Fitness to Fly pada Pasien dengan Penyakit Menular

Oleh :
dr.Samuel Bungaran Partahi Saud Manalu

Penentuan fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan penyakit menular patut dipahami agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Pada pasien dengan penyakit menular, selain menyatakan kelayakan pasien, surat kelayakan terbang juga harus menyatakan bahwa pasien sudah tidak lagi infeksius. Individu yang mengalami penyakit menular signifikan, direkomendasikan untuk menunda penerbangan hingga sudah tidak lagi dalam kondisi infeksius.[1]

Kelayakan Terbang pada Penyakit Menular Sesuai Periode Transmisi

Kualitas udara di dalam pesawat terbang dikontrol secara ketat sehingga risiko penularan penyakit infeksi di dalam sebuah penerbangan cukup rendah. Namun, penularan penyakit infeksi tetap dapat terjadi dari penumpang yang sakit kepada penumpang yang duduk di area sekitarnya melalui kontak langsung atau droplet saliva ketika pasien batuk atau bersin. Oleh karena itu, penumpang yang sedang sakit akut atau masih dalam periode infeksius disarankan untuk menunda penerbangannya.

sick woman sneezing at the airport

Setiap infeksi menular memiliki periode transmisi yang berbeda, berikut adalah periode transmisi dari beberapa penyakit infeksi menular:

  • Cacar air: 1-2 hari sebelum timbulnya gejala sampai semua lesi sudah mengering (biasanya 5 hari setelah timbul gejala)

  • Campak: dari 1 hari sebelum timbulnya gejala prodromal seperti demam atau sakit kepala (biasanya 4 hari sebelum timbulnya lesi), sampai dengan 4 hari setelah lesi timbul

  • Gondongan: dari 7 hari sebelum timbul manifestasi parotitis, sampai 9 hari setelah onset. Periode transmisi maksimum biasanya 2 hari sebelum onset parotitis sampai dengan 4 hari sesudah

  • Pertusis: periode transmisi maksimum dimulai saat catarrhal stage yang ditandai dengan bersin dan hidung tersumbat, serta saat memasuki periode batuk, biasanya saat 2 minggu pertama. Setelah itu, risiko penularannya menurun hingga bisa dinyatakan tidak lagi menular setelah 3 minggu

  • Rubella: memiliki risiko penularan yang sangat tinggi sejak 1 minggu sebelum timbulnya lesi hingga 4 hari setelah timbulnya lesi

  • Tuberkulosis: sampai dengan paling tidak 2 minggu setelah pengobatan[1,11,12]

Maskapai penerbangan berhak menolak penumpang yang sedang sakit dan dinilai dapat menularkan penyakitnya kepada penumpang lain. Sebagai contoh, calon penumpang yang menunjukkan bekas luka cacar air. Jika calon penumpang sudah melewati masa transmisi dan sudah menjalani pengobatan namun masih memiliki bekas lesi, sebaiknya calon penumpang menyertakan surat dari dokter yang menyatakan pasien sudah melewati periode transmisi, sudah menjalani pengobatan, dan sudah tidak berisiko menularkan penyakit.[11]

Proses Penilaian Fitness to Fly

International Air Transport Association (IATA) menyatakan bahwa harus adanya regulasi yang konsisten dan sesuai prinsip fisiologi yang berguna untuk melindungi setiap penumpang dan jaminan keamanan saat penerbangan. Penumpang yang harus melalui pemeriksaan kesehatan sebelum dinyatakan layak terbang adalah:

  • Mereka yang menderita penyakit yang diyakini menular secara aktif
  • Mereka yang diyakini membahayakan atau memberikan rasa tidak nyaman pada pasien lain akibat kondisi fisik ataupun perilaku
  • Mereka yang dinilai dapat memberikan resiko terhadap keamanan ataupun ketepatan waktu suatu penerbangan termasuk kemungkinan pengalihan penerbangan atau pendaratan darurat
  • Mereka yang tidak mampu beraktivitas secara mandiri atau mereka yang memerlukan asistensi
  • Mereka yang memiliki kondisi medis tertentu yang dapat terganggu akibat lingkungan dalam penerbangan[1]

Penyakit Menular yang Membutuhkan Perhatian Khusus

Menurut International Air Transport Association (IATA) dan CDC, beberapa penyakit menular perlu mendapat perhatian khusus jika akan melakukan perjalanan udara adalah tuberkulosis, penyakit meningokokal, dan campak.

Tuberkulosis

Risiko penularan tuberkulosis dalam penerbangan dinilai rendah. Bukti yang ada menyatakan bahwa transmisi tuberkulosis pernah terjadi dalam penerbangan yang memakan waktu lebih dari delapan jam. Risiko penularan dapat meningkat jika banyak dari penumpang di dalam penerbangan tersebut berasal dari negara dengan angka insidensi tuberkulosis yang tinggi seperti di Indonesia.

Pasien yang menderita tuberkulosis dinyatakan tidak layak terbang jika belum menjalani pengobatan yang adekuat selama minimal dua minggu, hasil pemeriksaan sputum BTA masih positif, terdapat kavitas pada rontgen dada, atau memiliki multidrug resistant tuberculosis.

Pasien bisa dinyatakan layak terbang jika sudah menunjukkan perbaikan secara klinis, hasil tes sputum negatif selama tiga hari berturut-turut, dan dapat dinyatakan noninfeksius.[1,11-13]

Penyakit Meningokokal

Penyakit meningokokal yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan droplet atau sekresi dari saluran napas. Oleh karena itu, individu yang berkontak dekat dengan pasien sebaiknya segera diidentifikasi dan diberi obat antimikroba profilaksis. Profilaksis harus dipertimbangkan pada:

  • Anggota keluarga yang bepergian bersama pasien
  • Teman dalam perjalanan yang memiliki kontak dekat berkepanjangan
  • Penumpang yang duduk tepat di sebelah pasien pada penerbangan ≥ 8 jam atau terpapar langsung dengan sekresi saluran napas atau muntah pasien[12]

Campak

Campak adalah infeksi virus yang ditularkan melalui droplet, kontak langsung, atau rute airborne. Calon penumpang yang terkena campak dianggap infeksius mulai dari 4 hari sebelum timbulnya lesi hingga 4 hari setelah timbulnya lesi.

Jika terjadi kontak selama penerbangan, evaluasi dilakukan segera setelahnya dan profilaksis boleh diberikan pada penumpang yang dianggap rentan tertular. Jika ada indikasi, penumpang bisa diberikan vaksin MMR (measles, mumps, rubella) dalam 72 jam setelah paparan atau imunoglobulin dalam 6 hari setelah paparan.[12]

Pneumonia

Pemeriksaan dilakukan pada orang yang memiliki gejala. Pasien dinyatakan layak terbang jika sudah sembuh sepenuhnya atau jika gambaran rontgen persisten maka setidaknya pasien harus bebas gejala. Dalam penerbangan, pertimbangkan kesiapan suplementasi oksigen terutama pada kasus kekambuhan yang baru, penumpang dengan usia tua atau pada jarak terbang yang jauh.[1]

Fitness to Fly pada Masa Pandemi COVID-19

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat resiko yang relatif kecil untuk transmisi COVID-19 saat penerbangan. Hal ini dikarenakan adanya manajemen mekanisme aliran udara yang baik, terutama jika disertai pelaku perjalanan, kru maskapai dan maskapai itu sendiri yang mengikuti prinsip keamanan COVID-19 secara adekuat.[2-4,6-9]

Pada masa pandemi COVID-19 pihak maskapai dan airport menyesuaikan peraturan dan regulasi yang berbeda-beda di setiap negara. Secara umum, vaksinasi merupakan instrumen terpenting dalam memberikan kepercayaan diri bagi penumpang untuk terbang.[8]

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah tidak memberikan makanan, minuman atau majalah gratis didalam pesawat yang umumnya dilakukan maskapai penerbangan. Hal ini dilakukan untuk membatasi sentuhan yang menjadi kemungkinan penularan virus COVID-19 antara penumpang dan kru maskapai.[8]

Tes cepat COVID-19 bagi penumpang dan kru maskapai juga menjadi hal yang wajib pada beberapa tempat sebagai salah satu syarat fitness to fly. Selain itu pencegahan berupa hand-hygiene, penggunaan masker dan alat protektif lainnya menjadi kebiasaan baru yang diterapkan selama pandemi COVID-19.[2-4,6-9]

Penerapan kebiasaan-kebiasaan baru ini dapat bersifat opsional (tergantung penumpang) di luar masa pandemi. Teknologi nir-sentuh juga mengurangi interaksi penumpang dengan fasilitas pembayaran atau prosedur lain yang berkaitan dengan perjalanan penerbangan.[2-4,6-9]

Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi dalam Sebuah Penerbangan

Sebelum bepergian, setiap calon penumpang pesawat terbang memiliki kewajiban untuk melengkapi vaksinasi rutin dan juga mendapatkan vaksinasi khusus sesuai dengan daerah yang dituju, misalnya vaksin meningitis sebelum bepergian ke Saudi Arabia.

Penumpang pesawat terbang juga harus memperhatikan kebersihan dirinya, terutama dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir setelah menggunakan toilet, mencuci tangan sebelum makan (atau menggunakan hand sanitizer dengan kandungan alkohol >60%), dan menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk.[12]

Jika terdapat laporan bahwa salah satu penumpang dalam sebuah penerbangan sedang menderita penyakit menular, terutama penyakit dengan risiko penularan tinggi seperti tuberkulosis, campak, atau Ebola, maka dapat dilakukan contact tracing setelah pesawat mendarat. Selain itu, harus dipastikan bahwa kasus tersebut dilaporkan dalam rentang waktu 21 hari setelah jadwal penerbangan.

Contact tracing dilakukan terhadap penumpang lain dan awak kabin yang melakukan kontak langsung dengan penderita. Penumpang yang duduk tepat di kiri, kanan, depan dan belakang penderita harus diperiksa. Jika penderita duduk di bangku lorong (aisle seat), maka penumpang yang duduk di lorong seberang juga diperiksa.[14]

Evakuasi Menggunakan Air Ambulance

Unit isolasi medis tersedia di air ambulance untuk pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi mengalami penyakit infeksius dan membutuhkan evakuasi medis. Namun, unit ini tidak tersedia pada penerbangan komersial dan hanya dapat digunakan melalui penyedia khusus yang memiliki unit isolasi dan staf medik terlatih.[10]

Kesimpulan

Seorang calon penumpang yang sedang menderita penyakit menular sebaiknya menunda jadwal penerbangannya hingga tidak menunjukkan gejala klinis atau telah melewati masa transmisi. Mereka juga harus diedukasi mengenai kapan selayaknya terbang dan apa yang harus dipersiapkan demi keamanan bersama.

Setiap penumpang pesawat memiliki risiko tertular penyakit-penyakit dengan transmisi airborne, seperti: tuberkulosis, influenza, measles, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan yang terbaru COVID-19.[5]

Selain penyakit-penyakit dengan transmisi airborne, penyakit infeksi dengan transmisi vector-borne juga dapat menjadi ancaman terutama ketika vektor perantara dapat tersebar (terutama nyamuk) di bagasi atau pakaian penumpang, seperti: malaria, chikungunya atau yellow fever.

Proses skrining dalam penilaian fitness to fly harus dilakukan secara konsisten dan ketat dalam mencegah penularan penyakit akibat perjalanan udara. Mereka yang masuk dalam kriteria International Air Transport Association (IATA) harus diperiksa kesehatannya sebelum benar-benar dinyatakan layak untuk terbang.

Pada masa pandemi COVID-19, keamanan transportasi udara telah terbukti sebagai moda transportasi tingkat transmisi rendah, meskipun demikian, protokol keamanan COVID-19 harus dilakukan secara konsisten dan ketat.

Calon penumpang sebuah penerbangan juga sebaiknya melengkapi vaksinasi rutin dan mendapatkan vaksinasi yang diwajibkan oleh daerah tujuan. Kebersihan diri selama penerbangan penting untuk selalu dijaga, terutama dengan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah menggunakan toilet, mencuci tangan sebelum makan, dan menutup hidung serta mulut ketika bersin atau batuk.

Jika terdapat laporan bahwa seorang penumpang pasca penerbangan menderita suatu penyakit menular dengan risiko penularan yang tinggi atau terbukti menderita infeksi bakteri resisten obat serta menunjukkan gejala selama penerbangan, maka perlu dilakukan contact tracing sebagai upaya pencegahan penularan penyakit.

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Hunied Kautsar

Referensi