Diagnosis Keracunan Karbon Monoksida
Diagnosis keracunan karbon monoksida ditegakkan berdasarkan riwayat paparan karbon monoksida (CO), tanda dan gejala klinis, disertai peningkatan kadar karboksihemoglobin (HbCO) darah.[1,2]
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis keracunan karbon monoksida (CO), mengingat gejala klinis yang bervariasi dan non-spesifik. Keracunan CO perlu dicurigai pada korban kebakaran dan pasien dengan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan.
Riwayat medis awal dapat diperoleh dari tim penolong darurat atau berdasarkan pengukuran kadar CO lingkungan oleh petugas pemadam kebakaran. Informasi ini penting untuk mendukung dugaan keracunan CO, terutama bila ditemukan kadar CO lingkungan yang tinggi. Riwayat kehilangan kesadaran, baik sementara maupun berulang, juga perlu ditanyakan karena memiliki implikasi penting terhadap keputusan terapi.[1-3]
Pasien keracunan CO dapat menunjukkan gejala non-spesifik seperti sakit kepala, pusing atau vertigo, mual, muntah, mengantuk, kelelahan, nyeri dada, palpitasi, sesak napas, batuk, nyeri perut, penurunan kesadaran, iritasi tenggorokan, gangguan penglihatan, dan kejang.
Pasien juga bisa mengalami gangguan memori, gangguan gaya berjalan, inkontinensia urin dan feses, perubahan suasana hati, halusinasi, konfabulasi, serta gejala neurologis atipikal hingga koma. Gejala yang muncul dipengaruhi oleh kadar dan durasi paparan CO.[1,2]
Pada anak, tanda dan gejala keracunan CO dapat lebih samar dan tidak spesifik dibandingkan pada orang dewasa. Pada balita, rewel dan kesulitan makan adalah satu-satunya gejala yang dapat terlihat.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus keracunan karbon monoksida ringan-sedang, tanda vital dan temuan fisik mungkin tidak menunjukkan kelainan yang signifikan. Namun, pada kasus keracunan berat, dapat dijumpai takikardi, takipnea, hipotensi atau hipertensi, dan hipertermia.[1,2,6]
Pulse Oximetry Tidak Bermanfaat
Untuk mendeteksi paparan CO, alat pulse oximetry standar (SpO₂) tidak dapat digunakan karena tidak dapat membedakan antara karboksihemoglobin (HbCO) dan oksihemoglobin (HbO2). Pulse oximeter dengan 8 panjang gelombang yang mampu mengukur HbCO dan methemoglobin memang tersedia, namun akurasi alat ini belum cukup untuk menggantikan pemeriksaan HbCO darah.[1,2,5]
Pemeriksaan Organ
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan edema paru non-kardiogenik. Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan perdarahan retina berbentuk nyala api (flame-shaped retinal hemorrhages), vena retina yang tampak merah cerah, papiledema, dan hemianopsia homonim.
Kulit pucat/pallor sering ditemukan saat pemeriksaan, sedangkan temuan klasik berupa kulit berwarna merah cerah (cherry-red) yang sering dikaitkan dengan keracunan CO sangat jarang dijumpai, juga tidak sensitif maupun spesifik.[1,2,6]
Pemeriksaan Neurologi dan Psikiatri
Keracunan akut berat dapat menyebabkan gangguan neuropsikiatrik jangka panjang. Pemeriksaan psikometrik akut dapat digunakan untuk menilai kemungkinan timbulnya post-interval syndrome, yaitu komplikasi neuropsikiatrik yang muncul setelah fase bebas gejala selama sekitar 3 minggu, dengan tingkat keparahan yang bervariasi.
Pemeriksaan neurologi dan neuropsikiatrik dapat menunjukkan emosi labil, gangguan penilaian, penurunan fungsi kognitif, stupor, koma, gangguan gaya berjalan, gangguan gerak, kekakuan, apraksia, agnosia, tic, gangguan pendengaran dan vestibular, gangguan penglihatan, psikosis, dan gangguan memori disertai konfabulasi.[1-3]
Diagnosis Banding
Gejala keracunan karbon monoksida tidak spesifik dan dapat menyerupai berbagai kondisi medis lainnya sehingga dikenal sebagai “the great imitator”. Gambaran klinis keracunan CO dapat disalah artikan sebagai akibat penyakit lain, seperti gastroenteritis, hipoglikemia, dan keracunan akibat penyebab lain.[1,3,6]
Keracunan Sianida
Keracunan sianida dan keracunan karbon monoksida sama-sama dapat menimbulkan gejala hipoksia jaringan tanpa disertai sianosis yang nyata, seperti sakit kepala, pusing, disorientasi, hingga penurunan kesadaran. Namun, pada keracunan sianida sering ditemukan onset gejala yang lebih cepat, bau khas almond pada napas (meskipun tidak selalu terdeteksi), serta adanya asidosis laktat berat yang tidak sebanding dengan kadar karboksihemoglobin.[11]
Infeksi Saluran Pernapasan
Gejala seperti sakit kepala, lemah, mual, dan malaise sering menyerupai keluhan awal keracunan karbon monoksida. Perbedaannya, pada infeksi saluran napas biasanya terdapat demam, nyeri otot, batuk, dan tanda inflamasi sistemik yang jelas, sedangkan keracunan karbon monoksida jarang menimbulkan tanda infeksi dan justru cenderung berhubungan dengan riwayat paparan di lingkungan tertutup.[1,3,6,7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menilai derajat keparahan, serta mengidentifikasi komplikasi yang mungkin terjadi. Pemilihan jenis pemeriksaan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, riwayat paparan, dan kemungkinan organ target yang terlibat.[1,2]
Analisis Gas Darah
Pada keracunan karbon monoksida, analisis gas darah berperan penting untuk mengidentifikasi karboksihemoglobinemia. Analisis gas darah juga dapat menilai kecukupan pertukaran gas dan mendeteksi adanya asidosis metabolik.[1,2]
Pemeriksaan Kadar HbCO:
Identifikasi karboksihemoglobinemia dengan pemeriksaan kadar HbCO darah merupakan pemeriksaan diagnostik utama untuk mengkonfirmasi paparan CO. Kadar HbCO lebih dari 3-4% pada individu non-perokok atau lebih dari 10% pada perokok dianggap abnormal, dan kadar ≥20% pada orang dewasa atau ≥15% pada anak menunjukkan keracunan yang signifikan.
Kadar HbCO mencerminkan paparan CO, namun tidak selalu sejalan dengan derajat keparahan klinis, kecuali pada kadar yang sangat tinggi (>40-50%). Beberapa faktor yang memengaruhi hal ini:
- Konsentrasi HbCO tidak secara langsung menunjukkan jumlah CO yang terikat pada target intraseluler seperti mioglobin atau sitokrom yang juga berperan dalam toksisitas
- Respons klinis pasien bervariasi tergantung pada sensitivitas individu dan adanya komorbid
- Kadar HbCO menurun seiring waktu akibat eliminasi fisiologis dengan waktu paruh 4-5 jam atau lebih cepat jika pasien sudah diberikan oksigen.
Oleh karena itu, pada pasien dengan kadar HbCO yang rendah perlu diperhatikan apakah pasien telah mendapat terapi oksigen atau ada jeda waktu cukup lama sejak paparan.[1-3,5]
Pengambilan Sampel:
Sampel pemeriksaan kadar HbCO darah dapat menggunakan darah arteri (arterial blood gas analysis) maupun vena (venous blood gas analysis) karena distribusi CO yang cepat mencapai keseimbangan di kedua kompartemen. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, pengambilan darah vena umumnya cukup akurat.[1,2]
Analisis gas darah arteri perlu dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis, terutama pada kasus keracunan berat atau pasien yang memerlukan intubasi. Pada keracunan berat, nilai base excess dari analisis gas darah arteri dapat digunakan sebagai indeks prediktif mortalitas dan morbiditas akut, khususnya untuk memperkirakan risiko terjadinya ensefalopati pasca-anoksia.[1,7]
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO₂) sering kali menunjukkan hasil normal karena parameter ini hanya merefleksikan oksigen terlarut dalam plasma yang tidak dipengaruhi oleh CO, sedangkan kandungan oksigen total dalam darah tetap berkurang secara signifikan karena penurunan oksigen yang terikat pada hemoglobin akibat pembentukan HbCO, yang secara normal menyumbang sekitar 98% kandungan oksigen arteri.[2,6]
Pemeriksaan Laboratorium Tambahan
Pemeriksaan laboratorium tambahan dapat dilakukan untuk menilai derajat keparahan, mendeteksi komplikasi, serta mengidentifikasi kemungkinan diagnosis banding atau keracunan campuran. Pemeriksaan laboratorium tambahan yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah dapat menunjukkan hipokalemia dan hiperglikemia pada keracunan CO berat.
- Pemeriksaan fungsi hati dapat menunjukkan peningkatan enzim hati pada keracunan CO berat.
- Pemeriksaan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin membantu menilai fungsi ginjal, terutama bila terdapat risiko gagal ginjal akut akibat rhabdomyolysis non-traumatik, yang dapat dikonfirmasi melalui peningkatan kreatinin kinase dan adanya mioglobinuria pada pemeriksaan urin.
Urinalisis dapat menunjukkan albuminuria atau glikosuria pada paparan CO kronik.
- Pemeriksaan kadar laktat darah dapat menilai derajat keparahan, luaran neurologis, dan menjadi indikator adanya keracunan sianida yang terjadi bersamaan pada kasus kebakaran (kadar laktat darah ≥10 mmol/L).[2,6,7]
Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) dilakukan untuk menilai efek aritmogenik dan iskemik yang dapat terjadi pada keracunan karbon monoksida. Sinus takikardia merupakan kelainan yang paling sering dijumpai. Aritmia dapat ditemukan sebagai akibat hipoksia, iskemia, atau infark miokard. Perubahan iskemik yang baru pada EKG mengindikasikan keracunan yang berat.[1-3]
Rontgen Toraks
Rontgen toraks direkomendasikan untuk pasien dengan keracunan yang signifikan, gejala kardiopulmoner, hipoksia, penurunan kesadaran, pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik, dan pasien yang akan menjalani terapi oksigen hiperbarik. Gambaran ground-glass, perihilar haze, peribronchial cuffing, dan edema intra-alveolar, menunjukkan prognosis yang buruk.[1,2]
CT Scan Kepala
CT scan kepala dianjurkan untuk pasien dengan keracunan yang berat atau jika tidak ada perbaikan status mental. CT scan digunakan untuk menilai adanya edema serebral dan lesi fokal, yang umumnya berupa lesi dengan densitas rendah pada basal ganglia. Temuan positif pada CT scan dapat menjadi prediktor komplikasi neurologis.[1,2]
MRI Kepala
MRI dapat digunakan sebagai evaluasi lanjutan untuk mendeteksi lesi fokal dan demielinisasi materi putih (white matter) secara lebih detail. Pada pasien dengan gejala neurologi, dapat ditemukan perubahan degeneratif simetris, terutama pada nukleus basal dan materi putih subkortikal, yang mana temuan ini menunjukkan prognosis yang buruk.[1,2]