Patofisiologi Spinal Cord Injury
Patofisiologi spinal cord injury (cedera spinal) menjelaskan dua mekanisme cedera yaitu cedera primer, kerusakan awal akibat cedera mekanis. Serta cedera sekunder, cedera yang terjadi akibat cedera primer yang ditandai dengan perdarahan, edema, dan iskemia.[8,9]
Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :
- Kompresi
- Distraksi
- Laserasi
- Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah, ataupun membran sel. Kebanyakan, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk terjadinya regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia pada medula spinalis. Fase-fase ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak traumatik.
Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-1β). Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan disfungsi transporter astrosit glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar sitotoksik glutamat. Periode ini dikenal dengan immediate phase, yang dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera. [1,10]
Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
Fase Akut
Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.[9,11]
Fase Subakut/Intermediate
Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera. Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk scar yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga membatasi imunitas sel dan edema.[9,10]
Minggu kedua hingga bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi scar astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.
Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan stabilisasi scar astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi wallerian (degenerasi akson di bagian distal cedera). Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.[7,10]