Pedoman Penanganan Keracunan Akut Karbon Monoksida – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr. Novita

Pedoman penanganan keracunan akut karbon monoksida dipublikasikan oleh American College of Emergency Physicians (ACEP) pada awal tahun 2025. Pedoman ini berfokus utamanya pada penggunaan terapi oksigen hiperbarik untuk penanganan keracunan akut karbon monoksida. Panel peninjau dari ACEP mengevaluasi bukti ilmiah terbaru untuk melakukan pembaruan atas rekomendasinya terdahulu.

Dalam pedoman ini, hanya ditemukan 4 penelitian baru yang membahas tentang manfaat dari terapi oksigen hiperbarik pada penanganan keracunan akut karbon monoksida. Dari keseluruhan bukti yang dievaluasi disimpulkan bahwa basis bukti terkait terapi oksigen hiperbarik masih inkonklusif, sehingga penggunaannya sebaiknya pada kondisi selektif saja.[1]

Penanganan Keracunan Akut Karbon Monoksida

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Topik Keracunan Akut Karbon Monoksida
Tipe Penatalaksanaan
Yang Merumuskan

American College of Emergency Physicians (ACEP)

Tahun 2025
Negara Asal Amerika Serikat
Sasaran Dokter Jaga IGD, Dokter Spesialis Saraf

Keracunan karbon monoksida terjadi akibat proses pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna. Penyebab umum mencakup paparan asap kendaraan bermotor di ruang tertutup, malfungsi atau kerusakan pada peralatan rumah tangga seperti generator atau kompor, kebakaran rumah, serta uap dari beberapa jenis cat.

Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau dan tidak berwarna. Molekul karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan oksigen, sehingga menyebabkan hipoksia pada organ-organ target. Penatalaksanaan utama adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi untuk menggantikan karbon monoksida, sehingga terapi awal harus diberikan menggunakan masker non-rebreather dengan aliran 15 L/menit.

Penting untuk dipahami bahwa oksimeter tidak dapat membedakan antara HbCO dan HbO₂, sehingga pasien dengan hipoksia akibat keracunan karbon monoksida dapat menunjukkan saturasi oksigen yang tampak normal di pulse oximetry.[1]

Penentuan Tingkat Bukti

Pedoman ini didasarkan pada tinjauan sistematik dengan analisis kritis terhadap literatur medis yang memenuhi kriteria inklusi. Pencarian dilakukan di PubMed, SCOPUS, Embase, Web of Science, dan Cochrane Database of Systematic Reviews oleh peneliti. Istilah pencarian dan strategi yang digunakan ditinjau ulang oleh peneliti. Semua pencarian dibatasi pada studi pada manusia yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Setiap studi dievaluasi secara independen untuk menilai risiko bias dan diklasifikasikan menurut kekuatan bukti (Kelas I–III atau X). Rekomendasi kemudian disusun berdasarkan kualitas bukti yang tersedia dan dikategorikan ke dalam Level A, B, atau C. Proses ini mengikuti standar pelaporan PRISMA dan mencakup tinjauan internal, eksternal oleh ahli, serta periode komentar terbuka sebelum finalisasi.[1]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Pedoman ini berfokus pada keunggulan terapi oksigen hiperbarik (HBO₂) dibandingkan oksigen normobarik (NBO) dalam memperbaiki efek neurologis jangka panjang pada kasus keracunan karbon monoksida pada pasien dewasa. Pedoman ini ditargetkan untuk pasien dewasa dengan keracunan akut di bawah 24 jam, sehingga tidak berlaku untuk populasi anak, ibu hamil, pasca paparan kronis, atau datang setelah lebih dari 24 jam setelah paparan.[1]

Adakah Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik pada Kasus Keracunan Akut Karbon Monoksida?

Tinjauan panel peneliti ACEP menyimpulkan bahwa bukti yang mendukung superioritas terapi oksigen hiperbarik masih terbatas. Meskipun tidak ditemukan cukup bukti untuk memberikan rekomendasi Level A atau B, ACEP tetap mempertahankan rekomendasi Level C untuk mempertimbangkan penggunaan terapi oksigen hiperbarik pada kasus tertentu dengan risiko tinggi mengalami sekuele neurologis.

  • Rekomendasi Level C: Terapi oksigen hiperbarik dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala keracunan karbon monoksida, tergantung pada tingkat keparahan dan ketersediaan fasilitas.[1]

Kapan Terapi Oksigen Hiperbarik Bisa Dipertimbangkan?

Menurut pedoman ini, terapi oksigen hiperbarik dapat dipertimbangkan pada pasien dengan keracunan karbon monoksida yang bergejala, terutama jika menunjukkan tanda-tanda keracunan berat. Indikasi potensial meliputi:

  • Kehilangan kesadaran
  • Gejala neurologis signifikan
  • Kadar karboksihemoglobin tinggi (≥25%)
  • Paparan yang lama
  • Temuan abnormal pada pemeriksaan pencitraan otak.

Namun, perlu diketahui bahwa pedoman ini juga menyebutkan bahwa keputusan pemberian terapi oksigen hiperbarik juga harus mempertimbangkan ketersediaan fasilitas, jarak dan waktu transportasi ke pusat hiperbarik, serta risiko potensial seperti barotrauma, toksisitas oksigen, atau perburukan klinis selama perjalanan.[1]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Sampai saat ini, belum ada pedoman tata laksana keracunan karbon monoksida yang baku di Indonesia, sehingga adaptasi terhadap pedoman internasional seperti yang dirilis ACEP menjadi acuan penting bagi praktik kedokteran gawat darurat. Meski demikian, rekomendasi pada pedoman ACEP ini mirip dengan rekomendasi pedoman lain dari Jerman.

Menurut pedoman di Jerman, terapi oksigen hiperbarik dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan tanda keracunan karbon monoksida berat, seperti gangguan kesadaran menetap, asidosis metabolik, insufisiensi respiratorik, iskemia jantung, serta pada semua kasus kehamilan terlepas dari gejala klinis. Rekomendasi ini dibuat meskipun kualitas bukti dianggap rendah karena heterogenitas studi.

Lebih lanjut, pedoman Jerman menetapkan bahwa terapi oksigen hiperbarik harus dimulai dalam waktu 6 jam setelah paparan, dan tidak disarankan bila lebih dari 24 jam telah berlalu. Pedoman tersebut juga merekomendasikan regimen terapi yang spesifik, yakni 3 sesi terapi hiperbarik dalam 24 jam, dengan tekanan awal 3.0 bar selama 90 menit, diikuti dua sesi berikutnya dengan tekanan ≥2.4 bar.[2]

Kesimpulan

Pada tahun 2025, American College of Emergency Physicians (ACEP) mengeluarkan pedoman klinis penanganan keracunan akut karbon monoksida. Dalam kasus keracunan karbon monoksida, tata laksana awal adalah pemberian oksigen dengan masker non-rebreather untuk mencegah hipoksia jaringan. Perlu diwaspadai pula bahwa pasien dengan keracunan karbon monoksida bisa menunjukkan saturasi yang normal karena pulse oximetry tidak dapat membedakan antara HbCO dengan HbO₂.

Pedoman ACEP 2025 ini lebih berfokus membahas mengenai penggunaan terapi oksigen hiperbarik dalam tata laksana kegawatdaruratan keracunan akut karbon monoksida.  Rekomendasi utama yang perlu diperhatikan dalam pedoman ini adalah:

  • Meski hasil bukti yang ada masih inkonklusif, ACEP menyatakan bahwa terapi oksigen hiperbarik bisa dipertimbangkan untuk kasus tertentu, seperti keracunan karbon monoksida dengan gejala berat.

Referensi