Pendahuluan Dementia
Menurut World Health Organization (WHO), dementia adalah sindrom yang ditandai dengan disorientasi ingatan/memori, proses berpikir, perilaku, dan penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sindrom ini bersifat kronik dan progresif. Hampir seluruh penderita dementia adalah populasi lanjut usia (lansia). Meskipun demikian, sindrom ini bukan bagian dari proses penuaan yang normal. [1]
Dementia diperkirakan terjadi pada 50.000.000 orang di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi dementia diperkirakan mencapai 1.000.000 kasus pada tahun 2013. Mayoritas kasus (50–70%) disebabkan oleh penyakit Alzheimer. Etiologi dementia yang lain yang sering ditemui adalah penyebab vaskular, penyakit badan Lewy, dan atrofi lobus frontotemporal. Faktor risiko utama yang berhubungan dengan dementia adalah usia tua.[1,2]
Diagnosis dementia ditegakkan berdasarkan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5). Pada tahap anamnesis, dapat ditemukan gejala defisit kognitif berupa gangguan atensi kompleks, fungsi eksekusi, kemampuan belajar, ingatan/memori, bahasa, persepsi motorik, dan sosial. Anamnesis biasanya dilakukan pada keluarga atau caregiver. Untuk membantu diagnosis, dapat digunakan tes neuropsikologis standar, yaitu mini mental state examination (MMSE), Montreal Cognitive Assessment (MoCA), Alzheimer’s Disease Assessment Scale-Cognitive Section (ADAS-Cog), dan Mattis Dementia Rating Scale (MDRS). [3,4]
Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan untuk mengetahui penyebab dementia dan membedakan dementia dengan diagnosis banding yang lain. Diagnosis banding dementia yang tersering adalah delirium, mild cognitive impairment (MCI), dan depresi.[4]
Penatalaksanaan dementia terdiri dari terapi etiologi dementia dan terapi untuk mengatasi sindrom dementia itu sendiri. Terapi untuk dementia dibagi menjadi terapi farmakologis dan non-farmakologis. Selain penatalaksanaan yang sesuai, edukasi kepada keluarga dan caregiver juga penting dalam menangani kasus dementia.[5]