Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis multisistemik.[1] Perempuan usia reproduktif memiliki prevalensi yang paling tinggi. SLE memiliki manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor genetik, imunologis, hormonal serta lingkungan berperan penting dalam patofisiologi SLE.[1,2] Berdasarkan data Infodatin 2017, diperkirakan jumlah pasien SLE di Indonesia mencapai 1.250.000 orang.[3]
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan kriteria imunologis. Pedoman yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kriteria berdasarkan American College of Rheumatology tahun 1997 yang sudah direvisi dan divalidasi oleh The Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC).[2] Manifestasi klinis SLE meliputi keterlibatan kulit, mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan sistem saraf pusat dan sistem imun. Kriteria imunologis didasarkan pada hasil pemeriksaan ANA dan anti-dsDNA. Terapi SLE berupa obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, dan disease modifiying drug yang pemberiannya disesuai dengan derajat keparahan penyakit. Diperlukan pemeriksaan secara periodik untuk mengetahui adanya keterlibatan sistem organ lain serta pemantauan respon terapi dan efek samping.[1,2,4-7]

Morbiditas dan mortalitas akibat SLE cukup tunggi. SLE menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan angka kematian.[1] Oleh karena itu diperlukan pengenalan dini serta penatalaksanaan penyakit yang tepat agar prognosis pasien SLE menjadi lebih baik.