Epidemiologi Delirium
Epidemiologi delirium secara nasional di Indonesia belum diketahui. Secara global diperkirakan prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10-40%.
Global
Delirium sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap. Prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 10–40%. Pada pasien lansia pasca operasi, prevalensinya adalah 30–50%. Sementara itu, sekitar 80% pasien ICU yang memakai ventilator mengalami delirium.[8] Hampir 20% pasien yang menjalani perawatan jangka panjang mengalami delirium.[9] Namun, prevalensi delirium di luar rumah sakit cukup rendah, hanya 1–2%.[1]
Indonesia
Data prevalensi dan insiden delirium di Indonesia masih belum ada. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2004 mengatakan bahwa prevalensi delirium di ruang rawat inap geriatrik adalah 23%. Penelitian lainnya pada tahun 2012 mengatakan insiden delirium sebesar 18,8%.[,]
Mortalitas
Berbagai penelitian membuktikan bahwa delirium meningkatkan mortalitas. Laju mortalitas pasien delirium yang dirawat adalah 9–34,5%. Dibandingkan kelainan neuropsikiatri lainnya, delirium memiliki mortalitas yang lebih tinggi dalam setahun pertama setelah pasien keluar dari rumah sakit (52,2% vs 29,9%, p = 0,01; hazard ratio = 1,7). Mortalitas yang lebih tinggi terjadi pada pasien lansia pascaoperasi.[8,10]
Delirium berhubungan dengan periode rawat inap yang lebih panjang, kejadian komplikasi, peningkatan biaya, dan disabilitas jangka panjang. Komplikasi berupa penurunan kognitif permanen sering dijumpai pada pasien delirium yang dirawat di ICU. Selain itu, gangguan psikiatri menetap lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami delirium saat dirawat.[2,8]