Terapi Tuberkulosis pada Pasien HIV: Terapi Harian atau Intermitten

Oleh :
dr. Reren Ramanda

Manfaat terapi antituberkulosis harian dibandingkan intermiten pada pasien tuberkulosis paru yang HIV-positif masih menjadi perdebatan. Menurut data WHO, saat ini terdapat hingga 1,5 juta kematian akibat tuberkulosis, dengan 26% di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Insidensi global tuberkulosis diperkirakan mencapai 10 juta kasus, dengan 9% di antaranya adalah kasus koinfeksi tuberkulosis dan HIV.[1,2]

Pasien HIV berisiko menderita tuberkulosis 20 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Individu HIV dengan tuberkulosis memiliki case fatality rate mencapai 35%, yakni hampir 4 kali lipat lebih tinggi dari angka case fatality rate populasi tuberkulosis non-HIV.[1]

Asian,Woman,Wearing,A,Mask,Protect,Pm2.5,Because,Pollution,At

Saat ini, rekomendasi terapi obat antituberkulosis (OAT) lini pertama adalah dengan regimen kombinasi dosis tetap (KDT) 2RHZE/4RH pemberian dosis harian. Pada pasien non-HIV, WHO memberikan alternatif terapi intermiten untuk menurunkan angka putus obat, namun masih menjadi dilema apakah regimen intermiten dapat diterapkan juga pada populasi khusus seperti pasien HIV.[3-5]

Regimen Terapi Tuberkulosis Standar dan Terapi Intermiten

Pengobatan tuberkulosis memakan waktu minimal 6 bulan. Durasi terapi bisa lebih panjang tergantung respon klinis pasien dan adanya komplikasi seperti tuberkulosis ekstraparu. Pengobatan tuberkulosis secara umum terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase terapi intensif (8 minggu) dan fase terapi lanjutan (16 minggu). Perbedaan kedua fase ini adalah dari kombinasi obat yang diberikan.[3,4]

Regimen terapi standar yang direkomendasikan oleh WHO adalah dengan sediaan kombinasi rifampicin (R), isoniazid (H), pyrazinamide (Z), dan ethambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 6 bulan berturut-turut, dengan rumus 2RHZE/4RH. Pada fase intensif diberikan 4 kombinasi obat, sedangkan pada fase lanjutan cukup diberikan 2 kombinasi obat saja. Regimen terapi ini sama antara pasien non-HIV dan pasien HIV.[2,5]

Permasalahan Terapi Standar Tuberkulosis dan Peran Regimen Terapi Intermiten

Jangka waktu yang lama serta kewajiban meminum obat setiap hari menjadi beban tersendiri bagi penderita tuberkulosis, sehingga tidak sedikit dari pasien berhenti mengonsumsi obat sebelum program pengobatan selesai. Tingginya angka putus obat akan menimbulkan masalah baru, termasuk resistensi obat, kegagalan terapi, hingga peningkatan risiko mortalitas.[3,6]

Untuk meningkatkan angka kepatuhan minum obat, WHO memberikan alternatif pemberian obat antituberkulosis (OAT) intermiten bagi pasien yang tidak menderita HIV atau tidak tinggal di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Alternatif pertama adalah konsumsi obat setiap hari selama fase intensif, dilanjutkan 3 kali seminggu selama fase lanjutan namun setiap dosis harus dikonsumsi di bawah observasi tenaga kesehatan (Directly Observed Treatment/DOT). Alternatif kedua adalah konsumsi obat 3 kali seminggu selama fase intensif dan fase lanjutan, namun setiap dosis harus dikonsumsi dengan DOT.[3,7]

Tabel 1. Rentang Dosis Obat Antituberkulosis pada Pasien Dewasa dengan Obat Lepasan

Dosis Terapi Harian Dosis Terapi Intermiten (3 Kali Perminggu)
Isoniazid: 4-6 mg/kgBB/hari max dosis harian 300 mg Isoniazid: 8-12 mg/kgBB/hari max dosis harian 900 mg
Rifampicin: 8-12 mg/kgBB/hari max dosis harian 600 mg Rifampicin: 8-12 mg/kgBB/hari max dosis harian 600 mg
Pyrazinamide: 20-30 mg/kgBB/hari Pyrazinamide: 30-40 mg/kgBB/hari
Ethambutol: 15-20 mg/kgBB/hari Ethambutol: 25-35 mg/kgBB/hari
Streptomycin: 12-18 mg/kgBB/hari Streptomycin: 12-18 mg/kgBB/hari

Sumber: dr. Reren, Alomedika, 2022.[5]

Tabel. 2 Rentang Dosis Obat Antituberkulosis pada Pasien Dewasa dengan Obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

Berat Badan (Kg) Fase Intensif Setiap Hari dengan KDT RHZE (150/75/400/275) Selama 8 Minggu Fase Lanjutan Setiap Hari dengan KDT RH (150/75) selama 16 minggu
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
≥ 55 4 tablet 4 tablet

Sumber: dr. Reren, Alomedika, 2022.[4]

Terapi Harian VS Intermiten Obat Antituberkulosis pada Pasien dengan HIV

Hanya sedikit bukti yang menyatakan adanya perbedaan tingkat kegagalan perawatan dan kekambuhan antara dosis harian dan dosis intermiten. Namun, pasien yang mengonsumsi dosis sebanyak tiga kali seminggu selama fase intensif dan fase lanjutan telah dilaporkan memiliki tingkat resistensi obat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi dosis harian.[3]

Berdasarkan meta analisis terhadap pasien tuberkulosis yang juga menderita HIV, insidensi kasus relaps dan kegagalan pengobatan lebih tinggi 2-3 kali lipat pada pasien yang menerima terapi intermiten sepanjang fase pengobatan dibandingkan dengan pasien TB-HIV yang menerima dosis harian. Oleh karena itu WHO merekomendasikan pengobatan penderita tuberkulosis dengan HIV dengan pemberian OAT setiap hari selama fase intensif dan fase lanjutan.[3,5]

Rekomendasi WHO ini juga sejalan dengan hasil uji klinis Gopalan et al (2018). Uji klinis yang melibatkan 331 pasien ini mencoba membandingkan efikasi pemberian OAT harian dibandingkan intermiten pada pasien TB-HIV. Hasil studi menunjukkan bahwa metode terapi harian menghasilkan angka kesembuhan lebih tinggi dibandingkan terapi intermiten. Selain itu, angka relaps dan resistensi rifampicin juga lebih rendah pada pasien HIV yang menerima terapi harian.[7,8]

Pertimbangan Manfaat dan Risiko Terapi Harian dan Intermiten pada Pasien Tuberkulosis dengan HIV

Peningkatan risiko resistensi rifampicin pada pasien HIV diduga terkait dengan rendahnya hitung limfosit CD4 pasien. Namun, risiko resistensi ini dapat diturunkan apabila pasien menerima terapi OAT dengan metode terapi harian. Terapi harian juga dikaitkan dengan penurunan angka mortalitas pasien TB-HIV dibandingkan pasien yang menerima terapi intermiten.[7,9]

Walau demikian, perlu dicatat bahwa efek samping hepatotoksisitas ditemukan lebih tinggi pada pasien yang menerima dosis OAT harian dibandingkan pasien yang menerima dosis intermiten. Hal ini diduga terkait dengan konsumsi bersamaan OAT dengan terapi antiretroviral, sehingga diperlukan pemantauan efek samping lebih ketat pada populasi TB-HIV.[2,7]

Kesimpulan

Pemberian obat antituberkulosis (OAT) pada pasien non-HIV dapat diberikan dengan metode harian dan intermiten sesuai pedoman WHO. Terapi intermiten bertujuan untuk menurunkan angka putus obat. Namun, pada kondisi khusus seperti pasien HIV, masih ada perdebatan terkait keuntungan dan risiko pemberian terapi dosis intermiten.

Studi yang ada mengindikasikan bahwa terapi harian memiliki efikasi lebih baik, angka mortalitas lebih rendah, dan risiko resistensi yang lebih rendah dibandingkan terapi intermiten pada pasien tuberkulosis dengan HIV. Selain itu, rekomendasi WHO juga masih menganjurkan pemberian dosis harian pada pasien TB-HIV. Meski demikian, pemantauan efek samping, terutama hepatotoksisitas, harus dilakukan lebih ketat pada pasien TB-HIV yang menerima OAT dosis harian.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Hunied Kautsar

Referensi