Penatalaksanaan Preeklampsia
Penatalaksanaan preeklampsia tergantung dari usia gestasi dan tingkat keparahan penyakit. Persalinan/terminasi adalah satu-satunya terapi definitif untuk preeklampsia. Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah kondisi ibu yang aman dan persalinan bayi yang sehat. Pada pasien dengan preeklampsia tanpa tanda-tanda preeklampsia berat, induksi sering dilakukan setelah usia gestasi 37 minggu. Sebelumnya, pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mempercepat pematangan paru janin. Pada preeklampsia berat, induksi dipertimbangkan setelah usia gestasi di atas 34 minggu. Pada kondisi seperti ini, beratnya penyakit pada ibu lebih dipertimbangkan dari risiko prematuritas bayi. Pada situasi gawat darurat, pengontrolan terhadap tekanan darah dan kejang harus menjadi prioritas.
Perawatan Pre-Rumah Sakit
Perawatan Pre-Rumah Sakit untuk pasien hamil dengan dugaaan preeklampsia terdiri dari:
- Pemberian oksigen via face mask
- Pemasangan akses intravena
- Monitor jantung
- Transportasi pasien dengan posisi miring kiri
- Kewaspadaan terhadap kejang
Tatalaksana mayoritas pasien dengan preeklampsia tanpa tanda bahaya (bukan preeklampsia berat) dapat dilakukan dengan cara berobat jalan, tetapi tetap dibutuhkan observasi yang ketat terhadap terjadinya perburukan. Namun, pada beberapa kasus pasien juga dapat dirawat di rumah sakit. Tirah baring total sudah tidak direkomendasikan lagi pada pasien dengan preeklampsia. Selain karena efektivitasnya yang rendah, tirah baring justru menjadi faktor risiko terjadinya tromboembolisme. Sebaiknya lebih dianjurkan untuk melakukan tirah baring dengan posisi miring ke kiri ketika pasien sedang tidur guna menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior sehingga meningkatkan aliran darah ke jantung. Selain pemantauan tekanan darah dan protein urin secara berkala, pemeriksaan nostress test (NST dengan menggunakan CTG cardiotocography) direkomendasikan untuk dilakukan dua kali seminggu sampai persalinan.
Induksi Persalinan
Pada preeklampsia tanpa tanda-tanda severitas (bukan preeklampsia berat) dengan kehamilan preterm (<37 minggu), jika tekanan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu hingga aterm. Namun pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk dilakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Sementara pada pasien dengan preeklampsia berat, persalinan/terminasi dipertimbangkan saat usia gestasi sudah lebih dari 34 minggu. Namun, selain pertimbangan usia gestasi, terminasi kehamilan juga dilakukan jika terdapat kondisi sebagai berikut:
- Pada ibu :
- Kejang (eklampsia)
- Solusio plasenta
- Ketuban pecah dini
- Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated liver enzymes, Low platelet count)
- Perburukan kondisi klinis memburuk
- Pada janin :
- Adanya tanda-tanda gawat janin
- IUGR (Intrauterine growth retardation)
- Oligohidramnion
Pada preeklampsia berat, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 24 jam. Sedangkan pada eklampsia, persalinan/terminasi harus terjadi dalam 6 jam sejak kejang timbul.
Medikamentosa
Medikamentosa atau obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan preeklampsia adalah magnesium sulfat dan obat antihipertensi.
Magnesium Sulfat
Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih menjadi pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asteilkolin pada rangsangan neuron dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan magnesium).
Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut:
- Dosis Inisial
- 4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit
- Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara melarutkan 15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6 jam
- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit.
- Dosis Rumatan
Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat (RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan
Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi, yaitu:
- Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi tanda-tanda intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10% yang dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml aquades, diberikan secara IV dalam 3-5 menit
- Refleks pattela pasien normal
- Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan kejang, magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda preeklampsia berat sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia dengan kejang (eklampsia).
Alternatif Antikonvulsan
Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah diazepam.
Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama 2 menit. Jika kejang berulang dapat diulang sesuai dosis awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40 mg diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam.
Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi pernapasan (Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa pemberian diazepam sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium sulfat.
Antihipertensi
Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan pada kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan sodium nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan labetalol IV, obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah nifedipin.
Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg.
Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25 μg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5 menit.
Perawatan Pascapersalinan
Preeklampsia akan berakhir setelah persalinan. Namun, masih dibutuhkan observasi yang ketat pascapersalinan karena tekanan darah yang masih tinggi dan kemungkinan terjadinya kejang pascapersalinan (mayoritas terjadi 24 jam pascapersalinan walaupun ada juga yang terjadi 48 jam pascapersalinan). Oleh karena itu, profilaksis kejang dengan magnesium sulfat harus dilanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan.
Pemeriksaan hitung trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus tetap dilakukan secara berkala sampai pasien keluar dari rumah sakit. Jarang terjadi, seorang pasien mengalami peningkatan level enzim hati, trombositopenia, dan insufisiensi renal lebih dari 72 jam pascapersalinan. Jika pasien akan dipulangkan dengan obat antihipertensi, penilaian ulang terhadap tekanan darah harus dilakukan, setidaknya 1 minggu setelah keluar dari rumah sakit. Kecuali pada pasien dengan hipertensi kronik, tekanan darah akan kembali normal dalam waktu maksimal 3 bulan pascapersalinan. [6,10,14,15]