Penatalaksanaan Hipertensi Dalam Kehamilan
Tujuan utama penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan adalah kondisi ibu yang aman dan persalinan bayi yang sehat.
Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan Secara Umum
Pada kehamilan normal, MAP (Mean Arterial Pressure) pada perempuan turun 10-15 mmHg selama paruh pertama kehamilan. Mayoritas perempuan dengan hipertensi kronik derajat sedang (sistolik 140-160 mmHg dan diastolik 90-100mmHg) memiliki penurunan yang sama pada tekanan darah dan tidak membutuhkan terapi farmakologis selama periode ini. Sebaliknya, tekanan diastolik >110 mmHg berhubungan dengan peningkatan risiko abruptio placenta dan IUGR sementara tekanan sistolik >160 mmHg meningkatkan risiko perdarahan intraserebral pada ibu. Oleh karena itu, pasien yang hamil harus memulai terapi obat jika tekanan sistolik >160 mmHg atau tekanan diastolik >100 mmHg.
Keberhasilan terapi farmakologis yakni jika tekanan diastolik <100 mmHg dan tekanan sistolik >160 mmHg. Perempuan dengan tanda-tanda klinis kerusakan organ target dari hipertensi kronik harus memulai terapi farmakologis lebih awal yakni ketika TD >139/89 mmHg dengan target penurunan tekanan yang lebih rendah yakni <140/90 mmHg.
Metildopa
Metildopa, suatu agonis reseptor-alfa2, adalah obat yang relatif aman, tetapi antihipertensi ini memiliki aksi onset lambat dan berhubungan dengan kelelahan yang akhirnya membatasi toleransi pasien terhadap obat ini. Dosis awal yang bisa digunakan yakni 3x500 mg per hari dengan dosis maksimal 3 g per hari. Obat pilihan pertama lainnya yakni labetalol.
Labetalol
Labetalolmemiliki aksi dengan onset cepat, dapat diberikan secara oral maupun IV. Namun, di Indonesia tidak terdapat labetalol IV. Dosis awal labetalol oral adalah 10 mg.
Nifedipin
Nifedipin juga menjadi obat pilihan untuk mengobat hipertensi kronik. Dosis nifedipin bervariasi antara 30-90 mg per hari.
ACE-I (Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitor)
ACE-I (Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitor), misalnya captopril, harus dihindari selama kehamilan karena berhubungan dengan disgenesis renal janin atau kematian ketika digunakan pada trimester dua dan tiga dan juga meningkatkan risiko malformasi sistem saraf pusat dan kardiovaskuler ketika digunakan pada trimester pertama.
ARB (Antagonis Reseptor Angiotensin II)
ARB (Antagonis Reseptor Angiotensin II) juga tidak boleh digunakan pada saat hamil karena memiliki mekanisme aksi yang sama dengan ACE-I.
Diuretik
Diuretik tidak menyebabkan malformasi janin, tetapi sangat dihindari saat hamil karena menganggu volume plasma sehingga mengganggu aliran darah utero-plasenta.
Penatalaksanaan Preeklampsia
Penatalaksanaan preeklampsia tergantung dari usia gestasi dan tingkat keparahan penyakit. Persalinan/terminasi adalah satu-satunya terapi definitif untuk pre-eklampsia. Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah kondisi ibu yang aman dan persalinan bayi yang sehat. Pasien dengan preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (preeklampsia berat), induksi sering dilakukan setelah usia gestasi di atas 37 minggu. Sebelumnya, pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mempercepat pematangan paru janin. Pada preeklampsia berat, induksi dipertimbangkan setelah usia gestasi di atas 34 minggu. Pada kondisi seperti ini, beratnya penyakit pada ibu lebih dipertimbangkan dari risiko prematuritas bayi. Pada situasi gawat darurat, pengontrolan terhadap tekanan darah dan kejang harus menjadi prioritas.
Tatalaksana mayoritas pasien dengan preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (bukan preeklampsia berat) dapat dilakukan dengan cara berobat jalan, tetapi tetap dibutuhkan observasi yang ketat terhadap terjadinya perburukan. Pasien dianjurkan untuk melakukan tirah baring dengan posisi miring ke kiri ketika pasien sedang tidur guna menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior sehingga meningkatkan aliran darah ke jantung. Selain pemantauan tekanan darah dan protein urin secara berkala, pemeriksaan nostress test (NST dengan menggunakan CTG) direkomendasikan untuk dilakukan dua kali seminggu sampai persalinan.
Pada preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (bukan preeklampsia berat) dengan kehamilan preterm (<37 minggu), jika tekanan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu hingga aterm. Namun pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Sementara pada pasien dengan pre-eklampsia berat, persalinan/terminasi dipertimbangkan saat usia gestasi sudah lebih dari 34 minggu. Namun, selain pertimbangan usia gestasi, terminasi kehamilan juga dilakukan jika terdapat kondisi sebagai berikut:
-
Pada ibu : terjadi kejang (eklampsia), solusio plasenta, ketuban pecah, sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet count), atau kondisi klinis memburuk
-
Pada janin : adanya tanda-tanda gawat janin, intrauterine growth retardation (IUGR), atau oligohidramnion
Pada preeklampsia berat, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 24 jam. Sedangkan pada eklampsia, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 6 jam sejak kejang timbul.
Obat antikonvulsan
Obat antikonvulsan pada pre-eklampsia yang sampai saat ini masih menjadi pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat: harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%, refleks pattela yang kuat, dan frekuensi pernapasan ≥16x/menit serta tidak ada tanda-tanda distres pernapasan. Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah diazepam dengan catatan bahwa pemberian diazepam sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium sulfat.
Protokol Pemberian Obat Antihipertensi pada Preeklampsia
Obat antihipertensi mulai diberikan pada pre-eklampsia berat dengan tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan pada kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan sodium nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan labetalol IV, obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg. Sementara untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25 mcg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 mcg/kg/5 menit. [4,5,19-22]