Diagnosis Delirium
Delirium sering kali tidak terdiagnosis (underdiagnosis). Suatu review menyatakan bahwa pada tahun 2015, sekitar 60% delirium tidak terdiagnosis.[7] Berdasarkan DSM-5 kriteria diagnosis delirium adalah:
-
Gangguan atensi (yaitu penurunan kemampuan untuk mengarahkan, memfokuskan, mempertahankan, dan mengubah atensi) dan kesadaran/awareness.
- Perubahan kognitif (misalnya defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, atau gangguan persepsi) yang tidak disebabkan demensia sebelumnya atau perkembangan demensia.
- Gangguan biasanya berkembang dalam periode singkat (beberapa jam hingga hari) dan cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
- Ditemukan bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bahwa gejala disebabkan respons fisiologis akibat kondisi medis, intoksikasi zat, penggunaan obat-obatan, atau lebih dari satu penyebab. [3]
WHO juga mengeluarkan kriteria diagnosis, yaitu International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems.[7]
Anamnesis
Gejala delirium disebabkan oleh dekompensasi fungsi otak akibat stresor.[4] Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis. Anamnesis gejala dilakukan pada keluarga atau care-giver karena pasien sering kali tidak kooperatif.[1,2]
Gejala delirium dapat dibagi menjadi hipoaktif, hiperaktif, dan campuran. Delirium hiperaktif ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik, agitasi, marah, atau euforia. Gejala ini lebih mudah dikenali dan berpotensi membahayakan. Sementara itu, delirium hipoaktif menunjukkan gejala penurunan aktivitas motorik, cemas, mudah dan mudah lelah. Tipe hipoaktif lebih sulit dikenali dan sering didiagnosis sebagai depresi.[2,11]
Gejala utama delirium adalah gangguan atensi dan kognitif. Gejala muncul dalam beberapa jam hingga hari dan dapat bertahan beberapa bulan, serta berfluktuasi dalam satu hari. Kadang, pasien mengalami fase prodromal yang ditandai dengan kelelahan, gangguan tidur, depresi, cemas, iritabilitas, dan sensitif terhadap suara atau cahaya.[3,4,6]
Atensi
“Attention/atensi” merupakan istilah yang digunakan di DSM-5. Sementara itu, DSM-IV menggunakan terminologi “consciousness/kesadaran”. Gangguan atensi pada DSM-5 diartikan sebagai kesulitan untuk memfokuskan, mempertahankan, dan mengubah konsentrasi. Mudahnya pasien delirium terdistraksi saat berbicara merupakan contoh bentuk gangguan atensi.[3,4,6,11]
Kognitif
Gangguan kognitif yang dapat dialami pasien delirium meliputi:
- Kehilangan ingatan
- Disorientasi
- Kesulitan berbicara (misalnya disfasia dan disartria)
- Gangguan berbahasa (misalnya menulis, membaca, dan kemampuan berbahasa asing)
- Gangguan visuo-spasial
- Gangguan persepsi (misalnya halusinasi dan waham) [3,4,11]
Gangguan motorik
Tremor adalah salah satu bentuk gangguan motorik pada delirium. Pasien yang mengalami hiperurisemia dapat menunjukkan gejala asterixis.[2]
Aktivitas
Pasien delirium dapat mengalami penurunan atau peningkatan aktivitas, perubahan nafsu makan, dan gangguan tidur.[9]
Perilaku sosial
Contoh gangguan sosial pada pasien delirium adalah tidak kooperatif, menarik diri, perubahan dalam berkomunikasi, dan perubahan mood.[9]
Pemeriksaan Fisik
Saat ini, sudah banyak instrumen untuk membantu menegakkan diagnosis delirium. Berikut adalah instrumen yang sering digunakan:
-
Diagnosis delirium
-
Confusion Assessment Method (CAM): instrumen yang paling sering digunakan dengan sensitivitas 94–100% dan spesifisitas 90–95%
-
Delirium Symptom Interview (DSI)
-
-
Diagnosis delirium di ICU
-
Confusion Assessment Method for Intensive Care Unit (CAM ICU)
-
Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC)
-
-
Derajat keparahan delirium
-
Delirium Rating Scale-Revised-98 (DRS-98)
-
Memorial Delirium Assessment Scale (MDAS) [2,6,11]
-
Selain itu, pemeriksaan status mental dan tanda vital harus dilakukan.[2] Meskipun penting, pemeriksaan fisik secara menyeluruh sulit dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik difokuskan untuk mencari kemungkinan penyebab delirium.[6]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding delirium adalah :
Demensia
Demensia merupakan salah satu faktor risiko delirium. Sebaliknya, delirium juga menjadi faktor risiko dan tanda mulai terjadinya demensia. Gejala yang saling tumpang tindih membuat keduanya sulit dibedakan. Selain itu, delirium dan demensia sering terjadi bersamaan pada pasien lansia.[2,6,12]
Berdasarkan DSM-5, diagnosis demensia tidak dapat ditegakkan pada pasien yang mengalami delirium. Perbedaan mencolok keduanya adalah waktu munculnya gejala. Perubahan kesadaran dan kognitif pada delirium terjadi akut dalam beberapa hari. Sementara pada demensia, gejala terjadi hingga bertahun-tahun.[2,12]
Status Epileptikus Nonkonvulsi
Status epileptikus nonkonvulsi adalah perubahan perilaku dan mental yang akut. Gejala yang sering muncul adalah gerakan involunter pada wajah, nistagmus, afasia, dan automatisasi (misalnya gerakan mengunyah). Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dapat membedakan status epileptikus nonkonvulsi dan delirium.[6]
Depresi
Sekitar 42% pasien delirium hipoaktif terdiagnosis sebagai depresi. Pasien depresi kadang dapat menunjukkan gejala kognitif, namun kesadaran dan atensi masih normal.[2]
Skizofrenia
Pada delirium dapat muncul gejala psikosis yang biasanya berupa halusinasi visual yang mendadak dan berfluktuasi. Sementara itu pada skizofrenia, gejalanya lebih lama.[2,6]
Bipolar
Delirium hiperaktif dengan agitasi, waham, dan gangguan psikotik dapat menyerupai fase mania pada bipolar. Namun, pada bipolar ditemukan riwayat mania atau depresi sebelumnya.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis, melainkan untuk mencari etiologi delirium.[2,6]
Laboratorium
Tabel 1. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada delirium[2,6]
Darah perifer lengkap | InfeksiAnemia |
Serum elektrolit | Ketidakseimbangan elektrolit |
Kadar gula darah | Hipoglikemia atau hiperglikemiaKetoasidosis diabetik Keadaan hiperosmolar |
Tes fungsi hati | Gagal hati |
Tes fungsi ginjal | Gagal ginjal |
Analisa gas darah | Asidosis atau alkalosis |
Kadar hormon tiroid | Hipotiroid |
Urinalisis | Infeksi saluran kemih |
Tes narkoba (darah dan urine) | Penggunaan obat-obatan terlarang |
Selain itu, dapat dilakukan tes yang spesifik infeksi mikroorganisme tertentu, seperti HIV dan sifilis.[2]
Pencitraan
Foto rontgen dada dapat memperlihatkan infeksi paru-paru dan gagal jantung kongesti.
CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan stroke, perdarahan, hematom, dan kelainan struktur otak lainnya.
EEG digunakan untuk membedakan delirium dan status epileptikus nonkonvulsi.[1,2]
Tes Lainnya
Pulse oximetry untuk mengetahui keadaan hipoksia.
Elektrokardiografi (electrocardiography/ECG) untuk mendiagnosis aritmia dan penyakit jantung iskemik.
Lumbal pungsi untuk mengetahui adanya infeksi di sistem saraf pusat dan perdarahan subaraknoid.[1,2]