Penatalaksanaan Spinal Cord Injury
Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada prosedur life-saving sesuai protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS®). Manajemen jalan napas sangat penting terkait komplikasi sistem respirasi yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal dengan insidensi antara 36% hingga 83%, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kapasitas vital, retensi sekret dan disfungsi otonom. Karena hipotensi dan iskemia-reperfusi adalah faktor yang diketahui sebagai cedera sekunder, step B dan C pada protokol ATLS® seperti oksigenasi segera dan penggantian volume secara agresif sangat penting.[6,7]
Persiapan Rujukan
Pasien dengan cedera spinal sebaiknya dirujuk ke rumah sakit dengan trauma center yang kompeten. Rumah sakit harus memiliki kemampuan modalitas neuroimaging dengan ketersediaan ahli bedah ortopedi atau bedah saraf [17,18]
Pada manajemen pre-hospital dianjurkan penggunaan cervical hard collar pada hard backboard terpasang pada pasien dengan tujuan mobilisasi posisi normal vertebra (spinal alignment). Namun, beberapa studi mengemukakan penggunaan cervical collar tidak secara sempurna mengimobilisasi cervical spine (c-spine). Banyak negara maju dengan manajemen pre-hospital yang baik tidak lagi menggunakan cervical hard collar dalam transportasi pasien.
Studi menemukan penggunaan cervical hard collar berkepanjangan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, pressure injury, dan risiko pneumonia aspirasi pada pasien muntah. Dianjurkan imobilisasi cervical spine (c-spine) dilakukan dengan cara meletakan pasien dalam posisi terlentang dengan menggunakan soft head block atau plester dan handuk tergulung. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut penggunaan cervical hard collar, dibandingkan dengan soft head block serta plester dan handuk tergulung untuk manajemen pre-hospital. [19]
Selanjutnya stabilisasi medis berupa pemeriksaan tanda vital, pemasangan NGT, dan pemasangan kateter urine. Imobilisasi pada posisi normal vertebra ( dengan metode log roll adalah protokol standar manajemen pre hospital.[2]
Farmakologis
Tujuan farmakoterapi pada cedera spinal adalah meningkatkan fungsi motorik dan sensorik.
Penggunaan methylprednisolone sebagai terapi utama cedera spinal akut masih kontroversial. Beberapa studi melaporkan adanya efek samping terkait pemberian methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal dan kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of Neurological Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh dilakukan jika efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis.[6]
Pada pasien acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi, pemberian methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti meningkatkan pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera spinal akut. Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB diberikan secara bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan dilanjutkan maintenance 5,4 mg/kkgBB/jam selama 24 jam kemudian. methylprednisolone dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium intraseluler dan menghambat peroksidasi lipid.[6]
Pemberian obat analgetik menjadi modalitas penting dalam manajemen nyeri. Analgetik yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) dalam manajemen nyeri neuropatik terkait cedera spinal adalah pregabalin.[2,6,7]
Pembedahan
Edema dan perdarahan progresif berkontribusi terhadap kerusakan mekanik pada sirkulasi mikrovaskuler. Tindakan dekompresi bedah bertujuan untuk mengurangi tekanan tersebut sehingga mengurangi hipoksia dan edema sekunder.
Indikasi bedah dekompresi ini antara lain jika terdapat gangguan neurologis progresif, fraktur yang tidak bisa dilakukan atau tidak berespon terhadap reduksi tertutup, fraktur vertebra tidak stabil. Tindakan ini dapat dilakukan pada 24 jam pertama.[6]
Rehabilitasi
Rehabilitasi bertujuan untuk mempertahankan mobilitas dan aktivitas sebanyak mungkin serta mencegah cedera lebih lanjut. Rehabilitasi awal antara lain mencegah kontraktur dan hilangnya kekuatan otot, mempertahankan densitas tulang, dan memastikan sistem pernapasan dan pencernaan berfungsi normal.
Pendekatan interdisipliner sangat penting dalam rehabilitasi cedera spinal. Tim dipimpin oleh seorang fisioterapis dan terdiri dari keluarga pasien, fisioterapis, terapis okupasi, ahli gizi, psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial dan spesialis konsultan lain yang diperlukan.[4,8]