Diagnosis Ataksia
Diagnosis ataksia ditegakkan secara klinis. Investigasi lanjutan dilakukan untuk menentukan penyakit yang mendasari timbulnya ataksia. Perlu diingat bahwa ataksia adalah suatu manifestasi, bukan diagnosis.[1]
Anamnesis
Gejala klinis pada pasien sangat terkait dengan lokasi lesi di serebelum. Lesi yang terletak pada serebelum lateral akan menyebabkan gejala yang bersifat ipsilateral, sedangkan lesi serebelum difus akan menimbulkan gejala yang lebih generalisata dan simetris.
Lesi di hemisfer akan menyebabkan ataksia ekstremitas (apendikuler). Lesi pada vermis menyebabkan ataksia trunkal dan gangguan berjalan (ataksia gait). Lesi vestibuloserebelar menyebabkan disequilibrium, vertigo, dan gait ataksia. Ataksia yang bersifat progresif kronis bisa disebabkan oleh proses neurodegeneratif, penyakit serebelar yang diturunkan, neoplasma, atau infeksi kronis.[1]
Gejala Umum
Secara umum, pasien dengan ataksia dapat mengeluhkan gangguan berjalan, instabilitas saat duduk atau berdiri, inkoordinasi tangan, tremor, bicara pelo, hilang sensasi, dan paresthesia. Gejala yang mengarah pada penyebab serius atau mengancam nyawa adalah sakit kepala, mual dan muntah.
Anamnesis juga perlu mengevaluasi disabilitas fungsional, seperti kesulitan mengancingkan baju, menggapai barang, atau pergi ke kamar mandi di malam hari.[1,2]
Mengarahkan Gejala ke Penyakit yang Mendasari
Awitan ataksia akan mempersempit kemungkinan diagnosis penyakit yang mendasari. Ataksia bisa timbul di masa infant, mengindikasikan penyebab genetik, gangguan perkembangan, atau kelainan kongenital. Ataksia yang timbul sebelum usia 20 tahun, atau ataksia awitan dini, umumnya bersifat genetik. Ataksia dominan sering kali timbul setelah dekade ke-3 kehidupan.
Progresi penyakit yang cepat mengindikasikan adanya degenerasi spinoserebelar paraneoplastik atau penyakit Creutzfeldt-Jakob sporadik.[2]
Keluhan tambahan berupa asimetrisitas wajah, diplopia, defek pupil, deviasi lidah, dan disfonia mengindikasikan penyebab seperti stroke, tumor, atau penyakit demyelinasi. Gangguan kognitif dan halusinasi mengindikasikan sindroma Wernicke-Korsakoff, intoksikasi, atau keracunan. Jika gangguan keseimbangan terjadi di tempat gelap atau saat malam, ataksia sensori perlu dipertimbangkan.[1]
Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis, walaupun jarang, dapat bermanfaat dalam mempersempit kemungkinan penyebab ataksia. Refleks biasanya hilang atau berkurang pada ataksia Friedreich, ataksia terkait defisiensi vitamin E, ataksia dengan apraksia okulomotor tipe 2, dan ataksia spinoserebelar tipe 2. Sementara itu, refleks bisa ada atau meningkat pada kebanyakan kasus ataksia spinoserebelar dominan dan atrofi sistemik multipel tipe C.
Pada cerebellar ataxia with neuropathy and vestibular areflexia syndrome (CANVAS), bisa ditemukan abnormalitas refleks vestibulo-okular dan respon patologis pada head impulse test.
Hal lain yang bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien ataksia adalah:
- Ataksia gait dan gangguan keseimbangan saat duduk
- Nistagmus
-
Hypo- atau hypermetropic saccades
- Disarthria
- Tremor
- Dismetria
- Disdiadokokinesis
- Apraksia okulomotor
- Hipotensi postural, terkadang disertai impotensi dan inkontinensia urine
- Xanthoma tendon dan katarak awitan dini[2]
Pemeriksaan Saraf Kranial
Pada berbagai gangguan serebelum, pemeriksaan gerakan ekstraokuler sering menunjukkan hasil yang abnormal, seperti adanya ocular flutter dan opsoclonus.
Ocular flutter adalah gerakan mata abnormal yang terdiri dari gerakan sakade horizontal yang berulang, tidak teratur, dan tidak disengaja tanpa interval intersakadik. Opsoclonus adalah diskinesia okular dengan gerakan mata sakadik konjugat yang tiba-tiba, tidak disengaja, dan multidireksional.
Papiledema dapat ditemukan jika terdapat lesi massa serebelar, terutama dengan hidrosefalus. Hilangnya refleks kornea ipsilateral dan disfungsi saraf kranial VIII mengindikasikan adanya tumor pada serebelopontine. Fasikulasi wajah dan atrofi lidah juga dapat ditemukan pada pasien serebral ataksia.[11,12]
Tanda Vestibular
Ataksia dari sistem vestibular sering dikaitkan dengan vertigo dan nistagmus dengan atau tanpa perubahan posisi. Pasien membelok ke sisi ipsilateral saat diminta berjalan dalam garis lurus. Perlu dilakukan evaluasi fungsi pendengaran untuk menyingkirkan adanya gangguan telinga bagian dalam.[1,13]
Tanda Serebelar
Perlu dilakukan pemeriksaan cara berjalan. Saat berjalan dengan satu garis lurus, pasien cenderung membelok ke sisi ipsilateral. Lesi serebelar fokal sering menyebabkan gangguan fungsi serebelar ipsilateral, dismetria ekstremitas, tremor, hipotonia, dorsal spooning tangan, disartria, dan nistagmus.[1,13]
Tanda Ekstrapiramidal
Pada ataksia yang bersifat progresif kronis, bisa didapatkan tanda-tanda ekstrapiramidal. Pada ataksia herediter, tanda ekstrapiramidal sering kali merupakan indikasi adanya proses neurodegeneratif di luar otak kecil dan batang otak.[1,13]
Kekuatan Otot
Penting untuk membedakan ataksia dengan kelemahan otot. Pemeriksa dapat memegang tangan pasien, kemudian memintanya berdiri dari posisi duduk dan berdiri dengan jari kaki dan tumit untuk memeriksa kekuatan fungsional otot proksimal dan distal. Kelemahan otot proksimal yang simetris mengindikasikan adanya miopati. Kelemahan otot distal mengindikasikan neuropati umum.[1,13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat mengonfirmasi penyakit yang mendasari timbulnya ataksia. Pemeriksaan penunjang dipandu anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien untuk mengerucutkan kemungkinan diagnosis.
Laboratorium
Jika diduga ataksia terjadi akibat obat, pemeriksaan kadar obat terapeutik dapat dilakukan. Obat yang dapat menyebabkan ataksia antara lain phenobarbital, butabarbital, dan lithium.
Dalam evaluasi ataksia akut di unit gawat darurat, kadar alkohol dalam darah harus selalu diperiksa. Kadar 150 mg/dl hingga 300 mg/dl hampir selalu mempengaruhi fungsi koordinasi dan keseimbangan.
Uji laboratorium lain yang perlu dilakukan sesuai indikasi adalah kadar vitamin B6 dan vitamin B12, profil hormon tiroid, kadar logam berat (seperti bismut, timbal, dan merkuri), serologi Lyme dan toksoplasma, panel paraneoplastik, dan autoantibodi (seperti anti-glutamic acid decarboxylase dan antibodi antigliadin).[1,14]
Radiologi
CT scan kepala dapat mendeteksi massa di fossa kranial posterior dan banyak digunakan dalam evaluasi klinis stroke akut, terutama untuk menyingkirkan perdarahan intraserebral secara cepat. Walaupun demikian, CT scan kepala tidak ideal untuk lesi struktural di serebelum atau batang otak karena adanya artefak tulang. Untuk tujuan itu, MRI otak lebih tepat. Pencitraan vaskular noninvasif mungkin juga berguna secara diagnostik, sesuai indikasi.[1,14]