Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat dibagi menjadi obat utama dan tambahan.
Medikamentosa
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.
Dosis OAT adalah sebagai berikut :
- Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral, atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT, maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik penyerapannya.
- Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi 300 mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari untuk mencegah neuropati perifer
- Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30 mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan dosis 50 mg/kg BB secara oral
- Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB. Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30 mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali seminggu
- Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular, tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak melebihi 1,5 gram per hari
Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
- Kategori 1 : 2RHZE/4RH3
- Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3
Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan. [1]
Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sudah diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan pasien yang diobati kembali setelah putus obat. [1]
Terapi MDR-TB
Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya, dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan gunakan obat yang sudah resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :
- Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol, rifampisin
- Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin, streptomisin
- Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin, moxifloksasin, ofloksasin
- Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya: cycloserine, terizidone, asam para aminosalisilat (PAS), etionamide, protionamide
- Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan rutin karena efektifitasnya masih belum jelas. Namun diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana ke 4 grup obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada pasien, seperti pada XDR-TB.
Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan spesialis penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid, amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin, klaritromisin, INH dosis tinggi. [24]
Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin dan kanamisin yang bersifat ototoksik pada janin. Pemberian kedua obat tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi ketika lahir.
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga. [1]
Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan mencegah penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari ibu penderita TB, terapi profilaksis isoniazid dapat diberikan. [1]
Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau komplikasi berikut :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum dan tanda vital buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleural masif/bilateral
- Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura
Kriteria Sembuh
Seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB Paru) dianggap sembuh apabila memenuhi kriteria :
- BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau menunjukkan perbaikan
- Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negatif
Monitoring
Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan dua tujuan, yaitu evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi maupun efek samping obat.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, radiologik, dan bakteriologik. Pada evaluasi klinik, penderita diperiksa setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan, kemudian dilanjutkan setiap 1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan berobat, respon pengobatan, dan ada tidaknya efek samping pengobatan. Pada setiap kali follow up, pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan berat badan diukur.
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Evaluasi ini dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) atau biakan apabila tersedia.
Evaluasi radiologik dilakukan menggunakan foto rontgen toraks. Evaluasi dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan.
Pada penderita yang telah dinyatakan sembuh, evaluasi tetap dilakukan selama 2 tahun pertama untuk mendeteksi adanya kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan pada bulan ke-3, 6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh.
Evaluasi Efek Samping Obat
Pasien TB yang diberikan pirazinamid harus diperiksa baseline serum asam urat dan tes fungsi hati. Sedangkan pasien yang diterapi etambutol mesti diperiksa baseline ketajaman penglihatannya dan juga secara periodik dilakukan tes buta warna merah-hijau, menggunakan tes Ishihara
Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor ketajaman pendengarannya, tes fungsi ginjal secara berkala, dan pemeriksaan neurologis berkala.
Monitoring ini terintegrasi dalam program nasional bersama WHO, yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) sejak tahun 1995, yang dalam perkembangannya menghadapi banyak tantangan, sehingga diperluas pada tahun 2005 menjadi strategi Stop TB untuk mengoptimalkan mutu DOTS.
Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak berpusat kepada aspek kuratif masih bergantungan pada pendanaan dari donor internasional selain alokasi APBD yang masih rendah [1]. Khusus warga DKI Jakarta yang berobat TB melalui puskesmas, pemprov DKI memberikan subsidi pengobatan TB secara gratis. Pada tingkat pertama, pasien yang datang ke puskesmas akan ditangani oleh seorang dokter umum, dan bilamana dianggap perlu, pasien TB dirujuk ke rumah sakit setempat yang memiliki fasilitas pemeriksaan spesialistik.