Penatalaksanaan Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Penatalaksanaan tuberkulosis (TB) pada ibu menyusui perlu dilakukan karena kontak erat dengan ibu berisiko lebih tinggi menularkan tuberkulosis pada anak, dibandingkan transmisi vertikal. Anak yang terkena tuberkulosis memiliki risiko mortalitas yang tinggi dan dapat mengalami gangguan pertumbuhan.

Beberapa pedoman menganjurkan dipisahnya ibu dan bayi hingga ibu berstatus non-infektif sementara beberapa pedoman lain menganjurkan tetap diperbolehkannya menyusui secara langsung. Selain itu, terdapat kekhawatiran atas efek obat antituberkulosis (OAT) pada bayi yang menyusu dari ibu yang mengonsumsinya.[1-4]

Penatalaksanaan Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui-min

Rekomendasi Menyusui pada Ibu yang Menderita Tuberkulosis

Kontak dengan penderita tuberkulosis aktif merupakan salah satu risiko dalam penularan tuberkulosis. Mayoritas pedoman yang sekarang digunakan mendukung untuk dilakukannya direct breastfeeding pada ibu yang masih menderita TB.

Sebagian pedoman menganjurkan ibu untuk tetap menyusui dengan menggunakan masker atau harus memenuhi syarat pemeriksaan BTA negatif dan tidak lagi bersifat infeksius. ASI tidak mengandung kuman M. Tuberculosis sehingga seandainya terjadi penularan dari ibu ke anak, maka bukan dari ASI yang diminum anak.

Pada kondisi tertentu dimana kuman tuberkulosis terbukti menginfeksi jaringan payudara misalnya mastitis tuberkulosis, maka pemberian ASI harus dihentikan sementara waktu. Namun demikian, pada pasien TB aktif yang masih infeksius, terdapat berbagai versi mengenai pemberian ASI.[3,5]

Berdasarkan pedoman World Health Organization (WHO) tahun 2018 mengenai tatalaksana tuberkulosis, tidak perlu memisahkan neonatus dari ibunya. Pemberian ASI tetap masih bisa diberikan tanpa memandang status tuberkulosis dari ibu. Rekomendasi yang sama juga diajukan oleh American Thoracic Society, Center for Disease Control and Prevention, serta Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guidelines.

Sementara pedoman lain menentukan bahwa pada ibu dengan status tuberkulosis yang multidrug resistant (MDR), bayi harus dipisahkan dari ibu untuk sementara waktu hingga ibu berstatus non-infektif.[6,7]

Pedoman nasional tata laksana tuberkulosis, saat ini secara umum tidak memisahkan bayi yang menyusu dari ibu yang terkena tuberkulosis; tetapi ibu dianjurkan menggunakan masker saat menyusui untuk mencegah penularan TB pada bayinya.[1]

Pada ibu dengan BTA masih positif meski mendapatkan terapi dan mengalami kondisi klinis yang berat, bayi harus dipisahkan sampai terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak berstatus infeksius lagi. ASI masih dapat diberikan secara tidak langsung melalui dipompa (expressed breastmilk). Skrining dan profilaksis diberikan pada bayi, dan dapat diberikan tata laksana yang sesuai bila diagnosis tegak.[1]

Rekomendasi Nasional Tatalaksana Tuberkulosis pada Ibu Menyusui

Pada dasarnya terapi tuberkulosis pada ibu yang menyusui masih menggunakan regimen yang sama seperti yang diberikan pada orang dewasa pada umumnya. Durasi pengobatan pada kasus TB yang masih sensitif obat berlangsung selama 6 bulan dan terbagi dalam 2 tahap. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  • Tahap awal berlangsung selama 2 bulan dan menggunakan regimen rifampicin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol (2RHZE). Sementara tahap lanjutan berlangsung selama 4 bulan dengan menggunakan regimen rifampisin dan isoniazid (4RH)
  • Pada ibu yang masih menjalani terapi pengobatan TB dan masih menyusui, bila berniat untuk menggunakan kontrasepsi maka dianjurkan memilih kontrasepsi yang non-hormonal agar tidak terjadi interaksi obat yang mengurangi efektivitas terapi hormon itu sendiri.[1]

Keamanan Obat Anti Tuberkulosis pada Ibu Menyusui

Beberapa studi telah menilai berbagai obat-obat yang diberikan dalam tata laksana tuberkulosis paru baik lini pertama maupun lini lainnya pada ibu menyusui.

Obat yang Dapat Diberikan pada Ibu Menyusui

Obat lini pertama pada tata laksana tuberkulosis sudah diketahui dapat terekskresi dalam ASI. Meski demikian, beberapa studi menunjukkan bahwa kadar rifampisin, ethambutol, dan pyrazinamide didapati rendah dalam ASI saat dikonsumsi oleh ibu menyusui, yaitu 0,5-6%. Kadar obat dalam ASI tersebut <10%, yakni kadar minimal untuk menimbulkan efek terapeutik sehingga sangat jarang menimbulkan efek samping yang signifikan pada bayi yang disusui.[8,9]

Pada sisi lain, isoniazid memiliki kadar yang lebih tinggi dalam ASI, yaitu 6,4-25%. Namun, obat ini dinilai tetap dapat diberikan pada ibu dan pemberiannya disertakan dengan suplemen piridoksin dengan dosis 14-25 mg/hari serta diperiksakan secara berkala untuk mendeteksi neuritis perifer dan fungsi hepar untuk memantau efek hepatotoksisitas yang mungkin timbul.[10]

Rifampisin juga diketahui dapat menyebabkan warna jingga pada cairan sekresi tubuh, termasuk ASI. Namun hal ini tidak menimbulkan efek merugikan pada ibu maupun bayi.[11,12].

Isoniazid dan ethambutol termasuk dalam kategori A oleh Therapeutic Goods Administration (TGA), sementara pyrazinamide termasuk dalam kategori B2 dan rifampicin termasuk dalam kategori C. Namun, keempat obat ini dikategorikan dalam kategori C oleh Food and Drugs Administration (FDA).[10-18]

Pada kasus tuberkulosis dengan resisten obat (TB-RO), terdapat beberapa obat yang tidak dikontraindikasikan pada ibu menyusui, seperti amikacin, streptomycin, sikloserin, terizidone. Namun, penggunaan dan pengawasan obat pada ibu menyusui sangat penting mengingat jumlah studi yang mempelajari efek obat masih sedikit.[10,20]

Obat yang Perlu Dihindari pada Ibu Menyusui

Beberapa obat yang dikontraindikasikan absolut pada penanganan tuberkulosis bagi ibu menyusui adalah rifapentine dan rifabutin. Beberapa obat yang umumnya digunakan dalam kasus TB-RO yang sebaiknya dihindari pada ibu menyusui, seperti p-aminosalicytic acid, ethionamide, prothionamide, imipenem/cilastatin, meropenem, dan linezolid.

Penggunaan bedaquiline dan delamanid juga sebaiknya dihindari pada ibu menyusui atas temuan obat tersebut dalam ASI yang tinggi. Meski demikian, tidak ada laporan cacat janin pada studi binatang.

Fluorokuinolon diasosiasikan berat badan lahir rendah (BBLR) pada suatu studi observasional. Sedangkan clofazimine dapat diberikan bila manfaatnya melebihi risiko, tetapi dapat menyebabkan diskolorasi reversible pada kulit bayi.[20]

Kesimpulan

Tuberkulosis pada ibu menyusui perlu mendapat perhatian khusus karena dapat meningkatkan risiko penularan ke anak. Meskipun terdapat kekhawatiran penularan disebabkan kontak erat, pemberian ASI tetap harus diutamakan.

Ibu yang masih menyusui secara langsung dianjurkan mengenakan masker ketika kontak erat dengan anak. Sementara ibu yang berstatus tuberkulosis resisten obat (TBRO) atau masih bersifat sangat infeksius dapat mempertimbangkan memberikan ASInya secara tidak langsung dengan cara dipompa (expressed breastmilk).

Pada kondisi tertentu dimana kuman tuberkulosis terbukti menginfeksi jaringan payudara (misalnya  mastitis tuberkulosis) maka pemberian ASI, baik secara langsung maupun tidak langsung, harus dihentikan sementara waktu.

Tatalaksana tuberkulosis pada ibu menyusui yang sensitif obat masih menggunakan regimen yang sama dengan yang diberikan pada orang dewasa lainnya, yakni 4RHZE dan 2RH. Tidak terdapat kontraindikasi absolut pada pemberian obat-obat tuberkulosis tersebut pada ibu menyusui.

Sementara pada ibu menyusu dengan TB-RO tidak dianjurkan memberikan obat rifapentine dan rifabutin. Obat lainnya hanya boleh diberikan bila manfaat pemberiannya dapat melebihi potensi kerugiannya.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah

Referensi