Penatalaksanaan Tenggelam
Penatalaksanaan pasien tenggelam membutuhkan kemampuan yang spesifik, ketahanan fisik yang baik, dan pelatihan tersertifikasi. Tanpa hal ini, tindakan penyelamatan akan berisiko bagi penyelamat. Penatalaksanaan pasien tenggelam dibagi menjadi empat fase, yaitu: penyelamatan dan resusitasi dalam air, resusitasi ketika berada di darat, penanganan sebelum tiba di rumah sakit, dan perawatan intensif.[9]
Penyelamatan dan Resusitasi dalam Air
Penyelamatan dan resusitasi dalam air adalah tindakan memberikan ventilasi pada korban tenggelam yang masih berada di air. Tujuan dari tindakan resusitasi ini adalah mencegah terjadinya hipoksia serebral. Penyelamat idealnya tidak masuk ke dalam air dan melakukan tindakan penyelamatan dari darat atau perahu.[9]
Ketika meraih pasien dalam air, penyelamat harus mengecek pulsasi. Semua korban tanpa pulsasi harus diekstraksi sesegera mungkin agar bisa dilakukan resusitasi dan ventilasi secara adekuat. Apabila ekstraksi tidak bisa dilakukan segera, maka dapat dilakukan bantuan napas dalam air. Tindakan resusitasi kardiopulmoner tidak dilakukan dalam air karena tidak efektif. Tidak dilakukan fiksasi servikal secara rutin karena insiden trauma servikal yang rendah (0,009%) dan tindakan fiksasi tersebut bisa memperlambat waktu penyelamatan.[9,11]
Resusitasi di Darat dan Manajemen Prehospital
Setelah korban tiba di darat, posisikan kepala dan kaki dalam ketinggian yang sama. Korban harus sesegera mungkin dievaluasi dengan urutan airway, breathing, circulation. Pada tahap ini, penyelamat harus memastikan patensi jalan napas, meningkatkan oksigenasi, menstabilkan sirkulasi, dekompresi lambung, dan penghangatan.[9]
Resusitasi Jantung dan Paru Dilakukan Bila Tidak Ditemukan Pulsasi
Pada korban tanpa pulsasi, dilakukan tindakan resusitasi kardiopulmoner dengan kompresi dada, memastikan patensi jalan napas, dan ventilasi dengan suplementasi oksigen sesuai pedoman advanced cardiac life support (ACLS).
Apabila tidak ditemukan napas spontan, segera lakukan bantuan napas 2 kali hingga dada mengembang, kemudian memeriksa pulsasi. Hingga saat ini, metode terbaik untuk ventilasi dan oksigenasi pada pasien tenggelam belum seragam.[15]
Ventilasi menggunakan bag-valve-mask sebaiknya diberikan pada pasien tidak sadar atau pasien yang tidak dapat mempertahankan patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal membutuhkan alat dan keterampilan sehingga keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada kemampuan dari responder.[15,16]
Kompresi dada dimulai apabila tidak ditemukan pulsasi setelah bantuan napas. Pemasangan alat kejut jantung otomatis dilakukan ketika korban sudah berada di darat, lakukan defibrilasi setelah didapatkan ritme jantung shockable.[15]
Apabila pada pasien ditemukan pulsasi, maka fokusnya adalah penghangatan, memastikan patensi jalan napas, dan oksigenasi adekuat. Bantuan napas diberikan sesegera mungkin dengan 5 kali pernapasan. Evaluasi mulut dan saluran napas dengan jari untuk mengeluarkan benda asing. Oksigen yang diberikan harus dengan konsentrasi tertinggi, idealnya 100% O2 dalam 15 L/menit. Pemeriksaan nadi dilakukan tiap 30 detik pada pasien dengan hipotermia.[1,9]
Manajemen Suhu pada Pasien Tenggelam
Tindakan menghangatkan pasien hipotermia dilakukan setelah tindakan resusitasi awal dilakukan.[16] Pengukuran suhu dilakukan berdasarkan suhu pusat dan tidak menggunakan pengukuran inframerah karena akan menunjukkan hasil yang tidak akurat.[9]
Pedoman penanganan hipotermia adalah sebagai berikut:
- Hipotermia ringan (>34 derajat C): penghangatan pasif (misalnya dengan handuk hangat).
- Hipotermia sedang (30-34 derajat C): penghangatan aktif eksternal (misalnya dengan handung penghangat otomatis, udara hangat, cairan intravena yang dihangatkan, atau water pack hangat)
- Hipotermia berat (<30 derajat C): penghangatan internal aktif. (bilas lambung, tabung penghangat esophagus, cardiopulmonary bypass)[9]
Sebagian besar korban tenggelam akan muntah, dan penyelamat harus bersiap terhadap kemungkinan ini. Melakukan manuver Heimlich tidak direkomendasikan karena berpotensi memperlambat ventilasi dan berisiko aspirasi. Miringkan pasien ke salah satu sisi dan bersihkan muntahan tersebut untuk mencegah aspirasi. Dekompresi lambung bisa dilakukan sebagai tindakan pencegahan, karena sebagian besar korban tenggelam meminum air dalam jumlah yang banyak ketika mencoba bernapas.[9,15]
Pengambilan akses vena tidak secara rutin dilakukan tanpa indikasi, dan penyelamat tidak boleh menunda merujuk pasien untuk mencari akses vena. Pada kondisi dimana terjadi hipotensi yang tidak membaik dengan oksigenasi adekuat, maka dipasang akses vena untuk pemberian cairan kristaloid. Pasien dengan kondisi hipotermia harus diberikan cairan intravena yang dihangatkan dengan suhu 43 derajat C. Penanganan pasien dengan hipotermia harus dilakukan sehati-hati mungkin untuk mencegah gangguan irama jantung.[1,9]
Semua korban yang membutuhkan resusitasi, tidak responsif, dan memiliki dyspnea atau gejala pernapasan lain harus dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi dan pemantauan, meskipun korban tampak sadar penuh. Rujukan ke rumah sakit harus dilakukan sesegera mungkin kecuali apabila pasien dipastikan meninggal atau tindakan resusitasi kardiopulmoner aktif.[9-11]
Perawatan Intensif
Pada pasien dengan GCS >13, pastikan tidak ada cedera pada servikal, memantau saturasi oksigen, dan observasi selama 4-6 jam. Pasien bisa dipulangkan apabila [12]:
- Sudah diobservasi selama 4-6 jam setelah tenggelam
- Tidak ada gejala
- Pemeriksaan paru menunjukkan hasil normal
- SpO2 ≥95%
- Telah diberikan edukasi mengenai keamanan ketika berada dalam air
- Tidak ada risiko keamanan pada pasien
- Telah dilakukan rujukan kepada departemen sosial apabila diperlukan
Pada pasien dengan saturasi <95% setelah periode observasi atau pemeriksaan paru abnormal harus diperlakukan sebagai pasien dengan GCS <13.[9]
Pada pasien dengan GCS <13 atau saturasi oksigen <95% setelah periode observasi, terdapat beberapa yang yang harus dilakukan. Pemberian suplementasi oksigen menggunakan non rebreathing mask dengan konsentrasi tertinggi. Apabila saturasi tetap tidak mencapai target, dipertimbangkan tindakan intubasi dengan pemakaian positive end-expiratory pressure (PEEP).
Salbutamol dan ipratropium nebulisasi bisa diberikan apabila ditemukan spasme. Tindakan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) sendiri bisa dipertimbangkan sebagai terapi terakhir pada pasien dengan kondisi yang tidak stabil, misalnya pasien yang tidak berespon terhadap ventilasi mekanik, hipotermia persisten, dan terdapat kemungkinan fungsi neurologis pasien bisa pulih kembali. Biasanya ECMO diberikan pada kondisi acute respiratory distress syndrome.[1,2,9,10]
Pemberian antibiotik empiris tidak dilakukan tanpa indikasi yang jelas. Hingga saat ini tidak ada penelitian yang menunjukkan kegunaan dari antibiotik empiris pada pasien tenggelam. Trauma ketika tenggelam, iritasi saluran napas, dan hipoksemia bisa menyebabkan leukositosis. Antibiotik dipertimbangkan pada pasien tenggelam dengan demam tinggi persisten, peningkatan produksi sputum, atau berdasarkan hasil kultur bakteri endotrakeal. Untuk membantu pertimbangan pemberian antibiotik, bisa diperiksa kadar prokalsitonin. Penggunaan steroid rutin juga tidak disarankan.[10,11]
Resusitasi Tidak Dilakukan Bila Ditemukan Tanda Pasti Kematian
Resusitasi tidak dilakukan pada korban dengan tanda pasti kematian, misalnya rigor mortis, dekapitasi, atau mayat yang sudah membusuk. Apabila korban tidak sadar tetapi bernapas, korban diposisikan dalam posisi lateral recumbent agar tidak terjadi aspirasi ketika muntah. Target saturasi oksigen arteri adalah minimal 95% dan ventilasi adekuat. Untuk meningkatkan akurasi dari pengukuran saturasi oksigen, pulse oxymeter ditempatkan pada daun telinga atau jidat, karena pada jari akan terjadi vasokonstriksi dan menyebabkan hasil pemeriksaan kurang akurat.[9,11]