adalah penanganan pertama luka yang tepat, perlakuan terhadap hewan yang menggigit, serta lokasi fasilitas kesehatan yang bisa memberikan penanganan lebih lanjut. Hewan yang menggigit tidak boleh dibunuh dan harus diobservasi selama 2 minggu untuk memastikan hewan mengalami tanda-tanda rabies atau tidak.
Penanganan Jenazah Pasien Rabies
Jenazah pasien rabies harus mendapat penanganan seperti halnya pasien yang meninggal akibat penyakit menular lainnya, yakni harus mendapat label khusus yang menandakan pasien infeksius. Risiko penularan dari jenazah ke orang lain sangat minimal apabila tindakan pencegahan dilakukan dengan cermat. Virus banyak ditemukan pada jaringan, bukan darah, khususnya pada jaringan saraf dan kelenjar liur. Jika jenazah memerlukan prosedur pengawetan, alat pelindung diri lengkap harus dikenakan. Jaringan dan cairan tubuh yang dikeluarkan dari jenazah harus diperlakukan sebagaimana penanganan organ pada penyakit infeksius lainnya. Jenazah sebaiknya dikubur atau dikremasi dengan baik sesuai kepercayaan masing-masing[10].