Penatalaksanaan Delirium
Dua tujuan utama penatalaksanaan kasus delirium adalah menangani gejala delirium dan mencari serta mengobati etiologinya. Keduanya harus dilakukan secara bersamaan.[6]

Algoritma 1. Prinsip tata laksana delirium. (karya dr. Paulina diadaptasi dari: J. Francis, G. B. Young, Diagnosis of delirium and confusional states, 2014).
Pendekatan non farmakologis merupakan lini pertama untuk mengatasi gejala delirium. Asupan cairan dan nutrisi harus diperhatikan karena pasien berisiko mengalami dehidrasi atau malnutrisi. Tata laksana farmakologis dapat diberikan jika pasien berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain, mengganggu terapi utama, atau muncul gejala psikosis.[6]
Terapi Non Farmakologi
Agitasi ringan dapat diatasi dengan terapi non-farmakologi sebagai berikut:
- Menghentikan konsumsi obat antikolinergik dan zat psikoaktif.
- Melakukan reorientasi sederhana menggunakan jam, kalender, atau foto keluarga. Reorientasi juga dapat dilakukan secara verbal dengan bercerita pada pasien.
- Mengajak keluarga pasien untuk menenangkan pasien secara verbal.
- Memperbaiki siklus dan kualitas tidur.
- Menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sebaiknya, pasien tidak terlalu sering berpindah ruang rawat.
- Fiksasi fisik sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan agitasi serta menyebabkan imobilitas, ulkus dekubitus, dan aspirasi.
- Pasien tidak boleh dibiarkan sendiri karena berpotensi membahayakan diri sendiri. [1,2,6]
Selain mengatasi delirium, keadaan umum pasien perlu dijaga melalui langkah berikut:
- Memberikan asupan cairan dan nutrisi yang cukup
-
Meningkatkan mobilisasi dan range of motion (ROM)
- Mencegah kerusakan kulit
- Mengatasi nyeri, rasa tidak nyaman, dan inkontinensia
- Mengurangi risiko pneumonia aspirasi. [6]
Medikamentosa
Terapi farmakologis dapat diberikan pada kasus agitasi berat yang dapat mengganggu terapi utama atau berpotensi melukai diri sendiri maupun orang lain. Gejala psikosis berat seperti halusinasi dan waham juga merupakan indikasi terapi farmakologis. [2,6]
Antipsikotik
Golongan antipsikotik dapat mengatasi agitasi dan gejala psikosis. Meskipun dapat meringankan gejala delirium, antipsikotik tidak selalu memperbaiki prognosis. Haloperidol sudah lebih awal digunakan dibandingkan antipsikotik generasi kedua. Meskipun demikian, haloperidol dosis tinggi (>4,5 mg/hari) lebih sering menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.[2,6]
Haloperidol dosis rendah (0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan, dosis maksimal 5 mg/hari) diberikan secara per oral, intramuskular, atau intravena. Antipsikotik generasi kedua yang dapat diberikan adalah risperidon (0,5–3 mg, setiap 12 jam), olanzapin (2,5–15 mg, sekali sehari), dan quetiapin (25–200 mg, setiap 12 jam). Ketiganya diberikan secara per oral.[6,12]
Benzodiazepin
Benzodiazepin dapat digunakan untuk delirium yang disebabkan oleh withdrawal alkohol atau benzodiazepin. Obat yang menjadi pilihan adalah lorazepam 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan secara per oral atau intravena.[2,6,12]
Antikolinesterase
Pemberian antikolinesterase inhibitor masih menjadi kontroversi. Secara teori, gejala delirium disebabkan oleh penurunan aktivitas kolinergik. Namun, penelitian menunjukkan bahwa manfaat antikolinesterase inhibitor pada delirium tidak konsisten.[2,6]
Obat lainnya
Obat lain yang dapat diberikan pada penatalaksanaan delirium adalah:
- Ramelteon merupakan agonis reseptor melatonin. Obat ini dapat memperbaiki siklus dan kualitas tidur sehingga mengurangi gejala delirium. Ramelteon diberikan 8 mg secara per oral, 30 menit sebelum tidur.[14]
- Tiamin (B1) dapat diberikan pada ensefalopati Wernicke. Dosis yang dianjurkan adalah 100 mg (IV), dilanjutkan dengan 50–100mg/hari (IV atau IM).[2]
- Sianokobalamin (B12) dapat diberikan untuk delirium yang disebabkan kekurangan B12.[2]