Diagnosis Spinal Cord Injury
Diagnosis spinal cord injury atau yang dikenal dengan cedera spinal ditegakkan melalui pemeriksaan menyeluruh meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menggali kejadian dan resiko dari cedera spinal.
Beberapa hal yang ditanyakan saat melakukan anamnesis pada cedera spinal meliputi :
- Mekanisme cedera : kecepatan berkendara, tipe kendaraan bermotor, kelengkapan berkendara.
- Keluhan neurologi : Nyeri tulang belakang, kelemahan tangan dan/atau kaki, perubahan atau hilangnya sensasi pada tangan dan kaki, priapismus, keluhan buang air kecil (inkontinensia atau retensi urine), keluhan buang air besar, bingung atau tidak kooperatif
- Riwayat trauma : riwayat penggunaan alkohol atau dibawah pengaruh obat-obatan, riwayat trauma sebelumnya
- Riwayat penyakit dahulu : Riwayat masalah tulang belakang, riwayat operasi tulang belakang sebelumnya atau kondisi yang menjadi predisposisi instabilitas tulang belakang lainnya seperti osteoporosis.[15]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada cedera spinal dapat diawali dengan primary survey mencakup penilaian jalan napas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation) dan disability (GCS dan lateralisasi).
Cedera spinal perlu diduga dan diberikan perhatian khusus pada pasien. Pada pasien poli trauma dilakukan pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif menggunakan score Glasgow Coma Scale. Skor GCS yang rendah akibat trauma membutuhkan penanganan awal secara menyeluruh. Selanjutnya dilakukan identifikasi pada tulang belakang meliputi nyeri, edema, jejas, serta posisi tulang belakang.
Selanjutnya pemeriksaan neurologi secara detail dilakukan berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale berupa pemeriksaan sensorik, motorik dan rektal (sacral sparing).[2,6,7]
Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik berupa sentuhan ringan (light touch) dan pinprick test. Dilakukan pada 28 dermatom (mulai dari C2 sampai S4-5) pada sisi kiri dan kanan tubuh. Setiap modalitas dinilai secara terpisah mulai dari:
- 0 (absent),
- 1 (terdapat gangguan sensasi atau hiperestesia),
- 2 (normal atau intact)
Total skor maksimal adalah 112 pada masing-masing sisi, kiri dan kanan.[5,6]
Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot pada sepuluh myotom berpasangan (C5-T1 dan L2-S1) dengan skala:
- 0 = Tidak ada kontraksi atau gerakan
- 1 = Gerakan minimal
- 2 = Gerakan aktif, tidak mampu melawan gravitasi
- 3 = Gerakan aktif, melawan gravitasi
- 4 = Gerakan aktif, melawan tahanan
- 5 = Gerakan aktif, melawan tahanan penuh
Kekuatan motorik dinilai dari kekuatan maksimum yang dicapai tanpa melihat seberapa lama kekuatan tersebut dapat dipertahankan. Skor kekuatan motorik maksimal ekstremitas atas dan bawah adalah 50 poin untuk masing-masing sisi tubuh, kiri dan kanan.[2,6]
Pemeriksaan Rektal (Sacral Sparing)
Pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai fungsi motorik dan sensorik pada anal mucocutaneous junction melalui berbagai pemeriksaan sebagai berikut:
- Sensasi perianal terhadap sentuhan ringan (light touch)
- Pinprick test
- Refleks bulbokavernosus (S3 atau S4),
Anal wink (S5)
Rectal tone (pemeriksaan rektal tidak akurat pada pasien trauma yang terintubasi dan dalam pengaruh obat muscle relaxant (seperti vecuronium, rocuronium))
- Retensi atau inkontinensia urine
- [1,2]
American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale

Level sensorik merupakan segmen paling kaudal dari medula spinalis dengan fungsi sensorik yang normal. Begitu juga level motorik, ditentukan dari fungsi motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan motorik setidaknya 3/5.[16]
Level cedera saraf (neurological level of injury/NLI) disimpulkan dari segmen paling kaudal dari medula spinalis yang memiliki fungsi sensorik dan motorik normal pada kedua sisi. Dermatom dan miotom pada bagian kaudal NLI yang masih memiliki fungsi parsial disebut zona preservasi parsial (zone of partial preservation/ZPP).[7] Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap American Spinal Injury Association terganggu (ASIA) Impairment Scale sesuai Tabel 1.[5,6,10,16]
Tabel 1. American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale
A | Complete | Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai segmen S4-5 |
B | Sensory incomplete | Fungsi sensorik masih baik. Tetapi fungsi motorik tidak baik dibawah level neurologi hingga segmen S4-5 |
C | Motor incomplete | Fungsi motorik terganggu dibawah level neurologis dan lebih dari setengah dari otot penanda di bawah NLI memiliki derajat kekuatan otot <3 |
D | Motor incomplete | Fungsi motorik terganggu dibawah level neurologis, dengan setidaknya setengah atau lebih dari setengah dari otot penanda di bawah NLI memiliki derajat kekuatan otot ≥3 |
E | Normal | Fungsi motorik dan sensorik normal |
Penentuan jenis cedera spinal dilakukan setelah resolusi syok spinal. Syok spinal adalah respon fisiologis terhadap trauma yang ditandai dengan depolarisasi inisial dari jaringan aksonal segera setelah cedera.
Selama syok spinal, pasien menunjukkan periode transien flaccid paralysis, arefleksia, termasuk hilangnya refleks bulbokavernosus. Setelah kembalinya refleks ini, pasien dapat dinilai apakah mengalami cedera spinal komplit atau inkomplit. Oleh sebab itu, pemeriksaan lengkap dan bermakna tidak dapat dilakukan pada pasien dengan perubahan atau penurunan tingkat kesadaran atau pada cedera utama yang belum tertangani.[5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding spinal cord injury (cedera spinal) adalah hipotensi pada cedera spinal yang dikaitkan dengan syok hemoragik, syok neurogenik, atau keduanya. Keterbatasan pemeriksaan membuat kedua diagnosis tersebut sulit dibedakan (Tabel. 2) [2,10]
Tabel 2. Perbandingan syok neurogenik dan syok hipovolemik (syok hemoragik)
Syok neurogenik | Syok hipovolemik |
Hipotensi | Hipotensi |
Bradikardi | Takikardi |
Arefleksia | Normo refleks |
Respon terhadap vasopressor | Respon terhadap penggantian volume |
Sumber : dr. Bunga, 2019
Diagnosis banding lain terhadap cedera spinal adalah diseksi aorta, infeksi epidural (spinal epidural abscess) dan infeksi subdural (empiema subdural), hanging injuries dan strangulasi, trauma leher, infeksi medula spinalis, sifilis, dan fraktur vertebra.
Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan pada pasien yang diduga mengalami cedera tulang belakang antara lain myelitis transversal, herniasi diskus intervertebralis akut, dan kompresi medula spinalis ekstradural. [2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada cedera spinal mencakup pemeriksaan laboratorium dan pencitraan seperti CT Scan, MRI, dan foto servikal. Pencitraan memegang peranan penting dalam menentukan level cedera spinal. Indikasi untuk pemeriksaan ini adalah pasien trauma dengan keluhan nyeri leher, nyeri tulang belakang, memiliki tanda atau gejala defisit neurologi yang berhubungan dengan medula spinalis, serta pasien yang sulit diperiksa (penurunan kesadaran, tidak kooperatif, inkoheren, atau intoksikasi).[6,15]
XRay
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menentukan spinal cord injury adalah sebagai berikut:
CT-scan: CT-scan dilakukan pada pasien sesuai Canadian C-spine rule atau terdapat kecurigaan cedera torakal atau lumbosakral yang berhubungan dengan abnormalitas gejala neurologi.
Potongan koronal dan sagital pada CT-scan lebih sensitif dibanding foto polos dalam mendeteksi fraktur spinal, khususnya fraktur pada regio occipitocervical pada cervicothoracic junction. CT angiografi dilakukan untuk menyingkirkan diseksi karotid/vertebral berdasarkan modifikasi kriteria skrining Denver pada blunt cerebrovascular injury.[2,10,15,17]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pada kasus traumatik peran MRI pada kasus akut cedera spinal belum jelas sepenuhnya, tetapi pemeriksaan ini direkomendasikan pada 48 jam pasca trauma pada pasien dengan parestesia untuk menyingkirkan cedera servikal dan melepas collar neck.
Pemeriksaan MRI diindikasikan pada pasien yang memenuhi kriteria National Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS) dan Canadian Cervical-Spine Rule (CCR) dengan kecurigaan adanya myelopathy dan cedera pada ligamen.MRI sagital T2-weighted sequence adalah baku emas dalam evaluasi:
- Kompresi aktif medula spinalis / cedera vaskular : perdarahan, kontusio, iskemia, infark, edema
- Cedera ligamen akut
- Cedera pada posterior ligamentous complex (PLC)
- Cedera diskus intervertebra .[17,18].
Pada kasus non traumatik, penggunaan MRI diperuntukan untuk melihat sebab terjadinya cedera spinal. Seperti :
- Massa pada intradura
- Degenerative disk
- Tumor pada medula spinal
- Penyakit demielinisasi
- Penyakit autoimmune.
Cervical spine X-ray: Foto polos tulang belakang dilakukan dengan posisi AP dan lateral, serta odontoid sebagai tambahan. Berdasarkan Protokol NEXUS, pasien dengan risiko rendah fraktur/subluksasi/dislokasi tidak memerlukan pemeriksaan foto polos servikal.
Kriteria NEXUS tersebut adalah sebagai berikut:
- Tidak ada nyeri pada garis tengah servikal posterior
- Tidak ada intoksikasi
- Status mental normal
- Tidak ada nyeri pada cedera lainnya
- Tidak ada defisit neurologi.
Menurut CCR, pemeriksaan foto polos servikal diindikasikan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti :
- Usia >65 tahun, atau
- Mengalami mekanisme cedera yang berbahaya : Jatuh dari ketinggian > 1 meter,axial load pada kepala saat menyelam, kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi >100 km/jam, rollover, terlempar, kendaraan bermotor rekreasional, kecelakaan sepeda, atau
- Mengalami parestesia pada ekstremitas
- Dan pasien yang tidak mampu melakukan rotasi leher 45o ke arah kiri dan kanan.[6,7,15]
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada cedera spinal antara lain :
- Analisa gas darah dapat digunakan dalam evaluasi oksigenasi dan ventilasi.
- Kadar laktat untuk monitoring status perfusi dalam menentukan terjadinya syok.
- Hemoglobin dan hematokrit awal dan serial diperlukan untuk mendeteksi dan monitoring sumber perdarahan.
- Urinalisis untuk mendeteksi cedera urogenital.[2]
Pemeriksaan ini tidak spesifik pada cedera spinal, tetapi dibutuhkan untuk monitoring cedera spinal selanjutnya.