Red Flag Nyeri Abdomen pada Ibu Hamil

Oleh :
dr. Anastasia Feliciana

Red flags atau tanda bahaya nyeri abdomen pada ibu hamil penting dikenali untuk deteksi dini kegawatdaruratan obstetri, seperti kehamilan ektopik terganggu dan ruptur uteri. Nyeri abdomen merupakan keluhan paling sering ditemui pada kehamilan, serta dapat terjadi di seluruh trimester. Pada banyak kasus, nyeri abdomen selama kehamilan timbul akibat kondisi yang tidak berbahaya, seperti round ligament pain. Namun, ada pula kasus nyeri abdomen berat atau persisten yang memerlukan investigasi lebih lanjut.

Contoh penyebab nyeri abdomen yang perlu diwaspadai pada awal kehamilan antara lain kehamilan ektopik terganggu dan abortus. Sementara itu, penyebab nyeri abdomen yang perlu diwaspadai pada kehamilan trimester akhir adalah persalinan preterm dan korioamnionitis. Dokter juga perlu mempertimbangkan penyebab yang tidak berhubungan dengan kehamilan, seperti pyelonephritis, nefrolitiasis, pankreatitis, kolesistitis, dan appendicitis.[1,2]

Red Flag Nyeri Abdomen pada Ibu Hamil-min

Sekilas Tentang Etiologi Nyeri Abdomen pada Ibu Hamil

Walaupun bisa saja tidak berbahaya, nyeri abdomen pada kehamilan yang persisten atau nyeri derajat berat umumnya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan etiologi yang mendasari. Secara garis besar, etiologi nyeri abdomen pada ibu hamil dapat dibedakan menjadi penyebab obstetrik dan non-obstetrik.[1,3]

Kasus Obstetrik

Nyeri abdomen pada kasus obstetrik dengan usia kandungan di bawah 20 minggu yang perlu diwaspadai adalah kehamilan ektopik terganggu dan abortus spontan.

Nyeri abdomen pada kasus obstetrik pada usia kandungan 20 minggu ke atas yang perlu diwaspadai adalah abrupsio plasenta, terutama bila ada riwayat trauma atau perubahan akselerasi-deselerasi mendadak. Pikirkan juga kemungkinan persalinan preterm, sindrom HELLP (hemolysis, elevated enzymes and low platelets), polihidramnion akut, korioamnionitis, dan ruptur uteri.[1-4]

Kasus Non-obstetrik

Penyebab nyeri abdomen non-obstetrik yang paling sering adalah appendicitis akut. Penyebab non-obstetrik lain yang perlu diwaspadai mencakup kolesistitis, kolelitiasis, fatty liver terkait kehamilan, hepatitis, ulkus peptikum, batu ginjal, pyelonephritis, ileus obstruktif, hingga kasus yang jarang seperti  krisis sel sabit.[2,3]

Red Flags Nyeri Abdomen pada Ibu Hamil

Nyeri abdomen selama kehamilan yang disertai dengan red flags akan memerlukan investigasi lanjutan. Red flags atau tanda bahaya ini antara lain:

  • Nyeri perut disertai dengan demam
  • Nyeri perut disertai dengan nyeri kepala, penurunan visus, dan kadar platelet rendah
  • Tanda persalinan pada usia kandungan preterm
  • Nyeri abdomen yang disertai perdarahan per vaginam
  • Hematemesis, melena ataupun ikterus
  • Penurunan denyut jantung janin (variable decelerations diikuti bradikardia pada janin)
  • Nyeri abdomen persisten seiring pergerakan janin (mengarah ke abdominal pregnancy)
  • Kadar kreatinin meningkat
  • Peningkatan kadar lipase, bilirubin atau transaminase
  • Nyeri abdomen pasca trauma, baik itu terjatuh, kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, maupun acceleration-deceleration force yang mendadak[1-5]

Manajemen Pasien dengan Red Flags Nyeri Abdomen pada Kehamilan

Pasien hamil yang menunjukkan red flags atau tanda bahaya harus menjalani investigasi lebih lanjut. Tahap awal dalam manajemen pasien dengan red flags adalah eksklusi kemungkinan etiologi mengancam nyawa, seperti kehamilan ektopik terganggu, abrupsio plasenta, dan ruptur uteri. Nilai juga kesejahteraan janin. Kemudian, apabila kegawatdaruratan obstetri telah disingkirkan, maka dokter perlu memikirkan kemungkinan penyebab non-obstetri.[1-4]

Anamnesis

Dokter perlu menanyakan berapa lama nyeri abdomen telah terjadi. Identifikasi apakah nyeri abdomen sifatnya mendadak, gradual, atau bersifat kolik, apakah nyeri semakin memburuk seiring berjalannya waktu, serta apakah nyeri meningkat dengan pergerakan janin. Tanyakan juga beberapa gejala tambahan, seperti adakah riwayat trauma sebelumnya, perdarahan per vaginam, riwayat penyulit kehamilan, dan hasil antenatal care selama kehamilan.[1.2]

Pemeriksaan Fisik

Saat memeriksa kondisi umum dan tanda vital, perhatikan apakah ada tanda syok hipovolemik, serta tanda yang mengarah ke preeklampsia, eklamsia, maupun sepsis. Pemeriksaan fisik penting untuk mengetahui kondisi hemodinamik pasien, sehingga tata laksana untuk life saving dapat dilakukan dengan segera.[1]

Pemeriksaan fisik, terutama pemeriksaan abdomen dan obstetrik yang lengkap dan teliti, juga berperan penting dalam mengerucutkan diagnosis. Lakukan inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi abdomen, pemeriksaan tanda Murphy, tanda McBurney, tanda psoas, serta tanda obturator sesuai dengan kecurigaan klinis. Pemeriksaan obstetrik, seperti evaluasi kontraksi rahim maupun vaginal touche, juga mungkin diperlukan.[1,3,4]

Nyeri tekan pada epigastrik dan hipokondriaka dekstra dapat ditemukan pada kasus ulkus peptikum, kolesistitis, kolelitiasis, hepatitis, appendicitis akut, sindrom HELLP, dan pyelonephritis. Nyeri tekan pada iliaka dekstra dapat ditemukan pada kasus ruptur uteri, appendicitis, torsio adneksa, dan ruptur vena adneksa. Nyeri tekan hipokondriaka sinistra dapat ditemukan pada pankreatitis, hepatitis, ataupun aneurisma arteri splenalis. Nyeri tekan pada iliaka sinistra dapat ditemukan pada ruptur uteri, divertikulitis, torsio adneksa, maupun obstruksi usus. Nyeri abdomen yang difus dapat ditemukan pada peritonitis.[1,4]

Pemeriksaan selain abdomen dan obstetrik seperti konjungtiva anemis, sklera ikterik dan edema juga dapat memberi petunjuk untuk mengerucutkan etiologi.[1,2]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dipilih sesuai kecurigaan klinis yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. USG kehamilan merupakan pencitraan inisial yang efektif mendeteksi berbagai kelainan obstetrik dan non-obstetrik, serta dapat mengevaluasi kondisi janin. Pemeriksaan ini tidak menyebabkan ionisasi dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi dalam mendeteksi kasus obstetrik maupun non-obstetrik. Meski demikian, akurasi USG dalam mendeteksi kasus non-obstetrik menurun di atas usia kandungan 32 minggu.

Apabila diperlukan, magnetic resonance imaging (MRI) pada ≤1,5T lebih dipilih dibandingkan computed tomography (CT) scan karena aman di kehamilan semua trimester. Rapid sequence MRI lebih dipilih ketimbang MRI konvensional.[1,2]

Pemeriksaan cardiotocography diperlukan untuk mengevaluasi kesejahteraan janin. Variable decelerations diikuti bradikardi pada janin merupakan salah satu tanda bahaya.[3-5]

Pemeriksaan darah lengkap umumnya dilakukan jika dokter ingin mengevaluasi hemoglobin dan leukosit ibu hamil. Peningkatan alkaline phosphatase (ALP) cukup normal pada kehamilan, tapi adanya peningkatan lipase, bilirubin atau transaminase memerlukan evaluasi lanjutan untuk mengeksklusi kolesistitis. Pemeriksaan urine dapat mendeteksi adanya protein akibat preeklampsia. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit dan c-reactive protein (CRP) dapat diperiksa sesuai indikasi.[1-4]

Tata Laksana

Tata laksana harus disesuaikan dengan etiologi yang ditemukan, dengan tentunya memperhatikan kondisi hemodinamik pasien. Prinsip pada setting emergency adalah tetap mengutamakan tata laksana airway-breathing-circulation. Apabila pasien dalam kondisi hemodinamik tidak stabil, misalnya akibat syok hipovolemia, segera berikan resusitasi cairan atau transfusi darah sesuai indikasi.

Adanya tanda peritonitis, pneumoperitoneum, dan hemoperitoneum yang dapat ditemukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang mengindikasikan perlunya operasi segera.[3-5]

Referensi