Patofisiologi Delirium
Hingga saat ini, patofisiologi terjadinya delirium masih belum diketahui dengan jelas. Setidaknya ada enam mekanisme yang diperkirakan terlibat.[5]
Neuroinflamasi
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma) dapat menginduksi sel parenkim otak untuk melepaskan sitokin inflamasi. Akibatnya, terjadi disfungsi neuron dan sinaps. Pada pasien delirium, ditemukan peningkatan kadar CRP, IL-6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan IL-8.[5,6]
Neuronal Aging
Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada otak, yaitu penurunan aliran darah dan densitas vaskular; berkurangnya neuron; perubahan pada sistem transduksi sinyal; serta perubahan neurotransmiter pengatur stres (stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium. Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan kelompok lansia mengalami delirium saat mengalami distres.[5]
Stres Oksidatif
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau kerusakan jaringan) akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga ketersediaan oksigen dalam darah menurun. Tubuh melakukan kompensasi dengan menurunkan metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi otak yang menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga memicu terbentuknya oksigen dan nitrogen reaktif yang memperparah kerusakan jaringan otak. Kerusakan ini bersifat menetap dan menyebabkan komplikasi berupa penurunan kognitif permanen.[5]
Perubahan Neurotransmiter
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmiter, terutama asetilkolin dan dopamin.[2,5]
Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar ini kembali normal setelah pasien tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan antikolinergik (penghambat asetilkolin) terbukti dapat menyebabkan delirium.[2,5]
Dopamin
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal (berlawanan). Terjadi peningkatan kadar dopamin pada delirium. Pemberian obat golongan penghambat dopamin juga dapat mengurangi gejala delirium.[2,5]
Neurotransmiter Lain
Serotonin meningkat pada ensefalopati hepatik dan delirium septik. Agonis serotonin (obat golongan halusinogen) juga dapat menyebabkan delirium.[2,5]
Glutamat dalam kadar tinggi berhubungan dengan kejadian delirium. Pada beberapa kondisi, misalnya hipoksia dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+. Akibatnya, terjadi pelepasan glutamat berlebihan yang merusak neuron.[5]
Pada delirium, terjadi perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan histamin. Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan, tergantung penyebab delirium.[5]
Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut akibat kadar kortisol yang tinggi. Hormon ini berhubungan dengan peningkatan sitokin proinflamasi di otak dan kerusakan neuron. Hipotesis neuroendokrin juga menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang mendapat glukokortikoid eksogen.[5]
Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas dan fisiologi tidur. Kekurangan tidur dapat memicu munculnya delirium, defisit memori, dan psikosis.[5]
Melatonin adalah hormon pengatur siklus sirkadian. Suatu studi menunjukkan adanya hubungan antara kadar melatonin yang rendah dan kejadian delirium. Studi lain mengatakan bahwa pemberian melatonin eksogen pada pasien rawat inap mengurangi insiden delirium.[1,5]
