Red Flag Nyeri Tenggorokan

Oleh :
Audric Albertus

Red flag atau tanda bahaya nyeri tenggorokan perlu dikenali oleh dokter karena meskipun kondisi ini sering kali tidak berbahaya, nyeri tenggorokan dapat disebabkan oleh etiologi yang lebih serius. Contoh etiologi yang perlu diwaspadai adalah coronavirus disease 2019 (COVID-19), abses leher dalam, epiglotitis, dan difteri.

Nyeri tenggorokan umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas yang bersifat self-limiting. Sekitar 80% kasus akan membaik tanpa terapi dalam 1 minggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus tertentu, nyeri tenggorokan dapat merupakan manifestasi klinis dari penyakit serius yang membutuhkan penanganan lebih lanjut.[1,2]

shutterstock_1871026546-min

Sekilas tentang Etiologi Nyeri Tenggorokan

Nyeri tenggorokan biasanya disebabkan oleh infeksi virus yang tidak berbahaya. Akan tetapi, terdapat beberapa kemungkinan etiologi yang serius, seperti abses leher dalam, infeksi HIV primer, epiglotitis, difteri, limfoma dan kanker kepala/leher, serta COVID-19.

Abses leher dalam bisa menyebabkan sepsis dan gangguan patensi napas. Pasien biasanya mengalami demam dan kesulitan menggerakkan leher dan mulut. Sementara itu, untuk epiglotitis, manifestasi klinis yang sering adalah nyeri tenggorokan hebat beserta demam akut, stridor atau suara teredam (muffled voice), dan air liur berlebih (drooling).[3,4]

Pada pasien HIV, nyeri umumnya disertai demam, keringat malam, ruam kulit, dan adenopati difusa. Sementara itu, pada pasien difteri, dapat terlihat tanda khas seperti membran keabuan pada tonsil dan faring (pseudomembran), adenopati servikal berat (bull neck), dan paralisis uvula.[3,5]

Etiologi keganasan biasanya disertai penurunan berat badan, demam, keringat malam, dan limfadenopati. Sementara itu, etiologi COVID-19 dapat disertai riwayat kontak dengan pasien COVID-19 maupun riwayat bekerja di tempat berisiko tinggi transmisi. Selain itu, pasien COVID-19 umumnya juga mengalami demam, batuk, anosmia, dan ageusia.[6-8]

Red Flag Nyeri Tenggorokan

Pasien dengan red flag (tanda bahaya) nyeri tenggorokan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengonfirmasi etiologinya dan mendapatkan penanganan segera. Red flag yang perlu diperhatikan adalah:

  • Nyeri tenggorokan persisten >6 minggu
  • Demam >2 minggu
  • Sesak napas (dispnea)
  • Air liur berlebih (drooling)
  • Suara teredam (hot potato voice)
  • Kaku pada leher
  • Disfagia
  • Penurunan berat badan signifikan
  • Keringat malam
  • Anosmia
  • Ageusia
  • Trismus
  • Pembengkakan tonsil asimetris atau adenopati servikal asimetris
  • Paralisis uvula
  • Pseudomembran pada faring posterior
  • Eritema leher
  • Bull neck
  • Ruam non-blanching

  • Sianosis
  • Riwayat kontak dengan pasien COVID-19
  • Riwayat bekerja di tempat berisiko tinggi transmisi SARS-CoV-2[1,3,4,8]

Sekilas tentang Manajemen Pasien dengan Red Flag Nyeri Tenggorokan

Manajemen pasien dengan red flag nyeri tenggorokan dimulai dari anamnesis serta pemeriksaan yang terarah untuk menentukan etiologi dan tata laksana yang sesuai.

Anamnesis

Dokter perlu menanyakan berapa lama nyeri telah terjadi dan apakah nyeri semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Beberapa gejala tambahan seperti sulit membuka mulut, adanya air liur berlebih, pembengkakan leher, sesak napas, dan suara teredam umumnya menunjukkan infeksi berat yang membutuhkan penanganan segera.

Gejala sistemik seperti penurunan berat badan, keringat malam, dan demam lama juga dapat menunjukkan etiologi keganasan atau infeksi kronis. Riwayat bepergian dan riwayat kontak dengan pasien COVID-19 juga perlu ditanyakan untuk mengevaluasi kemungkinan COVID-19.[3,4,9]

Pemeriksaan Fisik

Saat memeriksa tanda vital, perhatikan apakah ada tanda sepsis seperti takikardia, hipotensi, dan demam tinggi. Adanya suara napas yang abnormal bisa menunjukkan gangguan patensi jalan napas. Evaluasi telinga, hidung, dan tenggorokan menyeluruh diperlukan, terutama pada pasien dengan kecurigaan abses leher dalam.

Saat memeriksa mulut pasien, perhatikan apakah ada pembesaran tonsil unilateral atau bilateral, apakah ada eksudat, dan apakah ada lesi lain di sekitarnya. Palpasi leher untuk mencari pembesaran nodus limfa juga dapat dilakukan. Namun, pemeriksaan mulut harus dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat untuk mencegah paparan terhadap droplet respirasi.[3,4,9]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan sesuai kecurigaan etiologi, misalnya tes HIV, rapid test antigen COVID-19 atau reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), dan rontgen toraks. Selain itu, X-ray leher lateral dan CT scan leher juga bisa dilakukan sesuai kecurigaan etiologi. Namun, pasien dengan risiko obstruksi jalan napas mungkin tidak dapat berbaring untuk menjalani CT scan. Pasien dengan kecurigaan keganasan mungkin perlu dirujuk untuk biopsi.[3,4,9]

Tata Laksana

Tata laksana harus disesuaikan dengan etiologi yang ditemukan. Bila ada obstruksi jalan napas, pembebasan airway harus segera dilakukan. Abses, epiglotitis, dan kondisi inflamasi lain mungkin sulit untuk diintubasi, sehingga perencanaan yang matang sebelum tindakan sangat diperlukan. Alternatif lain dari intubasi adalah intubasi nasotrakeal awake fiberoptic atau krikotiroidotomi.

Antibiotik dibutuhkan untuk pasien dengan etiologi infeksi bakteri. Pasien dengan etiologi HIV dapat menjalani pengobatan antiretroviral, sementara pasien COVID-19 dapat menjalani terapi suportif dan isolasi.[3,4,10]

Referensi