Diagnosis Azoospermia
Diagnosis azoospermia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan genitalia, analisis semen, pemeriksaan hormon, dan pemeriksaan penunjang lain jika diperlukan.
Anamnesis
Pada pasien yang datang dengan keluhan infertilitas, perlu dilakukan anamnesis menyeluruh kepada kedua pasangan. Pada pasien laki-laki, perlu ditanyakan mengenai faktor risiko yang dimiliki serta kemungkinan penyebab dengan mengetahui riwayat:
- Pekerjaan, paparan toksin lingkungan
- Onset pubertas
- Kesuburan sebelumnya, fungsi ejakulasi
-
Masalah pada testis, seperti trauma, torsio testis, cryptorchidism, orkitis
- Operasi: operasi pelvis, inguinal, skrotum, dan vasektomi
-
Penyakit seperti infeksi saluran kemih, dan gondongan/mumps
-
Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, sirosis, gagal ginjal kronik
- Keganasan dan pengobatan yang didapatkan (kemoterapi, radioterapi)
- Penggunaan obat-obatan gonadotoksik seperti simetidin, nitrofurantoin, penghambat kanal kalsium[1,4]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi habitus pasien. Persebaran rambut abnormal, ginekomastia, dan postur eunochoid menunjukkan adanya defisiensi testosteron dan gangguan hormonal seperti hiperprolaktinemia, abnormalitas rasio estrogen dan testosteron, disfungsi adrenal, atau sindrom genetik. Pasien yang memiliki ekstremitas panjang dan tidak proporsional dengan anggota tubuh lainnya menunjukkan keterlambatan penutupan epifisis akibat defisiensi testosteron pada masa pubertas.
Pemeriksaan Genital
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan genital. Pada inspeksi, perlu diperhatikan kurvatura penis, hipospadia, dan luka operasi. Pada palpasi skrotum dilakukan pemeriksaan ada tidaknya testis, ukuran, konsistensi dan kesimetrisan testis kanan dan kiri. Ukuran testis dewasa normal adalah 4x3 cm atau sekitar 20 ml. Pasien dengan volume testis yang kecil berpotensi mengalami gangguan spermatogenesis. Pada pasien dengan azoospermia nonobstruktif biasanya volume testis kecil, tidak lebih dari 15 ml.
Selanjutnya, dilakukan palpasi epididimis untuk melihat adanya pembesaran, indurasi dan kista. Palpasi dilanjutkan ke korda sprematikus untuk memeriksa ada tidaknya vas deferens dan varikokel. Untuk memeriksa varikokel derajat rendah perlu dilakukan manuver Valsava. Untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus ejakulatorius, dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk memeriksa ada tidaknya kista di garis tengah prostat (mengarah pada diagnosis kista duktus Mullerian), indurasi, dan nyeri tekan pada prostat (mengarah pada diagnosis prostatitis).[1,2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari azoospermia adalah kelainan sperma lainnya seperti:
-
Oligospermia = <15 juta spermatozoa/mL
-
Astenozoospermia = <32% spermatozoa motil
-
Teratozoospermia = <4% bentuk spermatozoa yang normal[6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk azoospermia berupa analisis semen, pemeriksaan kadar hormon, pencitraan, biopsi testis, dan pemeriksaan genetik.
Analisis Semen
Analisis semen merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi kondisi infertilitas pada pria. Pemeriksaan semen dilakukan berdasarkan standar WHO tahun 2010. Batas bawah hasil pemeriksaan analisis semen yang normal dapat dilihat pada tabel 1.[3]
Parameter | Batas bawah |
Volume semen (mL) | 1,5 (1,4-1,7) |
Jumlah sperma total (106 per ejakulat) | 39 (33-46) |
Konsentrasi sperma (106 per mL) | 15 (12-16) |
Motilitas total (PR+NP, %) | 40 (38-42) |
Motilitas progresif (PR, %) | 32 (31-34) |
Vitalitas (spermatozoa yang hidup, %) | 58 (55-63) |
Morfologi sperma (bentuk normal, %) | 4 (3,0-4,0) |
Konsensus Lainnya | |
pH | >7,2 |
Leukosit peroksidase positif (106 per mL) | <0,1 |
Pemeriksaan Opsional | |
Tes MAR (spermatozoa motil dengan dengan partikel ikatan, %) | <50 |
Tes immunobead (spermatozoa motil dengan bound beads, %) | <50 |
Zinc seminal (µmol/ejakulat) | >2,4 |
Fruktosa seminal (µmol/ejakulat) | >13 |
Glukosidase netral seminal (µmol/ejakulat) | >20 |
MAR = Mixed antiglobulin reaction; PR = progressive; NP = non-progressive
Tabel 1. Batas bawah hasil analisis semen. Sumber: WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and Sperm-Cervical Mucus Interaction, 2010.
Analisis dilakukan pada semen yang diperoleh setelah 2-7 hari abstinen. Apabila hasil analisis normal maka pemeriksaan hanya dilakukan 1 kali. Observasi sperma diawali dengan pemeriksaan pada sediaan basah. Apabila pada sediaan basah tidak ditemukan adanya sperma, pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan setrifugasi sampel pada kecepatan 3000 g selama 15 menit dan dilihat dengan mikroskop menggunakan pembesaran 200x. Apabila sperma tetap tidak ditemukan maka analisis semen harus diulangi lagi dengan jarak pemeriksaan 2 minggu.[1,6]
Komposisi utama dari cairan semen adalah hasil produksi dari vesika seminalis. Pasien azoospermia yang memiliki volume semen yang normal kemungkinan mengalami obstruksi setinggi vasa atau epididimis atau mengalami gangguan spermatogenesis. Sedangkan pasien azoospermia dengan volume semen yang rendah namun volume testis yang normal kemungkinan mengalami disfungsi ejakulasi ataupun obstruksi duktus ejakulatorius. Pasien ini memerlukan pemeriksaan urin pasca ejakulasi untuk menyingkirkan adanya aliran balik ejakulat ke kandung kemih.[1]
Pemeriksaan Kadar Hormon
Pemeriksaan kadar hormon direkomendasikan pada semua pasien dengan infertilitas dan diutamakan untuk pasien yang memiliki gejala gangguan endokrin seperti ginekomastia, dan ukuran testis yang kecil. Pada umumnya hasil pemeriksaan testosteron dan FSH disertai dengan gejala klinis dan hasil analisis semen dapat digunakan untuk menentukan etiologi azoospermia.[1,2]
Apabila kadar testosteron rendah, perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon lain seperti LH, prolaktin dan estradiol. Pada pasien dengan azoospermia obstruktif dapat ditemukan kadar LH, FSH dan testosteron yang normal, sedangkan pada pasien dengan azoospermia nonobstruktif, kadar LH dan FSH dapat meningkat pada kegagalan testis primer sedangkan pada kegagalan testis sekunder kadar LH dan FSH menurun.[1,2]
Pencitraan
Modalitas pencitraan yang umumnya digunakan adalah ultrasonografi skrotum, dan ultrasonografi transrektal. Ultrasonograsi skrotum merupakan modalitas pencitraan lini pertama untuk mengukur volume testis, dan memeriksa mikrovaskularisasi testis. Ultrasonografi transrektal digunakan untuk mendiagnosis obstruksi duktus ejakulatorius dan hanya dilakukan pada pasien dengan volume semen yang sedikit.[1,6]
Biopsi Testis
Biopsi testis dilakukan untuk membedakan etiologi dari azoospermia. Hasil biopsi testis yang normal ditemukan pada azoospermia obstruktif. Sedangkan pada azoospermia nonobstruktif, spermatogenesis masih dapat ditemukan tersebar di lokus tertentu pada 50-60% pasien. Pada kondisi ini, sperma yang ditemukan sebaiknya sekaligus diambil dan dikriopreservasi untuk digunakan pada ICSI.[1,6]
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik penting untuk dilakukan terutama pada pasien dengan azoospermia disertai dengan kelainan lain. Konseling dan pemeriksaan genetik dapat memberikan informasi mengenai penyebab, pola penurunan dan akibat dari kelainan genetik yang terjadi. Hal ini kemudian dapat menjadi pertimbangan pasien dan pasangan dalam menentukan keputusan medis berikutnya.[6,9]
