Fitness to Fly pada Gangguan Kardiovaskular

Oleh :
dr.I.B. Komang Arjawa, Sp.JP, FIHA

Penentuan fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah sesuatu yang harus dikuasai dokter. Seiring peningkatan usia populasi dan perbaikan kemampuan untuk merawat individu dengan penyakit kardiovaskuler, maka meningkat pula pasien yang melakukan perjalanan udara.

Sebuah studi observasional mengenai kegawatan medis selama penerbangan menunjukkan angka insiden kejadian medis mencapai 1,6 untuk tiap 100.000 penumpang. Studi ini juga melaporkan bahwa 8% kegawatan medis selama penerbangan disebabkan oleh kelainan jantung, dimana henti jantung menjadi penyebab utama kematian saat penerbangan dan perubahan penerbangan.[1]

Fitness to Fly pada Gangguan Kardiovaskular-min

Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler kronis, yang menjadi perhatian utama adalah timbulnya dekompensasi akut pada saat penerbangan. Sementara itu, kejadian akut karena penyakit kardiovaskuler selama penerbangan cenderung didominasi oleh adanya gejala aritmia atau kecurigaan sindrom koroner akut.[2]

Perubahan Fisiologis Penerbangan dan Efeknya Pada Sistem Kardiovaskuler

Berbagai faktor mempengaruhi kondisi kardiovaskuler selama penerbangan meliputi penurunan tekanan atmosfer, penurunan kelembapan, ekspansi gas, imobilitas yang panjang, serta peningkatan stres fisik dan emosional. Ketinggian penerbangan dihubungkan dengan penurunan 65–85% tekanan udara atmosfer dan 60–90% penurunan tekanan parsial dari oksigen yang dihirup dibandingkan pada tingkat ketinggian laut.

Hipoksemia dapat menimbulkan berbagai efek pada sirkulasi. Hal ini meliputi vasodilatasi lokal koroner, vasokonstriksi pada pembuluh darah paru, peningkatan tekanan arteri paru dan juga peningkatan denyut nadi, tekanan darah sistemik, kontraktilitas miokard dan cardiac output.[1]

Imobilisasi berkepanjangan selama penerbangan dengan adanya tekanan dari tempat duduk pesawat dan stasis vena yang berkelanjutan juga meningkatkan risiko penumpang mengalami deep vein thrombosis dan kejadian tromboembolisme lainnya. Hal ini telah lama diketahui menjadi komplikasi selama penerbangan, terutama penerbangan durasi panjang pada pasien yang memiliki faktor predisposisi lain seperti riwayat kejadian tromboembolisme sebelumnya, insufisiensi vena, dan status hiperkoagulasi.[1,3]

Kelayakan Terbang Pada Pasien dengan Gangguan Kardiovaskuler

International Aviation Transport Association menyarankan maskapai penerbangan agar memastikan penumpang mendapatkan medical clearance bila memiliki salah satu kondisi ini:

  1. Menderita penyakit yang diduga menular secara aktif
  2. Memiliki kemungkinan berbahaya atau menimbulkan ketidaknyamanan pada penumpang lain karena kondisi fisik atau perilaku
  3. Memiliki risiko potensial membahayakan atau mengubah penerbangan, termasuk kemungkinan perubahan arah terbang atau pendaratan tidak terjadwal
  4. Tidak mampu menjaga dirinya sendiri dan membutuhkan pendampingan khusus
  5. Memiliki kondisi klinis yang dapat mengalami perburukan pada kondisi lingkungan penerbangan.[3,4]

Secara umum, penumpang dengan kondisi kardiovaskuler baik akut maupun kronis dapat masuk pada kategori ke-4 dan 5. Oleh karenanya, berbagai panduan dan konsensus menyebutkan kondisi kardiovaskuler yang merupakan kontraindikasi absolut untuk penerbangan mencakup:

  • Infark miokard tanpa komplikasi dalam rentang waktu 2 minggu terakhir

  • Infark miokard dengan komplikasi dalam rentang waktu 6 minggu terakhir
  • Angina tidak stabil

  • Gagal jantung akut
  • Penyakit katup jantung berat yang bergejala
  • Aritmia supraventrikular atau ventrikular yang tidak terkontrol
  • Operasi bypass jantung dalam rentang waktu 2 minggu terakhir

  • Penyakit jantung sianosis akut, termasuk sindrom Eisenmenger
  • Hipertensi yang tidak terkontrol

  • Diseksi aorta tipe A yang belum mendapat tindakan

  • Henti jantung teresusitasi akibat aritmia yang belum terpasang implantable cardioverter-defibrillators (ICD) dengan ejeksi fraksi ventrikel kiri persisten < 35 % tanpa penyebab yang bisa dikoreksi dalam rentang waktu 6 bulan.[3,4]

Pasien Dengan Penyakit Jantung Iskemia

Chronic coronary syndrome (CCS) merupakan subset dengan prevalensi tertinggi dari manifestasi penyakit jantung iskemia. Panduan dari berbagai asosiasi tidak secara spesifik merekomendasikan stress testing rutin pada pasien dengan CCS. Akan tetapi, adanya perburukan atau munculnya tanda iskemia baru meski sudah dengan terapi, menjadi tanda diperlukannya evaluasi kardiovaskuler lebih lanjut dan penundaan rencana penerbangan.[3]

Infark Miokard

Panduan kelayakan terbang pada pasien pasca infark miokard akut disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pasien infark miokard berusia di bawah 65 tahun, yang telah berhasil di reperfusi, tanpa komplikasi dan rencana tindakan lainnya, serta ditunjang dengan fraksi ejeksi jantung >50%, dinyatakan dalam kelompok tanpa komplikasi. Kelompok pasien ini dinyatakan layak untuk terbang 1 minggu pasca serangan bila dengan trombolisis atau terapi obat–obatan saja; atau 3 hari pasca serangan bila mendapat angioplasti.

Pasien dengan komplikasi ringan  adalah pasien dengan fraksi ejeksi 40-50%, dengan gejala ringan. Kelompok pasien ini dapat diperkenankan untuk terbang setelah 10-14 hari pasca serangan.

Pasien dengan komplikasi sedang meliputi pasien dengan ejeksi fraksi < 40 %, dan gejala sedang. Kelompok pasien ini hanya diperkenankan terbang untuk kebutuhan medis setelah 4-6 minggu dengan mempertimbangkan perlunya pendampingan medis.

Pasien infark miokard dengan komplikasi berat, seperti adanya komplikasi mekanis atau aritmia berulang, tidak diperkenankan untuk terbang dan membutuhkan konsultasi khusus dengan spesialis jantung dan ahli kesehatan penerbangan.[3,4,7]

Pasien Pasca Operasi Jantung

Secara umum, panduan merekomendasikan aman untuk terbang setelah 10–14 hari usai pembedahan jantung terbuka, seperti operasi bypass jantung, perbaikan atau penggantian katup, ataupun operasi aorta. Sementara itu, pada intervensi struktural perkutan, meliputi edge to edge mitral/tricuspid repair, penutupan defek septum atrium (ASD) atau ventrikel (VSD) tanpa komplikasi dapat melakukan penerbangan setelah 1 minggu selesai tindakan.

Pertimbangan lain yang perlu mendapat perhatian adalah kenyamanan pasien. Pasien pasca operasi jantung disarankan tidak membawa barang berat. Hal ini yang mungkin membuat pasien mengalami kesulitan selama perjalanan. Sangat disarankan untuk mendapatkan bantuan darat pada penerbangan 10 hari hingga 6 minggu pasca operasi jantung.[3-5]

Pasien dengan Aritmia dan Alat Pacu Jantung

Pasien dengan takiaritmia akut dan berulang tidak diijinkan untuk menjalani penerbangan non esensial. Sedangkan pasien dengan atrial fibrilasi paroksismal tanpa gejala, dapat tetap melakukan penerbangan dengan membawa pill in the pocket (flecainide/propafenon).[3]

Alat Pacu Jantung

Pasien dengan bradiaritmia yang memenuhi kriteria pemasangan pacu jantung, seperti sick sinus syndrome dan AV blok derajat tinggi tidak diijinkan melakukan penerbangan hingga dilakukan implantasi pacu jantung.[3]

Pasien yang baru menjalani prosedur pemasangan alat pacu jantung permanen, biventrikular, dan implan defibrillator dinyatakan layak terbang 2 hari pasca tindakan. Pemasangan alat pacu melalui vena subklavia bisa berakibat pada terjadinya pneumothorax. Pasien harus dinyatakan bebas pneumothorax pasca tindakan untuk layak terbang. Pemeriksaan rontgen toraks pasca tindakan dapat dilakukan untuk menyingkirkan pneumothorax. Selain itu, terdapat konsensus bahwa aman untuk menjalani penerbangan komersial 2 minggu setelah pneumothorax teratasi.[3,6]

Pasien dengan Gagal Jantung

Pada kondisi gagal jantung terkontrol, penumpang dengan kondisi fungsional stabil (NYHA I dan II) dalam 4–6 minggu sebelum penerbangan, dapat dinyatakan layak untuk terbang. Pasien dengan gagal jantung kronis NYHA III memerlukan pertimbangan khusus apakah memerlukan pendampingan medis dan oksigen suplemental selama penerbangan, sedangkan pasien gagal jantung kronis NYHA IV sebaiknya menunda perjalanan tidak esensial dan mesti mengkonsultasikan dengan spesialis jantung dan ahli kedokteran penerbangan.

Pada kondisi gagal jantung akut, pasien tidak diperkenankan untuk terbang dan membutuhkan evaluasi 6–8 minggu fase pemulihan sebelum menjalani evaluasi ulang kelayakan terbang.[3]

Pencegahan Tromboemboli Vena

Perjalanan udara telah dinyatakan sebagai faktor risiko untuk munculnya tromboemboli vena. Risiko tromboemboli vena dinyatakan meningkat dua kali lipat setelah penerbangan lebih dari 4 jam.

Stratifikasi risiko didasarkan pada lamanya penerbangan yang ditempuh. Pada penerbangan yang kurang dari 6 jam, rekomendasi terbatas pada menghindari stasis seperti melakukan pergerakan selama di kabin, menghindari penggunaan artikel pakaian yang menekan pinggang dan kaki, serta menjaga hidrasi dengan minum adekuat dan menghindari alkohol dan kafein.[8,9]

Pada penerbangan yang lebih dari 6 jam dengan risiko rendah, seperti tidak ada riwayat kejadian tromboembolisme vena, obesitas, dan kehamilan, maka dapat dipertimbangkan menggunakan stoking kompresi di bawah lutut. Sedangkan pada penerbangan lebih dari 6 jam dengan risiko tinggi seperti riwayat kejadian tromboembolisme vena, riwayat pembedahan dalam 4 minggu, dan kanker, maka perlu ditambahkan penggunaan heparin sehari sebelum dan sesudah penerbangan pada pasien yang tidak mengonsumsi antikoagulan oral.[8]

Kesimpulan

Penentuan fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler dilakukan secara komprehensif dengan menimbang keparahan kondisi medis pasien, lama penerbangan, dan urgensi dari perjalanan.

Pada kondisi kardiovaskuler akut yang bergejala, seperti infark miokard akut, gagal jantung akut, takiaritmia dan bradiarritmia akut, pasien umumnya dinyatakan tidak layak terbang.

Sementara itu, pada kondisi pemulihan pasca kondisi akut, kondisi kardiovaskuler kronis, maupun pasca tindakan minimal perkutan dan pembedahan, kelayakan terbang akan berbeda-beda bergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Immanuel Natanael Tarigan

Referensi