Patofisiologi Tenggelam
Patofisiologi dari tenggelam berhubungan dengan dua kejadian, yaitu imersi dan submersi. Faktor pada tenggelam yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas adalah hipoksemia dan asidosis.
Ketika tenggelam, terjadi aspirasi air dalam jumlah yang banyak. Cairan tersebut masuk ke dalam paru-paru dan menghilangkan surfaktan pada alveolus. Hal ini menyebabkan beberapa gangguan, seperti peningkatan permeabilitas membran alveolus, penurunan compliance paru-paru, dan ventilation-perfusion mismatch. Penurunan kadar oksigen dalam darah menyebabkan disfungsi organ, dimulai dari organ dengan kebutuhan oksigen tinggi seperti otak. Hipoperfusi dari otak dalam 2 menit menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, dan dalam 4-6 menit akan terjadi kerusakan otak ireversibel.[1-3]
Selain aspirasi, salah satu hal yang terjadi dalam tenggelam adalah laringospasme. Pada korban tenggelam yang meninggal dengan laringospasme, tidak terjadi atau hanya sedikit terjadi aspirasi air, sehingga disebut juga dry drowning.[1,2]
Imersi Air Panas
Air panas dengan kelembaban tinggi membatasi penguapan dari keringat, terutama apabila hanya ada kepala dan leher di atas permukaan air. Proses berkeringat tetap terjadi di dalam air, sekresi dari kelenjar keringat larut dalam air namun tidak menguap dan tidak berkontribusi dalam pengaturan suhu tubuh. Ketika suhu kulit meningkat, termoreseptor pada saraf sensorik aktif dan terinteraksi dengan pusat regulasi suhu di hipotalamus dan berlanjut pada persarafan otonom eferen yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah kutaneus. Penurunan dari resistensi vaskuler kemudian akan meningkatkan laju nadi.[3]
Dehidrasi yang terjadi akibat sekresi keringat ditambah dengan peningkatan dari laju jantung tersebut berisiko mencetuskan aritmia ventrikel yang diperparah dengan kombinasi vasodilatasi perifer dan peningkatan viskositas darah. Imersi air panas paling berisiko terjadi ketika berendam lama di air panas atau saat meninggalkan bak mandi. Terjadi penurunan tekanan darah akibat hilangnya tekanan hidrostatik saat meninggalkan bak mandi dan ditambah dengan posisi berdiri. Populasi lansia dan orang dengan penyakit jantung lebih rentan terhadap kondisi ini. Pada individu dengan gangguan termoregulasi atau defek genetik, rangsangan taktil akibat suhu air panas dapat mencetuskan refleks kejang.[3]
Imersi Air Dingin
Kejadian tenggelam lebih banyak pada air dingin dibandingkan dengan air tawar. Patofisiologi tambahan pada imersi di air dingin adalah adanya cold shock. Setelah terjatuh ke air tawar, terjadi serangkaian proses yang dicetuskan oleh pendinginan suhu tubuh, saraf superfisial, dan otot, yang kemudian akan berlanjut kepada jaringan organ dalam. Proses ini mulai terjadi pada sekitar suhu 25 derajat C dan memuncak pada suhu 10-15 derajat C setelah imersi selama 30 detik dan berangsung-angsur berkurang dalam 2-3 menit kemudian.[3,4]
Pada saat terjadi imersi di air dingin, paparan air yang dingin pada wajah menstimulasi parasimpatis dan diving response, sedangkan aktivasi reseptor kulit menyebabkan stimulasi simpatis. Stimulasi parasimpatis pada nodus jantung menurunkan denyut jantung atau bradikardia. Sedangkan ketika terjadi penurunan suhu yang mendadak setelah tenggelam, reseptor pada kulit teraktivasi dan bereaksi dengan berusaha menarik napas, peningkatan tonus otot, hiperventilasi, vasokonstriksi perifer, hipertensi, dan peningkatan cardiac output. Reseptor suhu pada perifer bisa secara langsung meningkatkan pusat respirasi melalui stimulasi motor neuron alpha pada spinal. Hal ini meningkatkan metabolisme tubuh, menurunkan kemampuan menahan napas, dan berkontribusi mempercepat proses hipoksia dan hiperkapnia. Konflik antara parasimpatis dan simpatis ini kemudian menyebabkan kondisi aritmia dan disritmia jantung, akibat ketidaksinkronan sinyal kronotropik positif dan negatif di jantung. Aritmia yang terjadi umumnya supraventrikuler dan ritme junctional.[3]
Submersi
Rasa panik ketika tenggelam mengaktivasi sistem persarafan simpatis dan menurunkan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Masih dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai efek panik dan aktivasi simpatis saat tenggelam, namun diketahui bahwa kombinasi dari stressor psikologis dan fisik memperparah cold shock dan menurunkan kemampuan untuk berenang.[3]
Diving response merupakan salah satu mekanisme yang dilakukan tubuh untuk bertahan di bawah air. Diving response bisa diaktivasi baik saat apnea atau paparan air dingin di wajah. Pada reaksi ini, terjadi aktivasi dari persarafan parasimpatis dan simpatis secara bersamaan yang menyebabkan vasokonstriksi perifer, hipertensi, dan bradikardia. Tujuan dari diving response adalah menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan memperlambat desaturasi. Vasokonstriksi hanya terjadi pada perifer, sedangkan aliran arteri karotis meningkat dengan vasodilatasi dan meningkatkan perfusi jaringan otak.[3]
Ketika saluran napas korban berada di bawah air setelah menahan napas, terjadi laringospasme sebagai respon dari masuknya air kepada ororfaring. Laringospasme diduga terjadi secara involunter dan bertujuan untuk mencegah air lebih banyak masuk ke saluran napas, namun mengakibatkan pasien kesulitan bernapas dan menurunkan oksigen dalam darah. Ketika kadar oksigen semakin turun, spasme menghilang dan korban bisa menarik napas kembali. Pada sekitar 10-15% korban tenggelam, laringospasme tetap ada hingga terjadi arrest sehingga pada paru-paru tidak ditemukan air atau dry drowning.[2,3]
Paru-paru merupakan organ yang paling rentan pada kasus tenggelam. Cairan yang teraspirasi bisa bersifat hipertonik dan hipotonik, dan ini mengakibatkan perubahan fungsi surfaktan. Disfungsi dari surfaktan dan masuknya cairan ke interstisial menyebabkan gangguan pertukaran gas dan memperparah hipoksia.[2,3]