Pendahuluan Rabies
Rabies adalah penyakit ensefalitis viral zoonotik yang disebabkan oleh beragam spesies virus neurotropik anggota famili Rhaboviridae. Dengan angka kematian per tahun antara 55.000 hingga 100.000 kasus per tahun, rabies masih merupakan penyakit klasik dengan tingkat kematian yang tinggi dan memiliki dampak ekonomi dan medis yang nyata bagi penderitanya. Salah satu faktor yang berperan terhadap hal ini, terutama di negara berkembang adalah tidak mendapat obat pencegahan pasca paparan (post-exposure prophylaxis, PEP), baik karena ketidaktahuan orang yang tergigit, jauhnya lokasi fasilitas kesehatan, atau ketidaktersediaan PEP[1].
Diagnosis rabies diawali dengan gejala neurologis akut disertai riwayat gigitan hewan liar penular virus rabies (misalnya anjing, kera, kelelawar, sigung, dan rakun). Diagnosis rabies biasanya tidak terlalu sulit jika terdapat kasus akut dengan riwayat gigitan hewan di area yang rendah cakupan imunisasi rabies pada hewan peliharaan. Namun, diagnosis rabies menjadi tantangan tersendiri apabila catatan imunisasi rabies hewan lengkap dan uji laboratorium standar tak cukup dapat diandalkan untuk membedakan rabies dengan ensefalitis viral lainnya. Bahkan, pada sebagian besar kasus rabies yang fatal, diagnosis antemortem dengan menguji sampel kulit, saliva, dan cairan otak untuk pewarnaan imunofluoresens virus rabies sering menjadi jalan keluar guna memastikan penyebab manifestasi ensefalitis akut yang fatal tersebut[2].
Mengingat tingginya angka kematian penyakit rabies dan sulitnya diagnosis rabies ketika gejala ensefalitis muncul, maka PEP menjadi langkah efektif untuk menekan angka kematian akibat rabies. Teknik pembersihan luka yang efektif merupakan dasar pencegahan pertama. Kemudian, PEP dilanjutkan dengan pemberian vaksin dan imunoglobulin rabies[3].
