Fitness to Fly pada Penyakit Gastrointestinal

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Fitness to fly atau kelayakan terbang pada pasien dengan penyakit gastrointestinal perlu diperhatikan pada pasien yang baru menjalani operasi abdomen dan perdarahan gastrointestinal.

Bepergian melalui jalur udara merupakan pilihan transportasi yang cukup sering dipilih oleh banyak orang. Rata-rata penumpang sehat dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan kabin. Namun, pada kondisi gangguan gastrointestinal, diperlukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien tersebut layak terbang atau tidak.[1,2]

Depositphotos_126604672_s-2019_compressed

Meskipun tekanan dalam kabin sudah diatur pada kabin pesawat terbang komersial, tekanan udara dalam kabin pada ketinggian tertentu akan lebih rendah dibanding dengan tekanan udara pada permukaan laut. Hal ini dapat berakibat berkurangnya oksigen yang dapat diangkut dalam darah sehingga tubuh akan mengalami hipoksia.[1-3]

Selain itu, gas dalam tubuh akan meningkat. Volume gas dalam usus akan meningkat sebesar 25% pada ketinggian kabin 2400 m (8000 kaki). Hal ini tentunya perlu diperhatikan pada pasien dengan gangguan gastrointestinal.[1-3]

Operasi Abdomen

Pasien yang baru menjalani operasi abdomen memiliki kondisi ileus untuk beberapa hari. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadi robekan pada jahitan, perdarahan, atau perforasi. Adanya peregangan pada daerah lambung atau lapisan usus dapat menyebabkan perdarahan ataupun jahitan operasi terbuka.

Pada kondisi setelah operasi polipektomi dengan kolonoskopi, sebaiknya pasien tidak dianjurkan bepergian naik pesawat dalam 24 jam karena banyaknya gas dalam kolon. Selain itu, terdapat peningkatan risiko perdarahan dari lokasi operasi.[1-3]

Selain itu, pasien yang baru menjalani operasi abdomen juga membutuhkan oksigen yang lebih banyak dikarenakan adanya trauma operasi, peningkatan risiko terjadinya sepsis, dan peningkatan aliran adrenergik. Oleh karena itu, sebaiknya pasien menunda bepergian melalui udara untuk beberapa waktu karena adanya penurunan kadar oksigen di dalam kabin.[1-3]

Berdasarkan rekomendasi International Air Transport Association (IATA), sebaiknya pasien menunggu minimal 10 hari untuk dapat melakukan penerbangan untuk memastikan kondisi pemulihannya baik dan tidak ada komplikasi.[3]

Laparoskopi dan Appendektomi Laparoskopi

Pada pasien yang menjalani prosedur operasi laparoskopi, gas karbon dioksida pada rongga intraadomen dapat berdifusi ke jaringan. Meski demikian, pasien yang baru menjalani laparoskopi atau pasien appendicitis yang telah menjalani appendektomi laparoskopi sebaiknya tetap perlu melakukan pemeriksaan dan evaluasi selama empat hari setelah operasi untuk memastikan seluruh gas telah diserap dalam tubuh sehingga tidak meningkatkan risiko nyeri perut, konstipasi, atau kembung.[2-4]

IATA merekomendasikan pasien yang baru menjalani operasi laparoskopik dan appendektomi dapat bepergian setidaknya 5 hari setelah operasi dengan catatan pemulihan baik tanpa adanya komplikasi.[2-4]

Sedangkan pada pasien yang baru menjalani laparoskopi dengan tujuan sebagai pemeriksaan penunjang, pasien dapat melakukan penerbangan 24 jam setelah pemeriksaan, namun perlu dipastikan tidak ada keluhan kembung. Selain itu, disarankan menggunakan stoking kaki tromboembolik hingga 1 bulan setelah operasi saat bepergian dengan pesawat.[2-4]

Perdarahan Gastrointestinal

Pasien dengan perdarahan gastrointestinal sebaiknya menunda bepergian dengan pesawat karena perdarahan berkaitan dengan adanya kondisi anemia, yaitu berkurangnya kadar hemoglobin dalam tubuh. Adanya kondisi anemia yang diperberat dengan penurunan tekanan oksigen dalam ketinggian menyebabkan penurunan pengangkutan oksigen ke organ-organ tubuh. Hal ini dapat menyebabkan berbagai keluhan, seperti nyeri dada, sesak napas, atau pusing (lightheadedness).[3,5]

IATA merekomendasikan pasien dengan perdarahan gastrointestinal sebaiknya menunda penerbangan hingga minimal 10 hari. Penerbangan dapat dilakukan sebelum 10 hari apabila didapatkan tanda penyembuhan, misalnya kadar hemoglobin (Hb) yang meningkat, atau terlihat perbaikan melalui endoskopi. Batas hemoglobin yang disarankan oleh IATA adalah 8,5 mg/dL atau lebih, diperiksa setidaknya 24 jam setelah perdarahan gastrointestinal terakhir.[3]

Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Patofisiologi terjadinya inflammatory bowel disease (IBD) masih dalam perdebatan, namun beberapa studi menyatakan bahwa kondisi hipoksia dapat menginduksi inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Vavricka, et al. menemukan bahwa ketinggian >2000 m di atas permukaan laut merupakan salah satu faktor risiko timbulnya episode IBD. Hal ini berkaitan dengan adanya kondisi tekanan oksigen yang lebih rendah sehingga kondisi hipoksia dapat terjadi yang memicu aktifnya IBD.[6]

Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang dipakai secara umum untuk menentukan kelayakan terbang pada pasien dengan IBD. Namun, berdasarkan penelitian Vavricka  et al. pasien IBD harus dalam keadaan remisi sebelum melakukan penerbangan.[6]

Pasien IBD juga harus dipastikan tidak mengalami obstruksi traktus gastrointestinal. Pasien dengan obstruksi tidak boleh terbang sebelum obstruksinya teratasi karena risiko ekspansi gas dan perforasi traktus gastrointestinal.[6]

Sebagai rangkuman, kelayakan terbang pada berbagai kondisi gangguan gastrointestinal dinyatakan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Fitness to Fly pada Pasien dengan Gangguan Gastrointestinal

Kondisi Medis Layak untuk Terbang Keterangan
Operasi abdomen mayor Pasien dinyatakan layak terbang ≥ 10 hari apabila tidak ada komplikasi Contoh operasi: reseksi usus, histerektomi terbuka, operasi ginjal
Operasi laparoskopi (keyhole) Pasien dinyatakan layak ≥ 5 hari apabila tidak ada komplikasi Contoh: kolesistektomi, operasi tubal
Appendektomi Pasien dinyatakan layak ≥ 5 hari apabila tidak ada komplikasi
Laparoskopi investigasi Pasien dinyatakan layak ≥ 24 jam apabila gas sudah terserap
Perdarahan gastrointestinal Pasien dinyatakan layak terbang ≥ 10 hari Penerbangan dapat dilakukan dalam 1 – 9 hari apabila hasil endoskopi menunjukkan penyembuhan atau hemoglobin meningkat sebagai indikasi perdarahan sudah mulai teratasi.

Sumber: International Air Transport Association (IATA), 2020[3]

Kesimpulan

Pasien dengan gangguan gastrointestinal tertentu yang akan melakukan penerbangan perlu menjalani pemeriksaan dokter untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi penyakit. Pemeriksaan dan kelayakan terbang perlu diperhatikan karena kondisi perjalanan udara dapat mengakibatkan kondisi hipoksia dan ekspansi gas dalam rongga tubuh. Dokter harus memastikan dua poin berikut ini:

  • Ada tidaknya gas yang terperangkap, misalnya akibat obstruksi traktus gastrointestinal atau laparoskopi
  • Pasien yang berisiko mengalami hipoksia, misalnya pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, ileus, atau mengalami infeksi sekunder akibat operasi abdomen

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi