Red Flag Benjolan Leher pada Anak

Oleh :
dr. Ferdinand Sukher

Red flags atau tanda bahaya benjolan leher pada anak perlu dikenali untuk menentukan kasus mana yang berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas signifikan. Benjolan leher pada anak sebagian besar merupakan kasus jinak, tetapi kemungkinan keganasan atau kelainan kongenital juga perlu dipertimbangkan.

Benjolan pada leher anak dapat disebabkan berbagai faktor. Struktur anatomi leher memuat berbagai organ, seperti kelenjar getah bening (KGB), tiroid, otot, dan saluran napas. Kelainan pada salah satu struktur dapat menyebabkan gangguan. Penyebab tersering benjolan pada leher anak adalah infeksi. Di Indonesia, kasus infeksi yang perlu dipertimbangkan adalah limfadenitis tuberkulosis. Penyebab lain yang mungkin adalah keganasan atau masalah kongenital.[1-4]

Asian,Boy,Feels,Uncomfortable,With,His,Neck.,Healthcare,Concept.,Isolated

Sekilas Tentang Etiologi Benjolan Leher pada Anak

Secara umum, etiologi benjolan leher pada anak dapat dibagi menjadi tiga, yakni infeksi, neoplasma, dan kelainan kongenital.

Infeksi

Etiologi tersering pada anak adalah infeksi, seperti limfadenopati reaktif atau limfadenitis. Infeksi yang sering menyebabkan limfadenitis adalah infeksi saluran pernapasan akut oleh virus, dengan kemungkinan sumber infeksi lain mencakup tonsilitis, infeksi gigi, dan infeksi virus sistemik seperti mononukleosis infeksiosa.

Meski demikian, salah satu penyebab limfadenitis infeksi di Indonesia yang perlu dipertimbangkan adalah tuberkulosis, terutama pada populasi berisiko atau jika limfadenopati menetap selama lebih dari 4 minggu. Angka kejadian tuberkulosis di Indonesia masih cukup tinggi, tidak terkecuali pada anak. Limfadenitis tuberkulosis terjadi pada 30-40% tuberkulosis ekstra paru.[5,6,12]

Neoplasma

Walaupun kasus kanker pada anak relatif langka, pada anak dengan usia di atas 6 tahun etiologi neoplasma ditemukan lebih banyak dibandingkan pada anak usia lebih muda. Limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, leukemia, karsinoma nasofaring, neuroblastoma, rhabdomiosarkoma, dan keganasan pada tiroid adalah diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan.

Neoplasma biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri pada perabaan, tetapi benjolan akan bersifat kronik dan menetap. Leukemia merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak. Pada kasus sistemik seperti leukemia, didapatkan keterlibatan organ lain seperti hepar dan limpa.[3,6,7]

Kelainan Kongenital

Benjolan leher pada anak juga dapat terjadi akibat kelainan kongenital. Pada kelainan kongenital, biasanya benjolan ditemukan lebih dini dibandingkan akibat penyebab lain. Beberapa kelainan kongenital yang dapat menyebabkan massa pada leher antara lain kista tiroglosal, kista dermoid dan epidermoid, branchial cleft cyst, tortikolis, malformasi atau anomali vaskular, dan kista timus.[3,4,8]

Red Flags Benjolan Leher pada Anak

Red flags atau tanda bahaya benjolan leher pada anak menjadi indikasi evaluasi lebih lanjut dan tata laksana yang lebih agresif. Red flags benjolan leher pada anak antara lain:

  • Benjolan leher persisten ≥ 4 minggu
  • Massa keras atau sulit digerakkan
  • Ada lesi orofaringeal atau suara serak
  • Gangguan pernapasan
  • Nyeri atau sulit menelan
  • Penurunan berat badan
  • Stridor
  • Perburukan cepat
  • Hepatosplenomegali
  • Gejala tuberkulosis seperti batuk persisten, keringat malam hari, riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis, dan gangguan pertumbuhan[6,9,12-14]

Sekilas Tentang Manajemen Pasien dengan Red Flags Benjolan Leher pada Anak

Pendekatan manajemen pasien dengan red flags benjolan leher pada anak yang utama adalah menentukan etiologi. Penatalaksanaan definitif disesuaikan dengan etiologi yang mendasari. Dokter juga perlu memikirkan usia dan aspek tumbuh kembang anak.[1,2,7,8]

Anamnesis

Pada kasus benjolan leher anak, dokter perlu menanyakan periode munculnya benjolan dan progresifitasnya. Evaluasi jumlah benjolan, konsistensi benjolan, dan simetrisitas. Pencetus atau kejadian infeksi yang berdekatan dengan kemunculan benjolan dapat menjadi kunci dalam menegakkan diagnosis.

Gejala penyerta yang dialami oleh anak digali lebih lanjut untuk menentukan etiologi dan keterlibatan sistem organ lain. Gejala yang mungkin ditemukan adalah nyeri pada benjolan, demam, sesak napas, stridor, dan nyeri atau gangguan menelan. Keberadaan red flags menandakan perlunya evaluasi lebih lanjut.[1,2]

Massa serviks pada periode neonatal dan awal masa bayi sebagian besar bersifat kongenital dan dapat disebabkan oleh teratoma, tumor sternokleidomastoid pada masa bayi, dan malformasi vaskular atau limfatik. Sementara itu, massa yang berkembang dengan cepat dapat disebabkan oleh limfadenopati reaktif, limfadenitis, atau infeksi sekunder dari massa kongenital atau neoplasma. Massa yang tumbuh lebih lambat, selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, kemungkinan disebabkan oleh neoplasma jinak atau malformasi kongenital yang membesar secara perlahan.

Kondisi tuberkulosis pada anak biasanya tidak memberikan gambaran yang khas seperti pasien dewasa. Infeksi tuberkulosis pada anak biasanya terlihat dari klinis anak yang cenderung lemas, demam berkepanjangan, dan berat badan turun atau gagal tumbuh.[12]

Gejala prodromal virus, demam, dan nyeri serviks juga merupakan fitur yang konsisten dengan limfadenopati reaktif. Sementara itu, keganasan leher pada anak bisa asimptomatik. Gejala konstitusional, termasuk penurunan berat badan dan gangguan tumbuh kembang, serta gejala anemia atau trombositopenia juga mengarah pada keganasan.[1-3,6]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan lokasi massa leher dapat memandu diagnosis. Massa pada area midline dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, seperti kista tiroglosal atau kista dermoid. Sementara itu, massa pada area tiroid anak lebih berpotensi ganas.

Limfadenopati biasanya muncul sebagai benjolan lateral di segitiga anterior atau posterior. Limfadenopati bisa berkaitan dengan proses inflamasi ataupun neoplastik.

Limfadenitis reaktif biasanya ditandai oleh kumpulan lokal dari benjolan kecil, lunak, dan mudah digerakkan. Di sisi lain, massa akibat keganasan umumnya berbentuk ireguler, keras, dan sulit digerakkan.

Kelenjar limfe serviks yang teraba tetapi berukuran kurang dari 1 cm dapat dianggap normal pada anak. Di sisi lain, ukuran kelenjar limfe yang semakin besar akan semakin meningkatkan risiko keganasan. Perlu pula dicatat bahwa kelenjar limfe yang berukuran lebih besar dari 1 cm dan bertahan selama lebih dari 6 minggu atau meskipun telah diberikan antibiotik harus dipertimbangkan untuk dievaluasi dengan pencitraan atau biopsi jaringan.[3,6,7,9]

Pemeriksaan Penunjang

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat memandu pemilihan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Pemeriksaan radiologi pertama yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan ultrasonografi (USG) area leher. Pemeriksaan USG bermanfaat dalam menentukan ukuran, konsistensi, jenis, mobilitas, dan vaskularisasi benjolan. USG juga bisa digunakan untuk memandu biopsi. Jika diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, penggunaan CT scan atau MRI dapat dipertimbangkan.[1,10]

Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan indikasi dan kecurigaan penyakit pada anak. Di Indonesia, pada pasien yang dicurigai mengalami limfadenopati terkait tuberkulosis, pemeriksaan seperti rontgen dada, mikrobiologi sputum, dan GenXpert dapat dilakukan. Selain itu, pada anak yang dicurigai menderita infeksi, pemeriksaan penanda inflamasi dan serologi yang berhubungan dengan penyebab infeksi dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi.

Pada kondisi kecurigaan neoplasma atau keganasan, dipertimbangkan pemeriksaan biopsi untuk menentukan jenis benjolan berdasarkan jaringan. Melalui pemeriksaan biopsi juga ditentukan ganas atau tidaknya benjolan.[6,11]

Tata Laksana

Tata laksana pada kondisi benjolan leher pada anak dilakukan sesuai dengan penyakit yang mendasari. Pada kondisi adanya permasalahan pada jalan napas, dipertimbangkan keperluan dilakukannya intubasi untuk memastikan patensi jalan napas. Selain itu, pada kondisi gawat darurat, penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan prinsip manajemen gawat darurat.

Tata laksana medikamentosa disesuaikan dengan etiologi dari benjolan. Kondisi inflamasi sistemik mungkin membutuhkan terapi imunosupresan atau imunomodulator. Beberapa kondisi seperti keganasan dan kelainan kongenital memerlukan terapi invasif. Jika terdapat kecurigaan ganas pada benjolan, operasi menjadi terapi yang disarankan.[2,7,8]

Pada limfadenitis tuberkulosis, tata laksana diberikan dengan obat antituberkulosis. Regimen yang digunakan pada limfadenitis tuberkulosis sederhana adalah dengan 2RHZ (rifampicin, isoniazid, pyrazinamide) sebagai fase intensif dan dilanjutkan dengan 4RH (rifampicin, isoniazid). Selama mendapatkan terapi, anak perlu dikontrol rutin untuk diawasi gejala penyakit dan efek samping obat. Selain itu, perlu dilakukan promosi kesehatan tuberkulosis dengan peningkatan capaian vaksinasi BCG.[12,13]

Jika benjolan mengarah pada limfadenitis reaktif akibat infeksi bakteri, dapat diberikan terapi empiris amoxicillin klavulanat, cephalexin, atau clindamycin selama 10 hari. Jika gejala tidak membaik dengan antibiotik atau jika massa menetap lebih dari 4 minggu, pemeriksaan dengan USG dan skrining serologis untuk infeksi atipikal termasuk Mycobacterium tuberculosis perlu dipertimbangkan.[6]

Referensi